OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.
Tampilkan postingan dengan label Oponi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Oponi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 November 2020

Lepaskan Borgol Demokrasi

 Lepaskan Borgol Demokrasi



 Oleh:M. Rizal Fadillah

 SESEORANG diborgol itu agar ia tidak bisa bebas untuk menggunakan tangannya baik memukul atau mengambil sesuatu, senjata misalnya. Agar dapat menahan kebebasan bergerak lebih jauh bisa ditambah dengan borgol pada kedua kakinya. Sebagaimana tampilan masa penjajahan atau perbudakan dahulu.

Kini tahanan berborgol dipamerkan, artinya jadi tontonan dan pelajaran. Bisa dimaksudkan untuk menistakan atau membuat efek jera bagi yang lain. Kasus politik lebih kental nuansa memenangkan kekuasaan melalui aparat hukum dengan mengalahkan pesakitan yang melawan kekuasaan. Borgol adalah simbol membuat tidak berdaya.

Kasus tiga tokoh KAMI Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Jumhur Hidayat yang ditampilkan bersama tokoh KAMI lain yang berbaju oranye dan berborgol dipastikan sebagai kasus politik bukan pidana murni. Walaupun itu dikaitkan dengan tuduhan pelanggaran UU ITE yang bersanksi pidana.

Baru-baru ini seorang prajurit TNI yang menyanyikan lagu pujian kepada Habib Rizieq Shihab ditampilkan melalui media di depan publik dalam keadaan berborgol pula. Banyak yang mengkritik kondisi ini dengan penilaian bahwa hal itu berlebihan dan tidak patut. Simpati pada prajurit tersebut pun mengalir.

Memborgol para aktivis dan prajurit TNI di atas sebenarnya menjadi kultur politik yang buruk, bahkan dapat dikualifikasikan sebagai melanggar asas "praduga tak bersalah" (presumption of innocent).

Bagaimana tidak, seseorang yang belum diproses hukum tuntas, sudah leluasa dipamerkan sebagai terhukum. Ini persoalan serius bangsa dan rezim. Borgol demokrasi namanya.

Membungkam oposisi dengan pamer pemborgolan adalah budaya politik tak beradab, primitif, dan melanggar HAM. Suara yang berbeda dengan penguasa adalah bagian dari demokrasi. Tak bisa disikapi semena-mena meski dengan menggunakan perangkat hukum.

Sebaiknya segera bebaskan aktivis KAMI atau para mahasiswa, buruh, dan para penyuara aspirasi rakyat lainnya. Bebaskan prajurit TNI yang berekspresi. Mereka tak layak diperlakukan sebagai layaknya penjahat. Ekspresi politik adalah warna dari demokrasi yang patut dimaklum dan dihormati.
Lepaskan borgol demokrasi.

Rezim pemborgol demokrasi akan selalu disulitkan oleh perlawanan kekuatan demokrasi. Ini sudah menjadi konsekuensi bahkan tradisi dari generasi ke generasi.

Ketika memamerkan oposisi yang diborgol, sadarkah jika kekuasaan itu dapat berputar dimana penguasa menjadi pihak yang terborgol?

Kini Jumhur, Syahganda, Anton Permana atau lainnya dipertontonkan dengan tangan diborgol, terbayangkah jika besok Jokowi, Megawati, Luhut, atau Mahfud yang dipertontonkan berbaju oranye dan diborgol? Moga tidak terjadi.

Karenanya lebih beradab dan santunlah dalam berpolitik dan berdemokrasi.

Lepaskan borgol demokrasi. Demi martabat negeri!

(Pemerhati politik dan kebangsaan.)

Sumber: 

Selasa, 27 Oktober 2020

Jokowi Akan Dikudeta?

 Jokowi Akan Dikudeta?



Oleh:M. Rizal Fadillah
 ANGGOTA Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP, Darmadi Durianto mewanti-wanti agar Presiden Jokowi waspada kemungkinan dikudeta oleh menteri yang sedang bermanuver untuk kepentingan politik.

Menteri-menteri ini akan kudeta di tengah jalan. Karena itu menurutnya Jokowi harus segera melakukan reshuffle.

Tentu tak jelas sasaran yang dimaksudkan siapa para menteri tersebut. Pastinya tidak berani juga menyebut. Hanya menurutnya mereka merangkak ke Istana mengganggu kinerja pemerintah. Pertengahan jalan nanti akan mulai terlihat misi kepentingan politik untuk 2024. Demikian menurut Darmadi.

Sebenarnya pandangan yang kontradiksi antara kudeta dan Pilpres 2024.

Hanya isu kudeta ini mengejutkan karena di samping tak ada dalam budaya ketatanegaraan kita, juga kudeta sipil itu mustahil. Ataukah yang dimaksud adalah kudeta menteri yang berasal dari kalangan militer?

Luhut, Prabowo, Rozi atau Terawan. Luhut dalam pandangan awam sudah lama meng"kudeta" karena menjadi penentu pemerintahan.

Prabowo setelah masuk kabinet sudah jadi "anak manis" pemuja Jokowi. Mungkin karena kemarin jumpa Menhan AS jadi patut dicurigai.

Rozi, Menteri Agama yang bikin susah umat beragama.

Lalu Terawan Menkes yang justru babak belur dihajar corona. Tidak masuk kualifikasi pemberontak bahkan nyatanya menjadi obyek yang ditunjuk-tunjuk oleh Presiden.

Mengapa PDIP begitu khawatir akan terjadinya kudeta? Jangan-jangan seperti jaman PKI dulu dibangun isu politik keberadaan Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta. Ternyata PKI sendiri yang mencoba mengambil alih kekuasaan itu.

Politik lempar batu sembunyi tangan.

Reshuffle yang bukan pembenahan kinerja tetapi mencegah kudeta adalah berbahaya. Bisa masuk semburan fitnah "firehose of falsehood".

Reshuffle saat ini bukan solusi karena tidak akan mampu menyelamatkan pemerintahan. Kuncinya bukan pada menteri tetapi pada kinerja Presiden.

Jika kudeta menjadi isu yang diperbesar, maka nanti akan ada "maling teriak maling" seperti satpam yang diikat perampok padahal itu kerjasama. Tujuannya adalah merampok bersama dengan upaya mengecoh orang lain yang dianggap bodoh.

Sebuah rekayasa "playing victim". 

(Pemerhati politik dan kebangsaan)