OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 29 September 2019

Psiko-Politis Jokowi Sulit Bertahan

Penulis: M. Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)

10Berita -  Aksi aksi penolakan RUU “kongkalikong” Presiden dengan DPR menunjukkan Jokowi memang tak mampu mengatur negara dengan baik. Legitimasi politik semakin merosot dan terlalu banyak masalah yang tak terselesaikan. Antara aspirasi dengan solusi seperti yang satu “ngalor” yang lain “ngidul”. Jakasembung bawa golok. Republik Indonesia yang besar dikelola dengan pola dan kapasitas anak kecil mungil. Tapi sayangnya tidak lucu.

Melihat perjalanan dan eskalasi gerakan aspirasi yang semakin meningkat dan segmen gerakan yang meluas, maka jabatan yang diemban Presiden Jokowi nampaknya sulit bertahan. Ada kondisi psiko-politis yang diprediksi menyebabkannya, yaitu :

Pertama, terjadi penumpukan masalah yang membusuk dan bau. Kecurangan Pemilu, rekayasa MK dan KPU, tewas 700 petugas, rekayasa dan peristiwa 22 Mei, fasilitasi “jalan” Cina, kerjasama dengan Partai Komunis, impor yang membunuh usaha dalam negeri, ideologi yang hanya omongan, kriminalisasi ulama, membuka kran korupsi via revisi, KPK dikebiri, menganiaya dan membunuh mahasiswa, pindah ibukota dan hutang luar negeri yang dapat menenggelamkan.

Kedua, membangun oligarkhi politik di negeri demokrasi. Tentu ini dianggap pengkhianatan pada rakyat dan menumbuhkan budaya kroni-isme sebagai bagian dari KKN yang terkutuk. Oligarkhi menciptakan kesenjangan abadi yang menyakitkan rakyat. Oligarkhi adalah saudara kembar tirani. Di dunia manapun tirani menjadi penyebab utama dari gerakan pembangkangan dan kejatuhan.

Ketiga, psiko-politik rakyat Indonesia tak mungkin bisa menerima pengembangan poros Jakarta-Beijing. Trauma masa lalu tak bisa terhapus begitu saja. Komunis tetap menjadi musuh rakyat Indonesia. Partai Komunis Cina adalah protektor dan pengendali. Pemerintah bersahabat dengan musuh rakyat. Dikhawatirkan Jokowi sudah terjebak “permainan” kolaborasi
dengan rezim asing yang tidak disukai rakyat.

Keempat, tindakan represif bahkan berkualifikasi brutal dalam menangani aksi demonstrasi adalah luka yang ditorehkan kepada rakyat. Tak mungkin sembuh sesaat atau cepat. Meski dilakukan oleh aparat tapi ujung penanggungjawab dari “perintah-perintah” itu adalah Presiden. Apapun aksi akan sampai “tembakan” pada Jokowi. Sulit Jokowi membersihkan diri, meski berbaju putih lengan panjang. Penanganan brutal adalah langkah pendek.

Kelima, citra pembohong menghilangkan kepercayaan. Jika sudah tidak dipercaya tak mungkin ada solusi yang akan dihargai dan dijalankan. Sindroma pinokio adalah beban psikologis yang tidak ringan. Investasi luar negeri yang diharapkan sebagai prestasi pun tidak akan terealisasi. Investor tak mau menanamkan kapitalnya di negeri pembual. “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Apalagi berkali-kali.

Oleh karena itu rasanya sulit memprediksi Jokowi akan bertahan lama menggenggam kekuasaan. Mampu melewati pelantikan saja 20 Oktober nanti sudah beruntung. Dan ini bukan final dari upaya mempertahankan kekuasaan. Pasca pelantikan enerji akan dikuras kembali. jadi rasanya pembangunan tak mungkin berjalan mulus dengan kepemimpinan berlegitimasi rendah di bawah naungan sindiran dan caci maki.

Pilihan adalah mundur sedini mungkin. Atau sebagaimana hukum sejarah yakni biarkan waktu yang akan menghukum. Tapi hukuman itu jauh lebih menyakitkan. (*)

“idzaa wussidal amru ilaa ghoiri ahlihi fantadziris saa’ah”–Jika menyerahkan urusan kepada bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya–(HR Bukhori).
Sumber: konten islami