OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 28 Maret 2017

Neraca Loyalitas, dari Abu Ubaidah bin Jarrah Hingga Donald Trump


10Berita – Berbicara tentang loyalitas terhadap agama, kita teringat sahabat ini. Sebut saja Amir bin Abdullah bin al-Jarrah, atau lebih kita kenal dengan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Salah satu sahabat yang dijamin Rasulullah dengan surga. Veteran Badar dan Uhud. Bukan itu saja, Rasulullah bahkan memuji beliau dengan sabdanya, “Sesungguhnya setiap umat memilikialAmin (yang dipercaya), dan al-amin dari umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”

Sebagai as-sabiqun al-awwalun (orang yang pertama kali masuk Islam), Abu Ubaidah harus berhadapan dengan teman, relasi, sahabat, bahkan keluarganya. Orang-orang yang dulu begitu dekat dengannya, kini berseberangan dengan keyakinan yang ia pegang. Sahabat yang dulu tertawa bersama kini justru menjauh, menghardik, bahkan mencela. Tidak ada kedekatan seperti dulu.

Namun ujian terberat bagi Abu Ubaidah justru ada pada sosok al-Jarrah, ayahnya. Ia tetap tidak mau masuk Islam. Bahkan justru menjadi salah satu orang Quraisy yang paling membenci Islam. Hingga Abu Ubaidah bin al-Jarrah hijrah menuju Madinah, ayahnya tetap bersikukuh dengan keyakinannya.

Loyalitas Para Sahabat

Hingga pada Perang Badar Allah mempertemukan mereka dalam kubu yang berbeda. Kubu yang saling beradu pedang. Awalnya Abu Ubaidah sengaja menghindari ayahnya. Namun ternyata Allah ingin menguji keimanan Abu Ubaidah. Ia akhirnya dihadapkan dengan ayahnya tanpa bisa mengelak lagi. Disinilah Abu Ubaidah harus memilih mana kawan dan mana lawan. Neraca yang ia gunakan bukanlah tali persaudaraan. Juga bukan persahabatan, apalagi uang dan jabatan. Hanya Islamlah neraca yang harus diikuti. Muslim yang taat adalah saudara seiman. Sementara musuh Islam, penentang syari’atnya, dan penyerang ulama-ulamanya maka ia adalah lawan, bahkan jika ia adalah ayah, ibu, atau kerabat dekat lainnya.

Al-Jarrah pun akhirnya tumbang karena pedang Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Iman menjadikan Abu Ubaidah tak gentar sedikit pun. Kisah ini bukan dongeng heroik pengantar tidur. Juga bukan cerita rakyat yang tak lebih dari sebuah mitos. Abu Ubaidah tercatat dalam sejarah sebagai seorang pejuang Islam yang benar-benar memahami mana kawan dan mana lawan.

Islam memang mengharuskan umatnya untuk benar-benar tahu mana kawan mana lawan, sehingga tidak ada yang abu-abu didalamnya. Kemana seseorang berpihak harus jelas.

Rasulullah pernah bersabda, “Tali keimanan yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ahmad).

Ibnu Jarir meriwayatkan, Ibnu Abbas berkata, “Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, berloyalitas karena Allah, dan memusuhi karena Allah maka ia akan mendapatkan “wilayah Allah”. Dan seorang hamba tidak akan merasakan nikmatnya iman kecuali telah melakukannya. Dan ketika orang banyak mengikat persaudaraan karena perkara dunia, maka ia tidak akan mendapatkan apapun.

Syaikh al-Ghunaiman dalam kitabnya Syarhu Fathi al-Majidmenjelaskan bahwa yang dimaksud wilayah Allah adalah persaudaraan, cinta, dan pertolongan. Sehingga jika kita mencintai dan membenci karena Allah, maka Allah akan mecintai kita dan memberi perlindungannya atas kita

Dewasa ini tak jarang muslim yang membenci seseorang atau kelompok yang seharusnya ia cintai. Sebaliknya tak sedikit pula muslim yang mencintai seseorang atau kelompok yang seharusnya ia benci. Seakan-akan benci dan cinta menjadi hal yang paling dilematis bagi mereka. Mengaku muslim namun membenci, mem-bully, bahkan mencaci dengan cacian yang tidak pantas pada ulama-ulama Islam. Mengaku muslim namun tidak suka perda-perda yang berbau syariah.

Sumber: Kiblat.net



Related Posts: