OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Mei 2019

Komnas HAM Pertanyakan Sangkaan Makar ke Tokoh Pro Prabowo

Komnas HAM Pertanyakan Sangkaan Makar ke Tokoh Pro Prabowo

Polisi melakukan serangkaian penangkapan pada pendukung Prabowo.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik. Foto: Andesta Herli Wijaya/kumparan.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), Ahmad Taufan Damanik, menilai sangkaan makar terhadap Eggi Sudjana dan Lieus Sungkharisma perlu mendapat penjelasan dari kepolisian.
Menurut Ahmad, Eggi dan Lieus Sungkharisma sejauh ini hanya memperlihatkan pendapatnya kepada publik. Penyampaian pendapat yang mencerminkan kebebasan dalam berdemokrasi itu perlu difasilitasi, bukannya ditindak dengan sangkaan makar.
“Kalau kita melihat, kalau dia (Eggi) baru sebatas menyatakan pendapat, kebebasan menyatakan pendapat. Jadi memang dalam hal ini polisi harus memberikan penjelasan kepada publik, apa sebetulnya temuan mereka sehingga mengatakan Pak Eggi Sudjana sudah masuk dalam kategori melakukan makar?” ungkap Ahmad, Selasa (21/5).
Menurut Ahmad, sangkaan makar bukanlah sembarang sangkaan, harus ada bukti tindakan konkret yang mendukung hal itu. Sementara Eggi maupun Lieus sejauh ini hanya dalam taraf berorasi menyemarakkan pendapat sekaligus menyatakan kebebasannya.
“Saya mengingatkan, kalau disebut makar, mestinya ada tindakan-tindakan yang memang secara konkret dalam rangka, katakanlah menjatuhkan kekuasaan. Mereka berbeda dengan tadi, kan gitu. Orang orasi menyatakan pendapat dengan sekeras-kerasnya itu kan menyatakan pendapat,” ungkapnya.
Ahmad melanjutkan, jikalau ada indikasi-indikasi pelanggaran yang dilakukan seseorang, mestilah diteliti betul apa macam pelanggarannya.
“Kalau kemudian orasi yang keras itu ada penghinaan ya, dia (sebetulnya) kena pasal KUHP penghinaan, bukan makar. Kalau orang itu memfitnah misalnya, dia kena pasal fitnah, kalau ujaran kebencian dia kena pasal ujaran kebencian, bukan makar, kan gitu,” tutur Ahmad.
Ahmad menghormati langkah-langkah aparat penegak hukum. Namun, ia mengingatkan bahwasanya kebebasan dalam berpendapat adalah hak setiap warga manusia.
Karena itu, Ahmad meminta kepolisian segera memberi penjelasan, apa temuan penyidik terkait kasus Eggi dan Lieus. Dengan begitu, bisa terlihat apakah langkah-langkah yang diambil kepolisian masih dalam koridor HAM atau sebaliknya.
“Kita menghormati langkah hukum dari kepolisian, itu kan wewenang mereka. Komnas HAM tentu saja menghormati aparat penegak hukum. Tetapi juga sebaliknya masyarakat juga sama, ingin tahu, apa sebetulnya temuan dalam penyelidikan itu,” ungkap Ahmad.
“Sekali lagi saya katakan kalau dia hanya dalam arti menyampaikan pendapat, semestinya dihormati sebagai bagian dari demokrasi, bagian dari hak asasi manusia,” tekannya.
Sumber: 
Artikel ini tidak mewakili pandanga

Kamis, 09 Mei 2019

Menarik Ulama dari (Intrik) Politik

Menarik Ulama dari (Intrik) Politik

Oleh: Beggy Rizkiansyah, kolumnis Kiblat.net

10Berita – K.H. Wahid Hasyim pernah mengatakan “, ….masjarakat umat Islam Indonesia mempunjai sipat tersendiri. Ia berada di bawah pengaruh Ulama dan Kiai. Dalam hal ini ada bedanja keadaan Ulama-Ulama di India. Diambil garis umumnja Ulama-Ulama di Indonesia lebih dapat menjesuaikan diri dengan perkembangan keadaan. Oleh karena itu pengaruh mereka ini pada masjarakat Umat Islam tetap besar.” (K.H. Wahid Hasyim: 1953)
Maksud putra pendiri Nadhlatul Ulama tersebut terang sekali. Kedudukan ulama di tanah air amat besar pengaruhnya. Ulama membawa masyarakat mengarungi berbagai situasi dari masa ke masa. Hal ini menjadi semakin jelas jika kita mengurai kembali peran ulama di negeri ini. Satu contoh yang menarik membawa kita kembali pada 800 tahun yang lalu. Di ujung pulau Sumatera, Kesultanan Samudera Pasai memberikan kita begitu banyak hikmah.
Samudera Pasai disebut sebagai kesultanan Islam pertama di nusantara. Bukti sahihnya tentu saja makam Sang Sultan yang bertanggal 1297 masih ada hingga kini. Makam Sultan tersebut, Malik al-Shalih, pernah menduduki tampuk tertinggi Kesultanan Pasai. Namun hal yang lebih menarik adalah kunjungan penjelajah muslim asal Maroko, Ibnu Battutah ke Samudera Pasai.
Ibnu Battutah dalam perjalanannya menuju Cina singgah di Samudera Pasai selama 15 hari. ia bertemu dengan penguasa saat itu yaitu Sultan Malik az-Zahir. Dalam karyanya, Rihlah, ia bercerita tentang tingginya minat Sang Sultan untuk menuntut ilmu agama. Ia juga bercerita tentang mahzab Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Pasai. Ibnu Battutah juga bercerita tentang petinggi Kesultanan Pasai yang ia temui.
“…Kemudian, Sultan memerintahkan kepada Amir Dawlah untuk datang menemuiku, ditemani oleh yang mulia Hakim Amir Sayyid al-Syirazide Chirâz dan Tajuddin al-Isfahani dan fukaha yang lain… Aku naik kuda dan demikian juga para pelayanku. Kami berkuda memasuki ibu kota, yaitu kota Sumatra.”
Kesaksian ini tentu sangat menarik. Dua orang penting, yaitu qadi dan ulamanya, dari namanya (Chiraz atau Syiraz dan Isfahani) dapat kita ketahui berkebangsaan Persia. Hal ini menunjukkan betapa kosmopolitannya Kesultanan Samudera Pasai saat itu. Termasuk betapa pentingnya kedudukan ulama di hadapan penguasa Samudera Pasai kala itu.

Kerajaan Samudera Pasai
Memang di masa lalu, para ulama tak lepas dari kekuasaan. Bersama penguasa yang menjalankan pemerintahan Islam, terlepas dari berbagai ketidaksempurnaannya, para ulama menjadi figur yang penting bagi kekuasaan.
Tentu saja kekuasaan itu bukan sistem teokrasi. Tetapi para ulama menjadi sosok yang berpengaruh dalam jalannya hukum di negeri-negeri Islam. Hal ini misalnya dapat kita lihat di Kesultanan Banten ketika Sultan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa alias Sultan Abu Fath Abdul Fattah mengangkat Syaikh Yusuf al-Maqassari sebagai mufti Kesultanan Banten. (Tutik Pudjiastuti : 2007)
Sultan Ageng Tirtayasa sejak muda telah dikenal memiliki minat terhadap agama Islam. Oleh sebab itu, ketika ia naik tahta, ia menikahkan putrinya dengan Syaikh Yusuf al -Maqassari dan mengangkat ulama tersebut sebagai mufti Kesultanan Banten. Dalam salah satu kitabnya, Zubdat al-Asrar fi Tahqiq Ba’d Masyarib al-Akhyar, Syaikh Yusuf memuji kealiman dan kecintaan Sultan pada agama Islam. Di bagian akhir kitab yang ditulis pada tahun 1676 tersebut, Syaikh Yusuf menulis,
“Berkata penulis huruf-huruf ini, semoga Allah ta’ala memberikan kesempurnaan hidayah kepadanya dan menjadikannya memperoleh berkat dari penulisan karangan ini dan memperoleh berkatnya pula dari Sultan Ibn Sultan Tuanku Raja yang Agung dan sultan yang mempunyai keadilan yang sempurna, dan mempunyai hukum-hukum yang umum, yang bercita-cita tinggi, yang mengibarkan panji Muhammad, tempat berlindung para ulama dan orang-orang miskin serta harapan orang-orang faqir dan orang-orang salih, penolong orang-orang lemah dan orang-orang yang perlu pertolongan , penghibur hati para perantau serta orang-orang yang menderita, karena berpegang teguh kepada syari’at dan batin hakikat dari ahli suluk, ma’rifat dan ahli tarekat yaitu Tuanku Sultan Abu al-Fath putra Sultan Abu al-Ma’ali putra Sultan Abu al-Mafakhir yang menguasai Banten, semoga disempurnakan oleh Allah kebahagiaannya dan diperindah kemuliaannya serta dilindungi-Nya di dunia dan di akhirat.” (Machasin, et al : 2013)
Memang di masa lalu, para ulama tak lepas dari kekuasaan. Bersama penguasa yang menjalankan pemerintahan Islam, terlepas dari berbagai ketidaksempurnaannya, para ulama menjadi figur yang penting bagi kekuasaan.
Asal-usul Syaikh Yusuf dari Makassar bukan halangan untuk menjabat sebagai mufti. Kapasitasnya keilmuannya yang menjadi pertimbangan utama. Sebagai ulama, Syaikh Yusuf bukan saja dikenal berguru pada berbagai ulama, tetapi juga menjadi ulama yang produktif, bahkan hingga sang ulama tersebut diasingkan V.O.C. ke Sri Lanka (kemudian ke Afrika Selatan).
Kisah serupa juga dapat kita lihat dari perjalanan ulama asal Banjarmasin, Syaikh Arsyad al-Banjari. Selepas menuntut ilmu di tanah suci, ia kembali ke kampung halamannya. Selain berkhidmat pada keilmuan dengan membuat lembaga pendidikan, ia juga menjadi salah satu figur yang dekat pada kekuasaan. Kesultanan Banjar kala itu dipimpin oleh Sultan Tajmidullah II (1785 – 1808).  Syaikh arsyad al-Banjari memberi pengaruh pada hukum di Kesultanan Banjar.
Syaikh Al Banjari mengusulkan pada Sultan untuk melakukan perubahan pada lembaga hukum di Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjarmasin kemudian menambahkan jabatan ‘mufti’. Posisi mufti berada di bawah Sultan Banjarmasin. Sultan sendiri dianggap kepala seluruh jabatan agama. Mufti dianggap sebagai hakim tertinggi dan  bertanggungjawab mengawasi seluruh Mahkamah Syariah di Kesultanan Banjarmasin. Mufti pertama di Kesultanan Banjarmasin diemban oleh Muhammad As’ad, cucu dari Syaikh Arsyad Al-Banjari. Di bawah Mufti terdapat jabatan ‘Kadi’, yang bertindak sebagai hakim sehari-hari di ibukota Kesultanan. (Alfani Daud: 1997)
Meski demikian, seiring datangnya kolonialisme di tanah air, para penguasa lokal seringkali berselingkuh dengan penjajah dan mengkhianati rakyatnya. Para ulama kemudian menyingkir dari pusat kekuasaan, menjauh dan menjalankan fungsi mereka sebagai suluh keilmuan. Banyak di antaranya yang mendirikan lembaga pendidikan seperti pesantren.

Para santri hasil didikan ulama terdahulu dikenal dengan sikap berani menentang penjajahan.
Hal ini yang kemudian terlihat selama masa kolonialisme. Tak banyak ulama yang mau bergandengan tangan dengan pemerintah kolonial. Sebab para ulama seringkali akhirnya dijadikan legitimasi kolonialisme. Namun umumnya para ulama lebih memilih untuk menjauh dari kekuasaan selama masa kolonialisme.
Pemisahan antara agama dengan pemerintahan terus membayangi negeri ini, termasuk ketika memasuki masa-masa transisi menuju kemerdekaan. Para ulama seperti K.H. Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan para tokoh – aktivis Islam seperti Abikoesno Tjokrosoejoso, A. Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, mencoba mewarnai negara yang baru lahir dengan mengajukan Islam sebagai landasan negara melalui Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Satu hal lain yang menarik adalah ‘ijtihad’ para ulama dan tokoh Islam dalam mengarungi politik di Indonesia. Sistem pemerintahan bukan Islam di Indonesia tak membuat para ulama dan tokoh Islam surut dalam berpolitik. Mereka pada 11 November 1945 membentuk Partai Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam di Indonesia kala itu. Meski ikhtiar ini tak bertahan lama, karena Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Keluar pada tahun 1948 dan Nadhlatul Ulama keluar pada tahun 1952, namun idealisme awal pembentukan Masyumi ini memberi satu potret yang menarik.
Meski demikian, seiring datangnya kolonialisme di tanah air, para penguasa lokal seringkali berselingkuh dengan penjajah dan mengkhianati rakyatnya. Para ulama kemudian menyingkir dari pusat kekuasaan, menjauh dan menjalankan fungsi mereka sebagai suluh keilmuan.
Struktur kepengurusan Masyumi membagi dua bagian. Pertama Majelis Syuro dan Pengurus Partai. Majelis Syuro umumnya terdiri dari para ulama seperti K.H. Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikusumo, dan lainnya, sedangkan pengurus Partai diserahkan kepada para aktivis Islam seperti M. Natsir, dr. Sukiman, Moh. Roem dan lainnya.
Kedudukan para ulama dalam struktur partai ditempatkan sebagai penentu haluan dan aspek strategis partai. Bukan sekedar penasehat belaka. Sedangkan para aktivis Islam menjadi pengurus yang bergelut dengan keseharian politik praktis. Termasuk ketika peran mereka dibutuhkan untuk duduk di kursi pemerintahan.


Presiden Sukarno dalam konvensi Masyumi bersama M. Natsir
Meski idealisme ini tak berjalan lama, ‘pembagian tugas’ antara ulama dan aktivis politik ini memberi batas yang tegas. Ulama dalam politik tidak bergelut dengan keseharian yang penuh dengan intrik dan tipu daya. Ulama berada dalam kedudukan tertinggi yang menentukan haluan politik tanpa harus ‘terciprat’ kotornya politik praktis. Marwah ulama tetap dijaga dari intrik dan fitnah politik praktis.
Pergelutan dalam ranah politik praktis ditangani oleh para aktivis politik Islam. Para aktivis ini bukanlah aktivis karbitan yang tiba-tiba mengusung bendera Islam. Kiprah mereka dalam politik telah dimulai sejak muda melalui berbagai organisasi pemuda, salah satunya Jong Islamieten Bond. Organisasi ini yang menjadi wadah para aktivis politik seperti M. Natsir, Moh. Roem, Kasman Singodimedjo dan lainnya saat mereka masih pemuda.
Para aktivis politik ini  adalah figur-figur yang siap bersinggungan dengan segala intrik dalam politik praktis. Mampu membaca berbagai tipu daya dalam politik. Namun pergerakan mereka tetap berdasarkan haluan yang telah ditentukan oleh para ulama.
‘Pembagian tugas’ ini dimungkinkan kala itu karena umat Islam memiliki banyak ulama dan tokoh politik yang mumpuni. Nama-nama besar para ulama dan tokoh tersebut tak diragukan lagi kapasitas sekaligus komitmennya pada politik Islam.
Persoalan yang dihadapi umat saat ini sayangnya begitu pelik. Kita bukan saja menghadapi sistem politik yang jauh dari Islam, tetapi juga kehilangan figur aktivis politik Islam yang mumpuni. Banyak diantara para pemuda aktivis Islam yang akhirnya ketika berpolitik, tidak lagi mengusung politik Islam. Kaderisasi aktivis politik dalam tubuh umat Islam menjadi macet.
Hal ini berdampak pada ‘terseretnya’ ulama pada ranah politik praktis. Ulama tak lagi memainkan peran di balik layar para aktor politik. Tetapi ulama menjadi aktor politik (praktis) itu sendiri. Ulama akhirnya harus bergelut dengan politik keseharian yang seringkali penuh intrik dan tipu daya. Tak jarang ulama terpaksa ikut menjadi ‘juru bicara’ para aktor politik lainnya.
Hal ini menimbulkan berbagai kesulitan. Pertama, ulama ikut terseret pada berbagai isu politik sehari-hari bahkan tak jarang pusaran fitnah dalam politik. Pada tahap ini akhirnya marwah dan kredibilitas ulama dipertaruhkan. Politik, terlebih dalam sistem yang tidak islami seringkali bersifat abu-abu, tak jelas mana yang benar, dan mana yang salah.

Prabowo Subianto Tandatangani Pakta Integritas Ijtima Ulama II, Ahad 16 September 2018.
Kesulitan kedua; ketika ulama terseret dalam politik praktis, sikap, perbuatan dan perkataan ulama seringkali dijadikan alat legitimasi baik oleh kawan politik koalisinya atau lawan politiknya. Sikap terhadap persoalan yang abu-abu dianggap sebagai satu ‘legitimasi’ syar’i oleh pihak lain, baik oleh pendukung maupun lawan politiknya.
Lebih pelik lagi, ketika para ulama berbeda pilihan politik akhirnya sama-sama terjun dalam politik praktis dan membuat kebingungan di kalangan umat yang awam. Masing-masing menjadi alat legitimasi agama bagi aktor politik yang lebih berkuasa.
Jalan keluar dari benang kusut politik semacam ini adalah dengan mengurai kembali permasalahannya. Persoalan utama tampaknya ada pada mandeknya kaderisasi aktivis politik di kalangan umat Islam. Dengan munculnya para aktivis politik dari kalangan umat, maka para ulama akhirnya tak perlu terseret ke dalam pusaran politik praktis yang penuh dengan intrik dan fitnah. ‘Pembagian tugas’ yang jelas antara ulama dan aktivis politik akan menempatkan ulama dalam kedudukan tertinggi di ranah politik kita.
Hal ini berdampak pada ‘terseretnya’ ulama pada ranah politik praktis. Ulama tak lagi memainkan peran di balik layar para aktor politik. Tetapi ulama menjadi aktor politik (praktis) itu sendiri. Ulama akhirnya harus bergelut dengan politik keseharian yang seringkali penuh intrik dan tipu daya. Tak jarang ulama terpaksa ikut menjadi ‘juru bicara’ para aktor politik lainnya.
Ulama sepatutnya tak menjadi aktor politik tetapi menentukan gerak langkah para aktor politik. Jika diibaratkan permainan sepakbola, ulama bukanlah pemain yang terjun ke lapangan, beradu lari, saling menjegal, berjibaku di lapangan.
Ulama berada di luar permainan sebagai pelatih. Ia tidak bermain, tetapi ialah yang mengendalikan permainan. Ialah yang menentukan langkah politik umat, hingga jauh ke depan. Bukan terseret menjadi pemain dalam kompetsisi lima tahunan. Berjibaku, saling berpacu, jatuh bangun, saling menjegal, dan tanpa disadari, perlahan kehilangan marwahnya di mata umat.


 Sumber: Kiblat



Jumat, 20 Juli 2018

Anak-Anak Mendengar dengan Mata, Tidak dengan Telinga Mereka

Anak-Anak Mendengar dengan Mata, Tidak dengan Telinga Mereka

10Berita, SALAH satu pelajaran paling mendalam yang Saya ajarkan ialah: “Anak-anak mendengar dengan mata mereka, tidak dengan telinga mereka.”

Jika Anda menasihati anak Anda mengenai bahaya merokok, sementara Anda memegang rokok di tangan Anda, ucapan Anda tidak akan berpengaruh apa-apa, terlepas dari seberapa benarnya. Anak Anda akan melihat apa yang ada di tangan Anda dan mengambil pelajaran dari itu, mengabaikan apapun yang Anda katakan.

Dengan cara yang sama, alasan mengapa anak Anda mungkin tidak peduli tentang al-Quran meskipun Anda membawa mereka ke 5 sekolah Islam berbeda ialah karena Anda sendiri tidak tahu cara membacanya, tidak pula Anda melakukan upaya aktif untuk melakukannya. Kemunafikan tidak akan hilang dari anak-anak. Tidak akan pernah.

Baca: Jangan Takut Punya Banyak Anak!


Bahkan jika mereka belajar bagaimana secara fisik membaca, menulis, dan menghafalkan, itu tidak menembus hati mereka.

Di sisi lain, Saya mengenal beberapa orang tua yang membaca dan menghafalkan Quran setiap hari sebagai bagian dari gaya hidup mereka, dan anak-anak mereka (yang baru saja belajar berjalan) berupaya membaca Quran tanpa pernah disuruh. Anak-anak mereka di bawah umur 10 tahun telah menghafal sebagian besar Quran tanpa pernah dipaksa.

Apakah Anda suka atau tidak, Anda adalah role model terbesar mereka dalam setiap hal yang Anda lakukan, secara sadar dan tidak sadar.

Ini tidak hanya berlaku pada anak-anak. Beginilah cara kerja manusia. Anda melihat beberapa orang –baik bos, ayah, atau orang tua– berteriak dan menjerit demi penghormataan yang akhirnya tidak mereka dapatkan, sementara Anda juga melihat orang lain mendapatkan rasa hormat tanpa pernah mereka meminta atau menuntut. Itu karena mereka mempraktekkan apa yang mereka nasihatkan.

Sulit mengeluh pada atasan Anda tentang datang ke kantor pada jam 9 pagi ketika Anda melihat dia datang pada jam 8 pagi. Sulit memberitahu ayah Anda mengapa membaca 1 jus sehari terlalu banyak ketika dia membaca 2 jus sehari.

Bahkan, semakin Anda membuktikan nasihat Anda melalui tindakan, Anda tidak akan banyak bicara. Ketika teman Anda melihat bagaimana Anda memaafkan seseorang yang tidak pantas dimaafkan, itu adalah pelajaran hidup mereka, tanpa satu patah katapun dikeluarkan. Ketika mereka menjadi seseorang yang lebih besar, mereka tidak perlu datang ke Anda untuk meminta nasihat; Anda telah menasihati mereka lebih dalam dari pada kata-kata Anda.

Baca: Kisah Kesabaran Ibu Dianugerahi Tiga Anak Tunanetra


Aisyah (semoga Allah merahmatinya) menggambarkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sebagai al-Quran berjalan. Itulah mengapa para sahabat memujanya. Ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam shalat dengan sangat lama hingga kakinya membengkak, Aisyah bertanya mengapa dia melakukannya padahal dosanya di masa lampau dan masa depan telah dimaafkan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallammenjawab, “bukankah seharusnya Aku menjadi budak yang bersyukur?

Ketika para sahabat membangun parit dan memberitahu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam betapa laparnya mereka, menunjukkan padanya batu yang mereka ikat di perut mereka untuk menahan lapar, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallammengangkat bajunya dan memperlihatkan pada mereka dua batu yang dia ikat di perutnya. Para sahabat kemudian kembali bekerja.

Dialah adalah pria yang tidur di kasur keras yang bahkan meninggalkan bekas luka di punggungnya. Ketika dia mengatakan pada para sahabat untuk beribadah pada malam dan tidur sedikit, tidak ada satupun pertanyaan ditanyakan.

Jangan mengeluh tentang anak, pasangan, murid, atau karyawan Anda ketika solusinya tidak ditemukan melalui tindakan Anda sendiri.*

Artikel ditulis oleh Salah Sharief dari Ilmfeed, diterjemahkan Nashirul Haq AR

Sumber :Hidayatullah.com 

Kamis, 05 Juli 2018

Pers Islam dan ‘Watchdog’1

Pers Islam dan ‘Watchdog’1

Oleh Beggy Rizkiyansyah (Anggota Jurnalis Islam Bersatu)

10Berita, Semakin menguatnya peran jurnalisme di masa kini seringkali digaungkan dengan peran pers sebagai watchdog atau anjing penjaga. Peran sebagai watchdog ini diasosiasikan tidak hanya sebagai pengawas bagi pemerintah tetapi juga berbagai isu yang terkait kepentingan publik.

Wacana pers sebagai watchdog tentu saja berkembang dari pengalaman pers barat sejak abad ke-18 hingga kini. Seiring berjalannya waktu pers sebagai watchdog mengalami berbagai tantangan dan perkembangan. Pers dalam wacana demokrasi liberal barat disebut sebagai pilar keempat dalam demokrasi sesungguhnya menjadi peran yang sangat dominan.

Pilar keempat pada dasarnya memberi peran pada media untuk mengumpulkan informasi, ide dan pendapat untuk membantu masyarakat dengan tata kelola pemerintahan yang baik; berperan sebagai memeriksa yang berkuasa, melaporkan, menganalisa dan mengkritik pemerintah atas nama publik, yang kekurangan akses pada informasi atau kekuasaan. (Julianne Schlutze: 1998)

Sebagai alat kontrol, terutama bagi pemerintah, peran ini menjadi penyeimbang bagi jalannya satu negara. Di Amerika Serikat, terbongkarnya skandal Watergate oleh Washington Post berujung pada tumbangnya pemerintahan Richard Nixon, atau peran New York Times dalam mengungkap Pentagon Papers. Peristiwa ini menjadi semacam ikon pers sebagai watchdog.

Watchdog, meski digaungkan dengan sangat nyaring sebagai simbol idealisme dalam jurnalisme, nyatanya tak disepakati maknanya.  Sheila Coronel dari Columbia School of Journalism menegaskan bahwa watchdogging (menjalankan peran watchdog) setidaknya berarti,

On a routine basis, the watchdog press monitors the daytoday workings of government, thereby helping citizens assess the efficacy of its performance. Reporting that goes beyond what officials or their spokespersons say, to examine government performance, is also a form of watchdogging.”

Peran sebagai watchdog nyatanya tak sebatas kontrol terhadap pemerintah, namun lebih luas, dari pelanggaran kecil oleh aparat hingga skandal mega korupsi. Dari pihak pemerintah hingga aksi menyimpang dari korporasi. Bahkan Shelia Coronel juga menyebutkan penyimpangan oleh gereja atau biksu juga termasuk didalamnya.

Salah satu penerapan watchdog adalah dengan melakukan pengungkapan terhadap penyimpangan yang terjadi terkait kepentingan publik, meskipun dilatari beragam motif.

“…what matters is that the reporting warns citizens about those that are doing them harm and empowers them with the information they need to know”, demikian jelas Sheila Coronel (2009) dalam Corruption and the watchdog role of the news media.

Pengungkapan lewat jurnalisme investigasi menjadi ujung tombak dari peran watchdog. Investigasi ini yang mengungkapkan bagaimana organisasi berjalan dan bagaimana seharusnya organisasi berjalan. Dampak dari jurnalisme investigasi dalam watchdog berdampak bukan hanya pada individiu tetapi juga sistemik. (Sheila Coronel: 2009) Pelanggaran dari individu adalah bagian dari penyimpangan dari sistem.

Begitu pula Murrey Marder dalam artikelnya di Nieman Reports (1998). Baginya, “…watchdog journalism is by no means just occasional selective, hard-hitting investigative reporting. It starts with a state of mind, accepting responsibility as a surrogate for the public, asking penetrating questions at every level, from the town council to the state house to the White House, in corporate offices, in union halls and in professional offices and all points in between.”

Pers watchdog tidak sekedar memelototi dan menyalak terhadap segala aksi pemerintah atau korporasi, justru jurnalis pers watchdogtersebut melakukan analisa mendalam terhadap segala informasi yang diterimanya. Pelaksanaan jurnalisme investigasi adalah ujian krusial bagi pers sebagai pilar keempat. (Julianne Schlutze: 1998).

Jurnalisme investigasi dalam pers watchdognyatanya tak subur hanya di negara-negara liberal dan demokratis. Di negara otoriter seperti Cina pun jurnalisme investigasi dapat tumbuh. Menurut Sheila Coronel, beberapa faktor mendorong hadirnya jurnalisme investigasi di Amerika latin, Asia Tenggara, dan Cina memiliki kesamaan: pergolakan sosial dan politik yang menciptakan permintaan akan informasi; jurnalis dan pengusaha media yang memanfaatkan keuntungan dari kontrol yang longgar, peluang bisnis untuk mengungkap penyelewengan; dan publik yang haus akan reportase pengungkapan skandal dan penyelewengan (muckraking). (Sheila Coronel: 2009)

Di balik aksi watchdogging pers tersimpan pula potensi penyimpangan-penyimpangan. Ada banyak pertanyaan seputar klaim pers sebagai pilar keempat dan berfungsi sebagai watchdog. Salah satunya pendapat Geroge Boyce (1978) yang  dikutip oleh Julianne Schlutz;

“The paradox of the Fourth Estate, with its head in politics and its feet in commerce can, however, only be understood if it is appreciated that the whole idea of the Fourth Estate was a myth. A myth can combine fact and fiction without any uneasiness existing between the two.” (1998)

Di era ekonomi yang berorientasi pada pasar, pers juga tak luput dari dampaknya. Perusahaan media tempat pers bernaung menjadi lebih mementingkan selera dan respon pasar (pembaca). Rating, oplah atau pengunjung situs menjadi pertimbangan pemberitaan. Kapasitas pers sebagai watchdog pun disorot. Pengungkapan penyimpangan bukan didasarkan pada peran sebagai watchdog, tetapi lebih sebagai penyuplai skandal.

Media sebagai “pemangsa” skandal bertujuan untuk memuaskan dahaga khalayak, daripada untuk menginformasikan dan mendorong khalayak untuk mendorong perbaikan. Kontroversi dan skandal yang tak habis-habisnya terus diumbar tanpa dorongan perbaikan yang substansial. Skandal, seperti pemilihan umum, menjadi arena pertarungan para elit daripada mendorong khalayak untuk berubah. (Sheila Coronel: 2009)

Benar di negara otoriter dan tertutup seperti Cina, perusahaan pers yang berbasis keuntungan menjadi motor watchdog. Hasrat khalayak akan pengungkapan penyimpangan mendorong media memburu informasi. Namun apa jadinya bila masyarakat akhirnya jenuh dan putus asa akan melimpahnya penyimpangan? Akankah perusahan pers berpaling dari rutinitasnya sebagai pengungkap penyimpangan? Seperti Andras Sajo, seorang mantan Hakim asal Hungaria katakan, ketika semua orang mengeluhkannya, maka public kehilangan minat terhadap tuduhan korupsi dan menganggapnya wajar. Korupsi tingkat tinggi pemerintah menjadi fakta normal dalam hidup sehari-hari.

Pers yang bernaung di perusahaan berorientasi pada pasar mungkin bebas dari intervensi pemerintah, tetapi fenomena menyedihkan terjadi di Indonesia. Perusahaan pers dikuasai oleh para konglomerat. “Di Indonesia, sebanyak 12 kelompok media besar menguasai saluran informasi dari ujung Aceh hingga Papua. Kedua belas kelompok media ini menguasai saluran informasi mulai dari media cetak koran, majalah, radio, televisi, serta jaringan berita on-line.” (Anggia Valerisha: 2017)

Dampak konglomerasi media ini adalah terdistorsinya informasi yang diterima masyarakat. Masyarakat akhirnya tidak menerima informasi yang memadai, dan hanya mewakili satu sudut pandang. Pemberitaan juga menyuarakan kepentingan pemiliknya. Khalayak atau publik hanya dianggap sebagai pasar semata. Monopoli kepemilikan ini juga hanya menghasilkan opini yang seragam. (Anggia Valerisha: 2017)

Lebih memilukan lagi ketika para konglomerat media terjun ke ranah politik praktis dan berselingkuh dengan penguasa, sehingga peran watchdog bukan saja mandul tetapi pers berubah menjadi lapdog (anjing peliharaan) atau attack dog (anjing penyerang) bagi kepentingan pemiliknya. Kepentingan khalayak atau publik bukanlah tujuan dari perusahaan pers tersebut.

Orientasi jurnalisme watchdog kepentingan publik bagi pers dalam pandangan pers barat yang diadopsi pers berbagai negara termasuk di Indonesia. Namun bagaimana dengan pers Islam? dapatkah konsep pers sebagai watchdog sejalan dengan Islam sebagai pandangan hidup?

Seperti yang dibahas dalam “Menyelami Jurnalisme Islami” salah satu tawaran dalam wacana jurnalisme Islami adalah prinsip jurnalisme Islami adalah tabligh (edukasi), termasuk di dalamnya amar ma’ruf nahi munkar. Satu ajaran untuk menyokong yang hak dan menolak yang batil.

“Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)

Ajaran amar ma’ruf nahi munkar inilah yang diterapkan pula dalam jurnalisme Islami ketika pers Islam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap penguasa. Penguasa dalam ajaran Islam bukanlah figur maksum yang bebas dari kesalahan. Justru tanggung jawab sebagai pemimpin amatlah berat. Namun ketika seorang pemimpin menyimpang dari ajaran Islam maka meluruskannya merupakan salah satu bentuk jihad tertinggi.

Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Para ulama mencantumkan hadist ini dalam bab-bab seputar amar ma’ruf nahi munkar. Abu Daud Sulaiman bin Al Asy’ats As Sajistani membawakah hadits ini dalam kitab sunannya pada Bab “Al Amru wan Nahyu”, yaitu mengajak pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Abu ‘Isa At Tirmidzi membawakan hadits di atas dalam Bab “Mengingkari kemungkaran dengan tangan, lisan atau hati”. Sedangkan Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin membawakan hadits ini dalam Bab “Memerintahkan pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. (Muhammad Abduh Tuasikal : 2013)

Hal ini mengisyaratkan meluruskan perilaku pemimpin dalam Islam bukanlah persoalan remeh-temeh. Memantau jalannya pemerintahan, termasuk didalamnya pemimpin dalam diskursus jurnalisme barat demi kepentingan publik, dengan kebenaran berlandaskan humanisme-sekular maka dalam Islam timbangan kebenaran adalah wahyu. (lihat tulisan #MelekMedia “Menyelami Jurnalisme Islami”).

Perbedaannya adalah tanggung jawab pertama pers Islam adalah kepada Tuhannya, yaitu Allah Swt.  Sedangkan dalam pandangan pers barat, pers berdiri diatas kepentingan publik atau khalayak. NIlai-nilai humanisme-sekular barat menjadi acuan apa yang penting bagi publik. Tanggun jawab sosial pada masyarakat dalam pers islam akhirnya kembali lagi didasarkan pada amar ma’ruf nahi munkar. (Siddiqi, Mohammad A: 1999).

Para penyeru ke jalan Allah dituntut dalam Quran untuk menyampaikan pesan-pesan yang komprehensif yang mengarahkan juru dakwah pada metode terbaik dan jalan yang paling tepat. Menurut Sufyan Ats Tsauri, agar penyeru amar ma’ruf nahi munkar harus memiliki tiga sifat, yaitu halus dalam menyuruh dan melarang, adil dan alim dalam apa yang disuruhkan dan dilarang. (Dr. Muhammad Jamiel Ghazi: 1979)

Secara aplikatif, seperti halnya peran watchdog, peran pengawasan terhadap penguasa (pemerintah) akan lebih komprehensif dan efektif jika ditopang satu bentuk jurnalisme investigasi yang kredibel. Sehingga pers Islam mampu bukan menjadi ‘sekedar tukang kritik’ namun menyajikan satu sajian mendalam baik fakta, analisa maupun nasehat sehingga prinsip tabligh dalam pers Islam dapat terpenuhi. Investigasi yang mendalam juga memungkinkan pers Islam untuk mengkritik dengan adil dan proporsional dengan data yang memadai. Menghindari diri menjadi attack dog atau lapdog.

Tulisan ini merupakan Program #MelekMedia dari Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

Sumber :Jurnal Islam 

Rabu, 13 Juni 2018

Dr. Tony Rosyid: Tol Milik Jokowi?

Dr. Tony Rosyid: Tol Milik Jokowi?


10Berita – Bagi pendukung #2019GantiPresiden Selamat Anda Lewat Tol Jokowi. Itu iklan. Tertulis dalam spanduk. Membentang, sapa para pemudik Jawa.

Sekilas tampak efektif. Seolah-olah benar begitu. Pas timingnya, pas pula momennya. Dipasang di tempat yang pas sorot mata pemudik memandang. Cerdas! Eh nanti dulu. Jangan buru-buru bilang cerdas. Anda bisa tersesat.

Efektif? Cerdas? Itu hanya berlaku bila para pemudik Jawa itu malas mikir. Gak sekolah, nalarnya cekak. Sayangnya, orang Jawa, juga umumnya anak Indonesia itu cerdas-cerdas. Kalau gak cerdas, tak mungkin bisa kritis kepada penguasa.

Saya bahas dikit saja. Gak usah banyak-banyak. Supaya gak ikut kehilangan nalar cerdas.

Tol Jokowi? Emang Jokowi pengusaha tol? Emang tol dibangun oleh yayasan milik Jokowi? Emang gratis? Kayak bagi-bagi sembako gitu. Paham kan? Cukup. Pasti Anda sudah ngerti.

Iklan itu ngawur, tidak cerdas dan menggelikan. Blunder bagi Pak Jokowi. Maksudnya ingin branding Jokowi, tapi justru merusak nama presiden kita. Kasihan Pak Jokowi, terlalu sering dirugikan oleh pendukungnya sendiri. Pendukung yang tak cerdas membuat iklan.

Tak ada milik negara yang bisa diklaim oleh presiden. Monas Soekarno, TMII Soeharto, Tol Bandung milik SBY. Begitu? Itu nalar sakit. Salah ya salah, tapi jangan tampak tak berpendidikan. Sebodoh-bodohnya anak negeri tahu, semua aset negara itu milik rakyat. Kalau ada presiden klaim miliknya, itu tidak saja mengerikan, tapi juga menggelikan. Untungnya, tak ada presiden Indonesia yang berani kalim aset negara. Kalau korupsi? Emang KPK punya nyali?

#2019GantiPresiden justru booming. Eskalasinya tak terbendung. Makin besar gelombangnya ketika Jokowi bereaksi. Kaos kok bisa ganti presiden? PDIP juga ikut bereaksi. Malah lebih kenceng. Reaksi Jokowi dan PDIP seolah jadi umpan. Memancing gelombang. Makin membesar. Seperti mendapat Sparing partner. Rakyat yang jadi oposisi makin bersemangat. Ada tantangan. Sejak itulah, asesoris #2019GantiPresiden seperti sunami. Branding alami.

Puasa adem. #2019GantiPresiden beristirahat. Tak banyak muncul iklannya. Ramadhan, umat Islam khusu’ berpuasa dan jalani ibadah. Mudik lebaran. Dikasih umpan lagi. Kali ini berupa spanduk. Tol Jokowi. Nah, ramai lagi. Seolah jadi THR lebaran. Dapat umpan lagi. Bersemangat lagi.

Iklan “Tol Jokowi” adalah langkah blunder untuk kesekian kalinya. Kenapa? Tak simpatik. Mempertegas polarisasi. Memancing kegaduhan. Merusak suasana mudik. Membuat banyak pihak marah. Tersinggung. Makin phobia dan tak suka kepada Jokowi. Dan ujungnya, akan memperbesar gelombang anti Jokowi. Tidak cerdas bukan?

Kok jadi ikutan nulis yang beginian ya? Isu murahan. Gak penting. Biarlah sesekali iseng. Ngusir sepi, karena pada mudik. []

*Penulis: Dr. Tony Rosyid,  Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Sumber :swamedium,Eramuslim.com 

Senin, 11 Juni 2018

TERNYATA Dibalik Undangan Tokoh NU ke Israel adalah American Jewish Committee, TERBONGKAR Tujuannya...

TERNYATA Dibalik Undangan Tokoh NU ke Israel adalah American Jewish Committee, TERBONGKAR Tujuannya...


GUS YAHYA DAN MANUVER ISRAEL

Oleh: Ikhsan Kurnia
(Penulis dan Pengamat Ipoleksobud)

Kabar bahwa Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) diundang oleh The Israel Council on Foreign Relations.sedang menjadi trending topic beberapa hari ini. Karena banyaknya serangan dari para Netizen, PBNU segera mengeluarkan klarifikasi. Agar lebih valid, saya kutip saja isinya dari beberapa media:

1. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyebut kunjungan Yahya Cholil Staquf ke Israel atas nama pribadi. Di sana, Yahya akan memberikan kuliah umum tentang geopolitik. (Detik.com).

2. Helmy Faishal Zaini mengatakan perwakilan NU yang diundang adalah Katib Aam Syuriah PBNU Yahya Cholil Staquf. Namun, Helmy menegaskan jika kehadiran Yahya yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu untuk memberi dukungan kepada Palestina. "Gus Yahya diundang sebagai perwakilan PBNU untuk menjelaskan posisi Palestina, untuk memberikan dukungan kepada Palestina," kata Helmy. (Cnnindonesia.com).

Dari dua media ini, sejujurnya saya agak bingung. Apakah kunjungan Gus Yahya ke Israel atas nama pribadi (mungkin karena pertimbangan ketokohannya, intelektualitasnya, pemikirannya, dan yang lainnya), ataukah atas nama PBNU (sebagai representasi organisasi NU)? Baiklah, saya tidak akan terlalu lama membahas hal ini. Karena jawabannya rupanya dijelaskan oleh pihak “pengundang”.

Setelah saya menelusuri siapa (apa) lembaga yang bermain dibalik undangan kepada Gus Yahya tersebut, rupanya saya menemukan sebuah organisasi yang bernama AJC(American Jewish Committee), sebuah organisasi advokasi Yahudi global dengan akses yang tidak tertandingi ke pejabat pemerintah, diplomat dan pemimpin dunia.

Untuk memberikan informasi yang valid tentang siapa (apa) AJC, berikut ini saya kutip deskripsi dan link website yang bisa dibuka:

“AJC is the leading global Jewish advocacy organization, with unparalleled access to government officials, diplomats, and other world leaders. Through these relationships and our international presence, AJC is able to impact opinion and policy on the issues that matter most: combating rising anti-Semitism and extremism, defending Israel’s place in the world, and safeguarding the rights and freedoms of all people”.(https://www.ajc.org/whoweare).

AJC memiliki power yang sangat besar untuk mempengaruhi opini dan kebijakan berbagai isu, yang salah satunya adalah defending Israel’s place in the world (mempertahankan tempat Israel di dunia). Jika kita pelajari siapa mereka, sangat terang menderang bahwa tujuan besar mereka tidak lain adalah “membela dan memperjuangkan kepentingan Yahudi Israel”. Berikut ini saya kutip beberapa keterangan di websitenya:

“Around the world—from the hallways of the UN in New York, to the corridors of the European Union in Brussels, and to the countries of Asia—AJC advocates for Israel at the highest levels. And when Israel is under assault, whether from the terrorist organizations on her doorstep or the global BDS movement, AJC helps bring the world the truth about Israel.”(https://www.ajc.org/issues/israel).

Jelas dikatakan bahwa AJC mengadvokasi negara Israel di level yang paling tinggi (termasuk lobi-lobi tingkat “dewa”).

Lalu, benarkah organisasi ini yang “mendatangkan” Gus Yahya? Mari kita baca sendiri sebagaimana yang tertulis di website mereka: https://www.ajc.org/news/leader-of-worlds-largest-muslim-organization-to-address-ajc-global-forum-in-jerusalem

Disana dijelaskan bahwa (saya kutip beberapa poin penting):

1. Yahya Cholil Staquf, General Secretary of the world’s largest Muslim organization, the Nahdlatul Ulama (NU) Supreme Council, will address the American Jewish Committee (AJC) Global Forum in Jerusalem. The four-day conference, June 10-13, is the premier Jewish global advocacy organization’s signature annual event.

2. President Wahid, who also had previously served as Chairman of the NU, addressed the AJC Global Forum in 2002, in Washington, D.C.

3. AJC, through its Asia Pacific Institute (API), strives to help Israel, the U.S., and the global Jewish community strengthen relations with Indonesia. AJC engages regularly with Indonesian diplomats in Washington, D.C, and New York, as well as with the U.S.-Indonesia Society (USINDO), the premier non-governmental organization devoted to promoting mutual understanding between Indonesia and the U.S.

Dalam website tersebut diceritakan bahwa Gus Dur juga pernah menghadiri AJC Global Forum pada tahun 2002 di Washington D.C. Selain itu, yang menarik adalah bahwa AJC melalui Asia Pacific Institute (API) berupaya untuk membantu Israel, AS, dan komunitas Yahudi global untuk memperkuat hubungan dengan Indonesia. Jadi, sudah sangat jelas apa motif dibalik undangan yang dialamatkan kepada Gus Yahya.


Saya tidak tahu persis mengapa konferensi tahunan AJC 2018 ini yang diundang adalah Gus Yahya. Namun jika dibaca di websitenya, dijelaskan bahwa: “Yahya serves on the USINDO Council on Religious Pluralism and Tolerance, and co-chairs its Counterterrorism Working Party. He also is Director of Religious Affairs for Bayt ar-Rahmah, a North Carolina-based NGO that facilitates the global expansion of Nahdlatul Ulama activities.” (Untuk mengetahui apa itu Bayt ar-Rahmah, LSM yang berbasis di North Carolina tersebut bisa dipelajari di websitenya http://baytarrahmah.org/).

Dalam artikel ini saya tidak akan banyak menyampaikan opini saya terhadap isu ini (agar tidak terlalu panjang). Namun impresi saya setelah menemukan data-data di atas, saya merasakan bahwa undangan terhadap Gus Yahya tidak lain merupakan manuver Yahudi-Israel yang tujuan utamanya tidak lain dan tidak bukan untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

Meski dikemas dalam format kajian akademis, hubungan diplomatis, hak asasi manusia, dialog lintas iman (interfaith dialogue), dan semacamnya, semua itu tidak lain adalah dalam rangka memperkuat, membela dan memperjuangkan kepentingan Israel. Mungkin kita yang terlalu lugu, atau pura-pura tidak tahu, tentang keunikan karakter Yahudi tersebut.***

Sumber :Portal Islam 

Minggu, 03 Juni 2018

Yusril: Di Era Jokowi, Pancasila Lebih Banyak Dibenturkan Dengan Umat Islam

Yusril: Di Era Jokowi, Pancasila Lebih Banyak Dibenturkan Dengan Umat Islam


OLEH: YUSRIL IHZA MAHENDRA
Pakar Hukum Tata Negara/Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB)

10Berita, Sengaja saya menuliskan artikel ini sehari setelah Pemerintahan Jokowi merayakan Hari Lahirnya Pancasila. Alasannya, saya tidak ingin menambah materi perdebatan di tengah publik yang memang sedang riuh di tengah terjadinya degradasi makna Pancasila dalam tataran implementasi, namun sangat subur dan surplus dalam tataran kata-kata serta simbol-simbol yang sesungguhnya tak berguna sama sekali karena justru mendegradasi Pancasila itu sendiri.

Perdebatan tentang mengapa Hari Lahir Pancasila ditetapkan 1 Juni pun belum usai, meski Presiden Jokowi telah menetapkanya lewat sebuah keputusan, bahkan menetapkan 1 Juni sebagai hari libur Nasional. Maka Pancasila semakin kehilangan makna karena jejaknya pun mulai dihapus dan diganti di tengah perjalanan sejarah bangsa.

Memang bila kita telusuri sejarah dengan hati yang jernih, tentu akan menjadi pertanyaan yang tidak akan terjawab secara tuntas, mengapa Pemerintahan Jokowi memilih menetapkan 1 Juni sebagai Hari lahir Pancasila. Belum lagi bicara pada rumusan Pancasila yang disampaikan oleh para pendiri bangsa saat sidang BPUPKI tahun 1945 yang dimulai dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni yang memang khusus merumuskan tentang bahan konstitusi dan rencana cetak biru bangsa Indonesia.

Rumusan-rumusan yang disampaikan oleh para pendiri bangsa seperti Moh Yamin, Soepomo, dan Soekarno hingga ke Piagam Jakarta dan Rumusan Pancasila dalam UUD 1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945. Rumusan Yamin, Soepomo dan Soekarno serta Piagam Jakarta adalah rumusan yang berbeda dan tidak sama Pancasila yang sekarang kita jadikan ideologi dan falsafah bangsa.


Rumusan yang dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 juga adalah rumusan yang tidak sama dengan Pancasila sekarang. Lantas menjadi tepatkah 1 Juni disebut Hari lahir Pancasila dengan semua rumusan yang tidak sama dengan Pancasila dalam UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945?

Semua boleh menjawab dengan menggunakan nalar masing-masing, namun bagi saya 1 Juni tidaklah tepat disebut sebagai hari lahir Pancasila dan tidak juga boleh dijustifikasi bahwa Pancasila sebagai produk tunggal Soekarno. Namun Pancasila lebih tepat disebut lahir tanggal 18 Agustus 1945 seiring perumusan bersama oleh para pendiri bangsa.

Dalam sejarah perjalanan hidup Taufik Kiemas, sewaktu masih menjabat sebagai Ketua MPR, beliau pernah mengajukan surat permohonan kepada Presiden RI Ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono untuk menetapkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Namun karena SBY paham dan mengerti sejarah perjalanan Pancasila, ditambah pengalaman SBY sewaktu masih menjabat Menkopolhukam era pemerintahan Megawati, beliau tidak serta merta merestui dan menyetujui permohonan tersebut. Meski hampir setiap tahun SBY semasa pemerintahannya selalu memperingati 1 Juni sebagai tonggak awal lahirnya Pancasila

Sejarah telah mencatat, ketika pada suatu perayaan Hari Kesaktian Pancasila, dan upacara secara militer telah disiapkan dengan rencana inspektur upacara Presiden, ternyata Megawati urung menjadi Irup (inspektur upacara) dan digantikan SBY yang saat itu menjabat sebagai Menkopolhukam. Pertanyaannya mengapa Presiden urung menjadi Irup kala itu? Mari kita tanya kejujuran ibu Mega.

Hal itu sangat mungkin bukan terjadi begitu saja. Mungkin saja dan menjadi patut diduga bahwa Megawati tidak senang dengan perayaan Kesaktian Pancasila 1 Oktober karena identik dengan titik awal kejatuhan kekuasaan Soekarno sebagai Presiden pasca kudeta gagal oleh PKI. Secara psikologis itu menjadi masuk akal sehingga sejarah harus diganti karena perasan traumatik atau memang sama sekali tidak suka dengan 1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila.

Maka untuk menggantikan itu, diupayakanlah tanggal lain yang menjadi lebih besar dan menutupi Peringatan Kesaktian Pancasila 1 Oktober dengan 1 Juni. Sah saja andai sejarah tidak menjadi kehilangan jejak karena bangsa ini tidak akan pernah menjadi bangsa besar jika sejarahnya tidak lurus.

Kembali kepada peringatan hari lahir Pancasila yang kemarin 1 Juni diperingati secara besar-besaran oleh penerintah ini. Ada yang mengganggu dari slogan petingatan kemarin yaitu kalimat 'SAYA PANCASILA'. Hal ini bagi saya adalah mendegradasi makna Pancasila itu sendiri karena kita sebagai warga negara mensejajarkan diri dengan Pancasila.

Dengan menyebut 'SAYA PANCASILA' artinya perbuatan yang belum tentu sesuai dengan Pancasila menjadi dianggap pancasilais. Contohnya, pencabutan subsidi terhadap rakyat itu tidaklah Pancasilais karena subsidi itu adalah bentuk kecil dari upaya negara mewujudkan keadilan sosial.

Pemungutan pajak secara ugal-ugalan itu juga tidaklah Pancasilais. Penggusuran rakyat miskin itu juga tidak Pancasilais. Lantas di mana persamaan perilaku pemerintah ini dengan Pancasila hingga berani menyebut dirinya dengan kalimat 'Saya Pancasila'?

Pancasila 18 Agustus 1945 itu adalah kompromi dari kelompok Nasionalis dengan kelompok Agamis terutama kelompok Islam. Pancasila itu lahir dari kesepakatan bersama antara paham Nasionalis dengan paham Agamis Islam.

Tapi saat ini seolah Pancasila hanya menjadi milik kaum yang merasa dirinya Nasionalis. Bahkan Pancasila digunakan sebagai alat pembenaran untuk menggebuk, dan yang digebuk justru dari kalangan agamis yang dulunya adalah bagian dari kompromi lahirnya Pancasila.

Era Soeharto, Pancasila digunakan sebagai pembenaran menggebuk yang berbau Komunis.

Sekarang di era Jokowi, Pancasila lebih banyak dibenturkan dan dihadap-hadapkan dengan kaum Agamis Islam. Ini tidak sehat dan tidak baik. Yang merasa dirinya nasionalis tidak boleh merasa bahwa dirinyalah Pancasila.

Pancasila semakin terdegradasi jauh. Bagi rejim ini, yang tidak sepaham dengan dirinya dianggap tidak Pancasilais, dianggap tidak toleran, dianggap tidak berbhineka. Ini perusakan nilai ruh Pancasila yang sesungguhnya.

Presiden harus melakukan upaya-upaya yang benar dan tepat dalam menangani masalah ini sebelum menjadi membesar. Presiden harus mengerti dan memahami sejarah supaya tidak mudah diatur kelompok lain untuk menciptakan sejarah baru terkait sejarah Pancasila seperti penetapan 1 Juni itu sebagai Hari Lahir Pancadila dan sebagai hari libur.

Pancasila itu bukan Soekarno, Pancasila bukan golongan tertentu saja, tapi Pancasila itu adalah hasil kompromi besar para pendiri bangsa yang harus dijaga kelurusan sejarahnya, dikawal penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta diamalkan nilai -nilainya dalam menyelenggarakan negara.

Berhentilah siapapun yang ingin menciptakan sejarah dengan memodifikasi sejarah bangsa, terutama sejarah Pancasila agar Pancasila tidak kehilangan jejak dan tidak terdegradasi makanya jadi sebatas simbol-simbol semata.[]

Sumber: RMOL

Jumat, 01 Juni 2018

MENOHOK! Zeng Wei Jian: Memang Apa Special Skill Anggota BPIP, Kok Upahnya Gede Banget?

MENOHOK! Zeng Wei Jian: Memang Apa Special Skill Anggota BPIP, Kok Upahnya Gede Banget?


10Berita, Seorang tukang becak di Kebumen mengatakan dia hanya dapet 20-an ribu per hari. Kepukul ojek online. Artinya, income sebulan di bawah 1,5 juta. UMR Jawa Tengah juga sekitar angka itu.

Di Jawa Tengah, ada ratusan ribu guru honorer yang gajinya 100 ribu, bahkan 50 ribu per bulan.

"Normally a good salary comes with an important position. But this assumption is not generally valid," kata konsultan Romana Bosinceanu.

Anggota Dewan Pengarah BPIP dibayar 100 juta per bulan. Artinya, sehari sekitar 3 juta rupiah. Jauh di atas income rakyat biasa.

Orang ngga tau apa fungsi, job desk dan manfaat BPIP. Biasanya, sebuah posisi butuh spesifikasi skill. Anggota BPIP bersifat plural. Ada ketua partai, purnawirawan jenderal, profesor hukum, konglomerat dan lain-lain. Mayoritas usianya sudah pensiun lama. Tapi tetap dipekerjakan. Entah apa kerjanya.

Mereka bukan PNS. Juga, ngga dipilih oleh rakyat seperti Anggota Dewan, Gubernur dan Walikota.

Pastinya, dengan gaji sebesar itu, mereka bebas beban finansial. Bagi Sudhamek AWS, sudah kaya semakin kaya. Ngga usah beli beras sachet. Mereka free dari ancaman karōshi (death from overwork) akibat stress kerja.

Sedangkan bagi rakyat, kalo cabe mahal; tanam sendiri, daging mahal; makan bekicot, listrik mahal; cabut meteran, beras mahal; ditawar donk.

Untung saja ngga ada anjuran bertelor sendiri kalo harga telur naik.

Penulis: Zeng Wei Jian

Sumber : portal-islam.id

Rabu, 30 Mei 2018

Matinya Keadalian Umat Islam di India

Pembunuhan Asifa Bona, Matinya Keadalian Umat Islam di India



Oleh: Anastasia Sp.d

Hampir sepekan publik India bersorak riuh, setelah tim kesayangan Bulutangkisnya menjurai piala Bulutangkis  negara-negara persemakuran Inggris di Malaysia, wajah Saina Nehwal  sang mantan peraih perunggu Bulutangkis  olimpiade Inggris seolah menutupi kesediahan umat Islam di India.

Siapa lagi kalau bukan berita pembunuhan, pemerkosan, dan penganiayaan Asifa Bona seorang Muslim India, yang sebelumnya menimpa Zainab gadis kecil berusia 7 tahun yang mayatnya dibuang di tumpukan sampah.

Sebelumnya Asifa sempat hilang, namun naas  saat ditemukan Asifa dalam keadaan tidak beryawa tumbuh mungilnya tercabik-cabik memperlihatkan bekas pemerkosaan dan siksaan, pelakunya lebih dari 5 orang dengan berbagai latar belakang profesi dari pejabat hingga pemuda.

Sungguh ironi pemerintah India diam seribu bahasa, kalangan HAM India mulai mempertanyakan tentang keadilan tapi tak ada sedikitpun publikasi resmi dari pemerintah, padahal kasus serupa juga pernah menimpa warga asing dan penduduk Hindu,  langkah nyata pemerintah benar-benar terlihat mulai dari investigasi hingga disoroti media asing, tapi tidak dengan kasus ini; jika yang  menimpanya seorang Muslim.

Akar  kebencian kepada Muslim sudah nampak terlihat dari awal, seperti adanya teror kepada  komunitas Guijar (Komunitas Islam India) yang sejak lama didesak keluar meninggalkan Jammu, wilayah yang mayoritasnya orang Hindu. Lebih mengejutkan lagi para Hindu Nasionalis tetap berdalih dengan pembenaran para pelaku, bahkan menolak untuk menguburkan jenazah Asifa di tanah Jammu.

Apa yang menimpa Asifa adalah cerminan kondisi sauadara kita di Rohinya tak ada keadilan untuk umat Islam, umat Islam hanya dijadikan korban dari kebiadaban manusia rakus yang takut akan dominnasi umat Islam, inilah konsekuensi umat Islam yang hidup tanpa pemimpin Islam, yang mampu menjadi prisai kehormatan, kondisi ini jauh dari apa yang pernah dilakukan Rosulallah atau para sahabat di masa-masa kejayaan saat Islam berkuasa.

Hari itu, disebut dengan hari Fathul Makkah ; penaklukan kota Mekkah,  dimana Rasulullah Saw datang bersama pasukan berkekuatan 10.000 tentera dengan persenjataan yang lengkap. Abu Sufyan, pemimpin Quraisy memperhatikan kekuatan itu dari atas sebuah bukit. Ia berkata kepada Abbas, paman Rasulullah Saw. “Wahai Abas, tak seorangpun yang sanggup dan kuat menghadapi pasukan sehebat ini.”

Namun apakah Nabi Saw melampiaskan dendamnya pada saat berkuasa seperti itu? Apakah Nabi mencari Hindun dan Wahsyi yang telah membunuh dan memakan jantung Hamzah paman nabi? Apakah Nabi membalas dendam atas kematian Mus’ab bin Umair di perang Uhud yang mayatnya dicincang orang kafir?

Tidak , tidak! Pada masa itu baginda tidak menghukum sesiapapun. Baginda Saw menyebarkan rahmat dan cinta kasih kepada orang
Mekkah yang selama ini memusuhinya dan ingin menghancurkannya. Pada masa itu baginda Saw memaafkan mereka semua seraya berkata:

“Siapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram dia telah aman,  siapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan dia telah aman dan siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia telah aman .”

Tentu kita tahu kisah Muhamad Al Fatih ketika menaklukan Konstatinopel. Ketika  sang penakluk berhasil memasuki salah satu gereja, beliau begitu menghargai dan melindungi orang Nasrani yang saat itu takut diserang. Atau saat seorang Muslimah dilecehkan auratnya oleh yahudi Qainuqo, maka dari itulah Rosulallah melakukan pengusiran yahudi Qainuqo dari tanah Madinah.

Betapa rindunya kami umat Islam kepada pemimpin seperti Rosuallah dan para sahabat, semoga Allah Swt menolong kami dan mensegerakan perjuangan umat Islam hingga mengapai kejayaannya. Aamin Wallahu’Alam bi Shawab. [syahid/]

Sumber :voa-islam.com

Senin, 28 Mei 2018

Rezim Jokowi, Demokrasi Kian Suram?

Rezim Jokowi, Demokrasi Kian Suram?

ILUSTRASI: Hafiz

Oleh Moh. Ilyas
Pemerhati Politik

SETELAH terpilihnya Joko Widodo dalam Pilpres 2014, ada ekspektasi besar terhadap demokrasi di negeri ini. Demokrasi kita diharapkan semakin matang dan menemukan jati dirinya. Demokrasi yang tidak hanya pada level prosedural, tetapi menyentuh pada level substantif.
Ekspektasi ini wajar terpatri dalam benak publik. Sebab, selama ini, setelah melewati beberapa fase kepemimpinan nasional, kita menyadari bahwa demokrasi ada dalam masa transisi dan masih mencari bentuk. Terlebih ketika kita menyaksikan bahwa demokrasi kerap kali dibajak untuk kepentingan kelompok dan oknum-oknum tertentu.
Di masa-masa itu, kiranya tidak terlalu sulit untuk melihat bagaimana demokrasi kita banyak mengalami problem, baik dalam ranah politik, hukum, dan budaya. Tidak jarang kita jumpai ada ‘campur aduk’, di mana hukum dimainkan oleh politik, hukum disandera oleh kekuasaan, atau bahkan kekuasaan yang didikte oleh kekuatan di luar kekuasaan itu sendiri. Maka, di masa-masa itulah ada keresahan dan kegelisahan dalam berbangsa dan dalam menjelajahi samudera demokrasi. Dalam posisi itu, ekspektasi publik akan kematangan berdemokrasi bisa berjalan seiring dengan pergantian rezim.
Namun, tak dinyana. Dalam perjalanan waktu, ketika menyorot kepemimpinan Jokowi, ekspektasi itu rasanya terlalu besar. Di era Jokowi, bukannya semakin membaik, demokrasi justru tampak semakin keluar dari khittahnya. Demokrasi kita semakin hari semakin suram.
Demokrasi yang ditampilkan rezim saat ini, dekat dengan sebuah istilah yang dipopulerkan Yuki Fukuoka dalam bukunya, “Oligarchy and Democracy in Post-Soeharto” (2013). Konsep ini merujuk pada suatu tatanan demokrasi di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil. Dalam hal ini, segelintir elite mengendalikan berbagai dinamika dan pergulatan bangsa ini, di mana terkadang, tanpa peduli, hukum pun mesti diterobos.
Untuk melihat bahwa oligarki begitu kuat mencengkeram, tentu tidaklah sulit. Banyaknya suara rakyat yang diabaikan dalam berbagai kebijakan pemerintah; pemerintah yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok kecil daripada rakyat, menjadi salah satu fakta sahih Bahia “penyakit demokrasi” tengah berkecambah di negeri ini. Dan, fenomena ini dapat menjadi sebuah parameter dari gagalnya pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara.
***
Oleh karenanya, jika diibaratkan matahari, demokrasi kita yang sebelumnya sudah mulai terbit dan memancarkan cahayanya yang mulai terang, kini cahaya itu seperti hendak padam lagi. Seberkas cahaya yang diharapkan bisa lebih terang untuk menyinari langit-langit Indonesia, namun yang terjadi justru sebaliknya. Matahari malah semakin meredup. Wajah matahari seakan hendak tenggelam ke peraduannya.
Maka alih-alih lebih baik, demokrasi kita justru semakin jauh tersumbat oleh kepentingan-kepentingan para aktor di dalamnya.
Tentu ini bukan kisah imajinatif tentang negeri ini. Kondisi ini setidaknya dapat kita saksikan dalam berbagai dinamika bangsa ini, termasuk yang terjadi belakangan ini. Salah satunya adalah ketika pada 22 Mei 2018, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah telah dilarang untuk berceramah di masjid kampus UGM.
Dalam sebuah pesannya kepada aktivis pergerakan pada acara Silaturahim 2.0, Fahri menuturkan pelarangan itu ternyata berasal dari istana di mana rektorat UGM telah ditetapkan oleh istana kemudian pihak rektorat menekan takmir masjid UGM untuk menghapus dan mencoret nama Fahri Hamzah jika sekelas pimpinan DPR saja diperlakukan seperti ini bagaimana dengan rakyat yang tidak punya jabatan
Contoh lainnya adalah ketika kita dipertontonkan dengan aksi-aksi represif aparat negara terhadap rakyat yang menyuarakan aspirasinya. Seakan tak mau rezim ini dikritik, mahasiswa dalam hal ini kader-kader HMI MPO saat melakukan aksi 21 Mei harus mendapatkan perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari aparat, sehingga banyak dari mereka harus dirawat di rumah sakit.
Dalam posisi ini, aparat seakan lupa bahwa mereka adalah pelindung rakyat, bukan pelindung penguasa. Aparat juga mesti paham, apa yang disuarakan mahasiswa adalah wujud kepedulian akan nasib bangsa ini. Apalagi mereka bersuara lantang untuk mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Sehingga sudah sepatutnya aspirasi mereka dihormati sebagai hak dalam dunia demokrasi.
Selain itu juga adanya kesan ketidakadilan aparatur negara dalam merespon persoalan sosial negeri ini. Aparat dianggap keras terhadap mereka yang anti-Jokowi dan lunak kepada yang pro-Jokowi. Kesan ini begitu kuat, mulai dari kasus sembako rusuh di Monas yang digelar pendukung Jokowi, di mana aparat kepolisian dinilai cenderung menyembunyikan kematian dua bocah dengan kasus-kasus lainnya. Pun juga ketika pada pekan ini sebuah video viral tentang warga yang mau membunuh Jokowi dan hanya dianggap lucu-lucuan.
Sementara ketika ada anak SMK membuat status kritik terhadap Jokowi langsung diciduk. Ini belum lagi tindakan aparat yang melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang mengkritik isu-isu mutakhir, misalnya dengan kata “pengalihan isu” dan sebagainya. Padahal kata “pengalihan isu” ini sangat akrab di telinga kita karena kata itu sering dilontarkan oleh para politisi PDIP ketika mereka berada di luar pemerintahan dan menjadi oposisi di masa kepemimpinan SBY.
Persoalan lain yang menjadi sorotan di antaranya adalah pembubaran ormas ataupun kenaikan BBM dan impor beras ratusan ribu hingga jutaan ton, di mana pemerintah dapat dikatakan “cuek bebek” terhadap kritik, masukan, ataupun aspirasi rakyat. Padahal rakyat adalah pihak yang menjadi korban kebijakan-kebijakan perintah.
Inilah berbagai contoh bagaimana demokrasi kehilangan makna. Demokrasi yang sejatinya meletakkan suara rakyat sebagai suara Tuhan, dengan menjadikan rakyat sebagai objek vital dari kesejahteraan sebuah negara, justru yang terjadi sebaliknya. Suara rakyat diabaikan. Kebijakan-kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat, malah terus digalakkan. Suara rakyat hanya seperti angin lalu saja.
Padahal sesungguhnya hakikat dari kedaulatan rakyat (people’s sovereignty), adalah setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah merupakan kehendak dari rakyat yang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Jadi para penguasa hanya merupakan wakil saja dan bukan merupakan pemilik kekuasaan yang absolut.
***
Di mana partai politik dan gersos kita? Inilah pertanyaan yang pantas dikemukakan dalam merespons persoalan tersebut. Bagi rakyat, partai politik seperti "wujuduhuu ka ‘adamihi", adanya seperti tidak adanya. Bila memotret parlemen, nyaris tak pernah ada suara kritik terhadap kebijakan penguasa kecuali dari hanya dari kelompok kecil yang tergabung dalam partai oposisi seperti Gerindra, PKS, maupun PAN. Sisanya seperti hanya mengikuti paduan suara yang dipandu oleh Istana.
Akibatnya, suara partai yang mencoba membela kepentingan rakyat dan membendung kebijakan-kebijakan penguasa, seringkali kandas di tengah jalan. Suara-suara partai oposan kalah dalam mekanisme voting, di mana suara mayoritas selalu menjadi pemenangnya. Mayoritas selalu jadi pemenang, meskipun kurang berpihak kepada rakyat. Apakah ini juga pertanda adanya arogansi mayoritas? Dalam posisi inilah demokrasi sudah tidak berjalan sehat.
Begitupun dengan gersos, social movementyang di masa lalu banyak dimotori mahasiswa, sehingga mereka sering disandangkan dengan berbagai predikat seperti agent of social controlagent of change dan seterusnya. Predikat itu disandang, karena mahasiswa tak mudah disetir dan dikendalikan oleh kekuasaan.
Namun fakta ini sepertinya hanya menjadi kisah masa lalu saja. Sebab, kini sebagian besar mahasiswa tertidur pulas atau hanya asyik dalam dunianya, dunia kampus; tak ada dunia kehidupan sosial dan perubahan. Alih-alih memikirkan nasib rakyat, mahasiswa malah lebih sering tampil untuk bertepuk tangan di acara-acara talkshow televisi, daripada turun ke jalan memperjuangkan rakyat. Pada saat yang sama, hedonisme mahasiswa juga sering begitu mudah ditaklukkan dengan politik iming-iming atau sekedar undangan makan siang Istana Negara. Sehingga hari-hari yang biasanya selalu diwarnai dengan gelora suara mahasiswa, seperti pada 20 Mei atau 21 Mei, untuk mengkritik kebijakan negara, justru tidak terjadi. Mahasiswa tenggelam dalam mimpi-mimpi indahnya. Walhasil, Gersos untuk mengevaluasi kinerja penguasa, sangat langka kita jumpai.
Tentu, bukan hanya mahasiswa dan kelompok cerdik cendekia, tetapi juga media massa. Apa yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi ini pun kehilangan identitas dan jati diri. Tentu tidak semuanya, tetapi jika jujur boleh dikatakan kalau sebagian besar media kita, khususnya media arus utama kehilangan daya kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Betapa banyak masyarakat kita akhirnya gagal paham dalam menilai pemerintahan saat ini. Sebab, masyarakat kita sering kali hanya disuguhi pujian terhadap penguasa, sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat tidak sampai ke telinga rakyat. Media massa, yang hanya menyajikan informasi-informasi bernada pujian pada pemerintah pun tidak hanya berhasil membentuk persepsi publik, tetapi sekaligus berhasil menghapus kegagalan pemerintah dalam memori dan pikiran rakyat.
Inilah persoalan-persoalan yang menyelimuti demokrasi kita sehingga perjalanan demokrasi kita sesungguhnya bukan hanya tengah tersandung, tetapi terperosok dalam jurang yang sangat dalam dan menghawatirkan. Jika tidak bisa diselamatkan, demokrasi bangsa ini akan benar-benar tenggelam dan kita akan kembali ke masa Otoritarianisme, masa di mana suara rakyat benar-benar dikendalikan sepenuh hati oleh penguasa. Suara rakyat yang kritis akan benar-benar hilang dan musnah. Jika pun ada, maka ia akan dengan mudah dihilangkan dan dilenyapkan, entah bagaimanapun caranya. Semoga itu hanyalah kekhawatiran yang tidak akan terjadi.
Wallahu a'lamu bi al-shawab.
Bintara, 24 Mei 2018

Sumber :UC News 

Kamis, 24 Mei 2018

BABAK BELUR DEMOKRASI REZIM JOKOWI

BABAK BELUR DEMOKRASI REZIM JOKOWI

10Berita, Angka pertumbuhan penggunaan Elpiji 3 kg (subsidi untuk rakyat miskin) meningkat signifikan daripada jumlah angka pertumbuhan rakyat miskin, namun hal ini tidak ditertibkan oleh pemerintah. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Dahulu, ketika kolonial Belanda masih mencengkeram nusantara, mereka begitu takut dengan kata-kata. Setiap pribumi yang bersuara kritis kepada Belanda, maka akan dituduh pemberontak dan harus dilenyapkan. Bahkan semua pahlawan-pahlawan yang telah kita kenal hari ini, seperti Diponegoro, Jenderal Soedirman, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Pattimura, Imam Bonjol, Sisingamangaraja XII, dan nama-nama pahlawan nasional lainnya, yang hari ini tercatat dan kita kenal sebagai pahlawan, dahulunya mereka juga dikatakan sebagai pemberontak oleh Belanda.

Bahkan tidak hanya dikatakan sebagai pemberontak, tapi mereka juga dikatakan sebagai orang-orang ekstrimis, fundamentalis, dan radikal. Dimana keberadaan mereka saat itu, adalah ancaman bagi pemerintahan Belanda, kemudian Belanda menghasut rakyat untuk membenci dan menjauhi mereka, dan tak jarang yang kemudian mereka ditangkap, dipenjara, dibuang ke pulau-pulau yang baru, dan juga di bunuh. Kemudian setelah berhasil menangkap ataupun membunuh, dengan santai Belanda pun menjelaskan kepada masyarakat pribumi lainnya, bahwa mereka ditangkap ataupun dilenyapkan demi menciptakan perdamaian bagi kehidupan masyarakat.

Orang-orang yang bodoh, tidak memiliki sense of crisis, berakal pendek, bermental budak, dan krisis nasionalisme, praktis mereka akan ngangguk-ngangguk dengan apa yang telah di lakukan oleh Belanda. Kemudian ikut mendukung Belanda dan mencaci maki orang-orang yang tidak setuju dengan Belanda. Bahkan tidak sedikit, orang-orang seperti mereka ini yang pada akhirnya menjadi ancaman paling berbahaya bagi pergerakan kelompok-kelompok pejuang. Sebab tak jarang, orang-orang seperti mereka lah yang kemudian menjadi mata dan tangan Belanda. Mereka melaporkan keberadaan markas para pejuang, dan tak jarang pula ikut menggempur markas para pejuang bersama tentara-tentara Belanda.

Kemudian setelah hilang masa penguasaan Belanda, karena telah diusir oleh para pahlawan dan pejuang-pejuang kita. Datanglah masa orde lama, yang dipimpin oleh bapak proklamator kita, yakni Soekarno. Di masa ini, walaupun dipimpin oleh orang yang notabene ikut membidani bahkan salah satu pelaku utama dalam tercapainya kemerdekaan Indonesia, namun di penghujung usia kekuasaannya, Soekarno justru menodai jejak perjuangannya sendiri.

Beliau menginisiasi kemudian memproklamirkan dirinya sebagai presiden seumur hidup. Kemudian beliau juga menangkap serta memenjarakan tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintahannya, bahkan beberapa nama dipenjara begitu saja tanpa melalui proses peradilan. Seperti Sutan Syahrir, Mochtar Lubis, Buya Hamka, dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka ini adalah orang-orang yang semasa hidupnya, terkenal sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan Soekarno semasa jadi presiden.

Walaupun secara konsep demokrasi, mengkritik kebijakan pemerintah itu sah-sah saja dan sangat dipahami oleh Soekarno, sebab beliau juga pernah menjadi pejuang demokrasi, khususnya saat memperjuangkan Indonesia merdeka, namun ternyata pada penghujung kekuasaannya, nafsu untuk kekal berkuasa telah menutup kesadaran Bung Karno, hingga akhirnya melahirkan kebijakan-kebijakan yang cenderung totaliter dan menimbulkan banyak protes di kalangan masyarakat, khususnya aktivis dan kelompok intelektual.

Fakta itulah yang kemudian menodai kepemimpinan Bung Karno. Namun walaupun begitu, orang-orang yang pernah dipenjara oleh Bung Karno tersebut, mereka memaafkan Bung Karno. Dan kita semua juga memaafkan Bung Karno. Tersebab jasanya demikian besar terhadap terbentuknya NKRI. Dan itu juga fakta yang tidak bisa dibantah oleh siapapun.

Berakhir masa orde lama, datanglah masa orde baru. Soeharto memimpin, nyaris 32 tahun lamanya. Kekuasaan yang sangat lama itu, telah menginspirasinya untuk melakukan banyak pembangunan, baik itu pembangunan dalam bentuk fisik infrastruktur, maupun pembangunan SDM. Hingga beliau pun kadang disebut sebagai bapak pembangunan. Namun akibat waktu yang terlalu lama berkuasa tersebut, Soeharto pun tak luput dari nafsu untuk bisa kekal berkuasa, cenderung menumpuk harta, dan totaliter.

Orang-orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto, cenderung ditekan, ditangkap dan dipenjara. Media-media yang kritis terhadap pemerintahannya, dibredel dan pemrednya ditangkap. Aktivis-aktivis yang kritis, juga ditangkap. Bahkan mubaligh-mubaligh yang ceramahnya ataupun khutbahnya menyinggung pemerintah, maka dia juga ditangkap kemudian dipenjara. Tidak semua memang, tapi jumlahnya cukup banyak.

Sebab orang-orang kritis yang ditangkap tersebut serta media-media yang di bredel itu, juga sekalian dijadikan sebagai model atau ancaman terbuka dari rezim Soeharto, untuk menakuti rakyatnya agar tidak kritis terhadap pemerintah. Sehingga praktis, banyak orang yang saat itu takut untuk bersuara, tidak berani mengkritisi pemerintah. Jangankan secara terbuka, terkadang dalam kamar-kamar di rumah mereka pun, antara suami istri, mereka juga takut untuk membicarakan kekacauan kebijakan rezim Soeharto. Sebab mereka takut intel mendengar percakapan mereka, kemudian mereka ditangkap dan dipenjara.

Semua noda pada rezim Soeharto tersebut, kemudian terakumulasi dalam benak rakyat Indonesia, hingga akhirnya pecahlah peristiwa 98, yakni Reformasi. Sebab orang-orang sudah tidak kuat lagi dengan gaya totaliter Soeharto. Orang sudah tidak kuat lagi menyaksikan konglomerasi keluarga Soeharto dan kroni-kroninya, dan sudah tidak mau lagi dibungkam, sudah tidak mau lagi dibatasi kata-katanya untuk mengkritik pemerintah. Maka pecahlah demonstrasi besar, mahasiswa dan rakyat sepakat menduduki gedung DPR, menuntut reformasi kepemimpinan nasional. Peristiwa ini kemudian kita kenal dengan Reformasi 98. Karena terjadi di bulan Mei 1998, dan tanggal 21 Mei Soeharto mundur. Kemudian tanggal 21 Mei itu kita peringati sebagai hari reformasi.

Setelah Soeharto lengser, datanglah Bachruddin Jusuf Habibie mengisi puncak kepemimpinan nasional. Beliau memiliki beban transisi yang relatif berat, dan kepemimpinan beliau hanya 1 tahun. Dan dalam masa satu tahun itu, situasi demokrasi kita cukup stabil. Kemudian setelah Habibie, datanglah Abdurahman Wahid (Gusdur), masih sama, situasi demokrasi kita masih relatif stabil. Setelah Gusdur, kepemimpinan nasional dipegang oleh Megawati, kemudian diganti oleh Susilo Bambang Yudhoyono hingga 10 tahun lamanya. Dan dalam masa itu, demokrasi kita juga relatif stabil. Tidak terlalu terbuka juga tidak terlalu egaliter memang, namun setidaknya tidak ada penodaan terhadap nilai-nilai demokrasi secara terang-terangan.

Setelah Rezim SBY berakhir, lalu kini muncullah rezim Jokowi. Tokoh satu ini awal kemunculannya banyak mengejutkan publik, diawali dengan cerita keberhasilannya saat memimpin Solo, yang terkesan begitu egaliter dan demokratis. Kemudian dengan modal itu, ia berhasil menduduki jabatan gubernur DKI. Lalu saat menjadi gubernur dia tampak begitu sederhana, masuk gorong-gorong, berpakaian dengan harga yang murah, dan dicitrakan sangat sederhana.

Lalu dengan modal semua itu, dia pun maju sebagai capres pada pemilu 2014 silam. Dan kemunculannya seolah sebagai anti tesis atas elitisme pejabat-pejabat, dan juga dikesankan sebagai kandidat yang tepat untuk menjadi simbol atas kedewasaan dalam berdemokrasi bagi masyarakat Indonesia. Praktis, berkat propagandanya tersebut, jutaan rakyat Indonesia pun terbius. Hingga akhirnya Jokowi pun terpilih sebagai presiden Republik Indonesia.

Namun dalam perjalanannya memimpin Indonesia, ternyata tangan Jokowi panas dan terasa sangat menebarkan energi negatif bagi masyarakat. Sehingga kegaduhan demi kegaduhan sulit dihindari. Bahkan semakin lama terasa semakin mengikis ikatan kebhinekaan kita. Akibat situasi itu, nalar kritis masyarakat pun bangkit. Orang-orang mulai protes terhadap situasi nasional. Kritik demi kritik kepada pemerintah, terus berdatangan. Mahasiswa, cendekiawan, buruh, petani, dan juga para mubalig ramai melancarkan kritik.

Alih-alih mau memperbaiki gaya kebijakan dan gaya kepemimpinannya setelah dikritik, rezim Jokowi justru malah membalas para kritikus dengan penangkapan-penangkapan. Banyak orang-orang yang mengkritik rezim Jokowi, kemudian diganjar dengan penangkapan dan juga dibuatkan berbagai macam peraturan yang tujuannya untuk mengekang kebebasan berpendapat. Rakyat ditakuti dengan berbagai macam Perppu, dan diteror dengan penangkapan terhadap para kritikus. Agar kemudian rakyat tidak lagi berani bersuara mengkritik pemerintah.

Fakta ini pun kemudian sangat tidak sesuai dengan gaya kampanye Jokowi. Sebab pada perjalanannya, rezim Jokowi justru menjelma menjadi rezim yang cenderung anti kritik dan banyak menodai nilai-nilai demokrasi. Apa yang pernah ditentang pada masa penjajahan Belanda, pada penghujung orde lama, dan juga pada masa orde baru, ternyata kini telah dilakukan kembali oleh rezim Jokowi. Seharusnya, semakin kesini demokrasi kita semakin sehat dan dewasa. Namun faktanya ternyata semakin terpuruk. Sungguh ironi sekali.

Jakarta, 24 Mei 2018

Oleh : Setiyono
(Pengkaji Sejarah, Hukum dan Demokrasi)

Sumber :Aktual.com 

Rabu, 23 Mei 2018

Felix Siauw Ditolak Atas Nama NKRI & Pancasila

Felix Siauw Ditolak Atas Nama NKRI & Pancasila


"Atas Nama NKRI & Pancasila"

Oleh: Ustadz Felix Siauw

Ratusan pesan belum terbaca di aplikasi pengantar pesan di gadget saya, namun yang menarik dari salah satu panitia kajian di Bandung, disertakan disana screenshotpercakapan.

Kira-kira begini, "Neng, Ust. Felix Siauw tidak bisa dibawa ke tempat kita, dapat warning dari atasan, Asatidz yang tidak pro-NKRI sekarang lampu merah", begitu.

Sejurus kemudian, saya mendapat forward dari kawan-kawan lain tentang penolakan yang mengatasnamakan masyarakat Bandung Barat yang dikoordinir GP Ansor.

Alasannya sama, penolakannya bukan karena agama, tapi karena tuduhan dan fitnah anti-NKRI, anti-Pancasila, dan karangan lain dari orang yang itu-itu saja.

Saya lega, dua penolakan ini bukan karena materi yang saya sampaikan bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, tapi bertentangan dengan kepentingan mereka.

Saya lalu mengukur, apa definisi "pro-NKRI" dan "anti-NKRI" bagi mereka? Yang jelas bukan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang jadi dalilnya, jadi apa yang jadi standarnya?

Sebab ada yang bukan Muslim keluar masuk pesantren mereka sumringah dan cium tangan, tak ada masalah. Lady Gaga mau datang 100 pun, kata mereka tak bahayakan aqidah.

Dangdutan dan organ tunggal juga tak ada bahaya bagi NKRI, apalagi cuma konser boyband korea. Bahkan ajaran komunis dan liberal disebarkan, ini wacana biasa kata mereka.

Kelompok yang menjual BUMN ke asing, korupsi milyaran dan trilyunan, tak pernah mereka tuduh anti NKRI. Penista agama bahkan mereka beri gelar Sunan, NKRI banget kata mereka.

Kesimpulan saya satu: Anti-NKRI dan anti-Pancasila bagi mereka adalah siapapun yang menolak rezim dzalim sekarang. Jadi sebenarnya inilah alasan satu-satunya.

Tak peduli engkau berbatik saban hari, bahkan hingga keluar negeri, engkau tetap anti-NKRI bila tidak mendukung kelompok penguasa, engkau tetap anti-Pancasila.

Tak peduli kontribusimu terhadap negeri, membina dan juga membersamai ummat untuk dekat pada Allah. Bila engkau membahayakan jabatannya, engkau anti-NKRI baginya.

Alhamdulillah, pada ormas-ormas yang paling merasa NKRI, paling Pancasilais. Love you fullkarena Allah. Terimakasih sudah jadi contoh bagi kami akan ayat Allah.

(Dari fb Ustadz Felix Siauw)

Link: https://www.facebook.com/UstadzFelixSiauw/posts/10156094339026351

Minggu, 20 Mei 2018

Menyibak Siapa Layak Menyandang Predikat Teroris Sejati

Menyibak Siapa Layak Menyandang Predikat Teroris Sejati



Oleh:Ririn Wijayanti

Indonesia kembali berduka. Bom bunuh diri kembali mengguncang di bulan Sya’ban. Isu krusial yang mencuat satu serangan terorisme. Dan pada akhirnya ustad yang mengusung ajaaran Islam kaffah di cap sebagai radikal pasca putusan PTUN terhadap salah satu ormas dakwah di Indonesia.

Minggu pagi, 13 Mei 2018, teror bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, yaitu Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Ngagel Madya; Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro; dan Gereja Pantekosta di Jalan Arjuno. Pelaku bom adalah satu keluarga, suami-istri dan empat anaknya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Di hari yang sama, pada malam hari, bom bunuh diri terjadi di Blok B Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Wonocolo, Sidoarjo. Terduga teroris, Anton, bersama istri dan satu anaknya tewas dalam kejadian ini. Tetapi, tiga anak Anton yang lain selamat tapi kondisinya luka-luka.

Selang sehari, Senin, 14 Mei 2018, bom bunuh diri kembali terjadi di Markas Polrestabes Surabaya. Pelakunya satu keluarga, yaitu TW bersama istri dan tiga anaknya, menggunakan dua sepeda motor. Satu anaknya, perempuan berusia 8 tahun, selamat karena terlempar dari sepeda motor (Tempo, 15 Mei 2018).

Tidak lama pasca peledakan terhadap kasus tersebut muncul stigmanisasi negatif terhadap Islam, perempuan bercadar, dan pengusung khilafah. Pertanyaan yang muncul, kenapa ketika isu terorisme muncul, selalu dikaitkan dengan Islam? Bahkan belum lama ini, di Pasar Toddopuli Makasar, wanita bercadar difitnah warga beserta anaknya kemudian diteriaki dengan sebutan ISIS, teroris, cadar perusak (portalmuslim, 15/05/2018). Di sisi lain, serangan terhadap kepolisian Riau semakin menambah deretan panjang kasus terorisme di Indonesia.

Islam Mengajarkan Kekerasan?

Dalam beberapa hadits dari Rasulullah SAW, terlihat bahwasanya Islam bahkan mengecam tindakan membunuh terhadap kafir dzimmi.

"Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka dia bukan dari kami ..." (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar ra.)

"Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalam ayat Al-Qur’an, beberapa perintah jihad terdapat dalam ayat berikut:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang  kamu menggentarkan  musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu  tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya ( TQS Al-Anfal ayat 60).

Apabila kamu bertemu (di medan perang) dengan orang-orang kafir  maka pancunglah batang leher mereka, sampai batas apabila kamu telah melumpuhkan gerak mereka maka kuatkanlah ikatan (tawanlah) mereka, lalu (kamu boleh) membebaskan mereka sesudah(nya) atau (kamu boleh juga melepaskannya) dengan menerima tebusan sampai perang meletakkan beban-bebannya. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka (TQS Muhammad ayat 4).

Pertanyaannya, jika dalam ayat suci Al-Qur’an terdapat ayat tentang berperang (qital) apakah kemudian Islam mengajarkan terorisme?

Ada baiknya kita lihat definisi terorisme terlebih dulu. Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil (wikipedia, akses 18 Mei 2018).

Nah, hal ini justru berbeda dengan jihad. Dalam asy-syakhsiyah jild 2 , Syaikh Taqiyddin An-Nabhani menjelaskan jihad adalah mencurahkan kemampuan berperang di jalan Allah sevara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan, dan lain sebagainya. Sehingga jihad adalah berperang untuk meninggikan kalimat Allah. Dan perjuangan politik, bukan merupakan jihad meskipun upaya untuk menyingkirkan penguasa dzalim.

Dalam jihad, hukum memulainya adalah fardlu kifayah, manakala Khalifah tidak meminta untuk berangkat. Ketika Khalifah meminta berangkat jihad, maka hal tersebut adalah fardhu bagi kaum muslim. Sedangkan jika musuh menyerang, maka menjadi fardhu ‘ain bagi orang yang diserang, dan fardhu kifayah bagi orang lain. Fardhu tersebut tidak akan gugur sampai musuh dapat diusir.

Adapun makna memulai jihad disini, yang dilakukan oleh negara bukan individu, adalah menyeru negara yang bersangkutan kepadaa Islam. Jika belum sampai dakwah pada mereka, maka tidak halal bagi kaum Muslim untuk memeranginya. Jika mereka menolak, maka diwajibkan membayar jizyah, dan jika enggan, maka perang disini terjadi (An-Nabhani, Syakhsiyah Islam 2, 254). Sehingga berjihad dalam artian menyerang adalah kewajiban negara, bukan individu.

Adapun Rasulullah SAW pernah memberikan rambu-rambu dalam berjihad ini. Sabda beliau: “Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah,`Perangilah orang yang kufur terhadap Allah. Berperanglah, jangan khianat, jangan melanggar janji, jangan memotong bagian tubuh, dan jangan membunuh anak kecil. Jika kamu menemui musuh orang-orang musyrik, maka  serulah mereka kepada tiga pilihan. Manapun diantara ketiganya mereka pnuhi, maka terimalah dan berhentilah memerangi mereka. Lalu serulah mereka untuk berpindah dari tempat tinggal mereka menuju Daru Muhajirin. Dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka melakukan itu, maka mereka memiliki hak seperti hak yang dimiliki penduduk Negara Islaam dan mereka memiliki kewajiban sebagaimana atas penduduk Darul Muhajirin... (HR Muslim).

Di sini jelas dengan adanya perintah jihad tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan rambu-rambu yang diberikan kepada kaum Muslimin ketika akan berjihad. Tidak khianat, tidak melanggar perjanjian yang sudah disepakati, tidak memotong bagian tubuh, tidak membunuh anak kecil, tidak merusak tumbuh-tumbuhan serta beberapa regulasi yang harus dipenuhi kaum Muslim ketika berjihad.

Semua poin di atas tidak terdapat pada serangan brutal yang dilakukan negara-negara Israel kepada Palestina yang membunuh ribuan anak kecil dan ibu-ibu. Begitu juga serangan brutal Amerika yang meluluhlantakkan Afgahnistan dan Irak. Sampai di sini, jelas sudah siapa meneror siapa. Jadi, siapakah yang layak menyandang sebutan teroris itu? (rf/)

Ilustrasi: Google

Sumber :voa-islam.com