OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.
Tampilkan postingan dengan label POLITIK IRONI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label POLITIK IRONI. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Februari 2019

Berdarah-darah di Infrastruktur

Berdarah-darah di Infrastruktur


10Berita  Nafsu pemerintah untuk membangun berbagai proyek infrastruktur di tahun 2019 ini tetap besar, meskipun banyak kritik mengenai strategi perencanaan dan pendanaannya. Dalam APBN 2019, belanja infrastruktur dipatok sebesar Rp 415 triliun, lebih tinggi sedikit ketimbang tahun 2018 sebesar Rp 410,4 triliun.
Betul, pertumbuhan anggaran infrastruktur 2019 merupakan terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, namun tetap yang tertinggi selama pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dana sebesar itu menurut rencana akan dipakai untuk membangun 667 kilometer ruas jalan nasional baru, 905 kilometer jalan tol, 48 unit bendungan, dan 162 ribu hektar jaringan irigasi.
Sejak tahun 2015 hingga sekarang, pemerintah telah membangun jalan, rekonstruksi, dan pelebaran jalan nasional sepanjang 12.783 kilometer, 11 bandarabaru. Selain itu, dari tahun 2016 sampai 2017 sudah dibangun sekitar 369 kilometer spoor rel kereta.
Tahun lalu, Presiden Jokowi mengatakan, pembangunan infrastruktur ini akan memperkuat konektivitas, menyambungkan berbagai potensi ekonomi di seluruh Indonesia, memeratakan pembangunan, menumbuhkan kegiatan ekonomi baru,serta meningkatkan distribusi barang dan jasa. Dengan demikian, hasil akhir yang diharapkan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta pengurangan ketimpangan.
Hanya saja, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang ekspansif, perusahaan kontruksi swasta nasional justru banyak yang gulung tikar. Penyebabnya, antara lain sebagian belum dibayar oleh BUMN karya. "Ada kerjaan, lama-lama enggak dibayar, akhirnya bangkrut juga. Itu fakta," kata Bambang Rahmadi, Wakil Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) beberapa waktu lalu.
Selama tiga tahun terakhir, ada sekitar 37 ribu kontraktor swasta nasional yang gulung tikar. Pada 2015 jumlah anggota Gapensi tercatat sebanyak 80 ribu anggota, tapi sekarang hanya tinggal 43 ribu anggota.
Selain belum dapat bayaran, turunnya jumlah anggota Gapensi juga karena mereka tidak mendapat pekerjaan atas proyek yang mereka kerjakan.
Bambang mengatakan, kontraktor swasta selama ini tidak terlalu banyak mendapatkan proyek infrastruktur yang digenjot pemerintah. Berdasarkan data Gapensi, kontraktor swasta memperoleh 45% dari total proyek infrastruktur, sementara sebesar 55% menjadi porsi BUMN.
Porsi 45% itu memang tergolong sangat kecil karena jumlah kontraktor swasta mencapai puluhan ribu, sedangkan BUMN hanya dibagi delapan kontraktor. "Jelas ini sangat timpang," tambah Bambang.
Masalah bertambah runyam, lantaran BUMN karya juga digelayuti utang yang tidak sedikit. Lembaga pemeringkat utang global, Standard & Poors mencatat utang empat perusahaan konstruksi besar milik negara melonjak 57% dari tahun lalu menjadi Rp 156,2 triliun.
Standard & Poors juga melaporkan rasio utang 20 BUMN konstruksi naik lima kali terhadap pendapatan kotor, melonjak jauh dibanding pada 2011 yang hanya satu kali. Intinya, neraca keuangan BUMN sektor konstruksi memburuk setelah aktif dalam berbagai proyek infrastruktur pemerintah.
Celakanya, utang BUMN sebagian besar bertenor jangka pendek yang tidak bisa segera ditutup dari laba usaha. Dan, sekitar 60% utang tersebut dalam bentuk valuta asing. Jika dolar AS kembali menguat, beban utang BUMN pada saat jatuh tempo nanti tentu akan kian membengkak.
Tentu, utang BUMN sebesar itu bakal menjadi beban bagi APBN. Jika BUMN tersebut gagal bayar, pemerintah mau tak mau harus menanggungnya.
Laporan Standard & Poors memperkuat informasi yang disampaikan oleh Deputi Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro, awal Desember lalu. Kata dia, utang BUMN per September 2018 sudah mencapai lebih Rp 5.271 triliun. Utang tersebut meningkat Rp 441 triliun dari tahun 2017 yang jumlahnya Rp 4.830 triliun menjadi Rp 5.271 triliun pada September 2018.
Dari jumlah utang tersebut, sekitar 62,81% adalah utang BUMN keuangan, yakni Rp 3.311 triliun, sementara sektor non-keuangan sebesar Rp 1.960 triliun. Dari jumlah utang sektor non-keuangan, sektor infrastruktur--termasuk konstruksi dan properti--berutang Rp 317 triliun. Selebihnya utang sektor energi, telekomunikasi, transportasi, dan gabungan berbagai sektor.
Seperti diketahui, terdapat empat BUMN karya yang diberi tugas untuk melaksanakan berbagai proyek infrastruktur, yakni PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Mereka mengerjakan infrastuktur konektivitas, pendukung ketahanan pangan, hingga telekomunikasi, di antaranya melibatkan swasta. Misalnya saja jalan sepanjang 3.432 kilometer, jalur kereta api, termasuk jalur ganda dan reaktivasi sepanjang 754.59 km, 10 bandar udara baru, 19 pelabuhan baru, hingga 43 bendungan masuk dalam katalis pembangunan infrastuktur empat tahun terakhir.
Menjadi pertanyaan: dengan utang sebesar itu dan risiko finansial yang dihadapai, apakah BUMN masih mampu meningkatkan laba usahanya? Apakah beban keuangan yang demikian tinggi--dengan penerbitan berbagai obligasi dan sukuk--tidak akan menekan kemampuan memperoleh laba? [lat]
Sumber :