02
Pakar Sains Informatika: Ada Ketidakpercayaan Masyarakat dalam Gerakan Anti Hoax
10Berita, Jakarta – Pakar sains informatika Ismail Fahmi mengungkapkan ada sambutan yang berbeda antara deklarasi masyarakat atau Gerakan Anti Hoax di Car Free Day sejumlah wilayah Indonesia dengan fenomena di media sosial.
Ismail menangkap fenomena tersebut melalui teknologi buatan Ismail yang ia sebut “Drone Emprit”–merujuk pada nama burung lambang Twitter. Peranti lunak ini berfungsi memonitor dan menganalisis percakapan di media online dan media sosial.
Drone Emprit, sudah memonitor kata kunci “anti hoax” dan “antihoax” sejak akhir pekan lalu. Kata kunci ini bisa menangkap berbagai variasi penyebutan dan status terkait gerakan anti hoax.
“Ternyata hasilnya menarik. Apa yang tampak di CFD, ternyata tidak begitu yang tampak di sosial media. Di CFD tampak semua warga mendukung dan sentimennya positif terhadap gerakan ini. Di sosial media, hampir semua mendukung “ide” anti hoax, dan bahkan ada dari mereka yang membuat kaos AntiHoax sebagai dukungan,” kata Ismail dalam akun Facebooknya pada 11 Januari 2017.

Kaos Merchandise Media Islam Anti Hoax
Namun, spesifik terhadap Gerakan Anti Hoax yang dideklarasikan tersebut, terlihat cukup banyak sentimen negatif.
Doktor sains informatika lulusan Universitas Groningen, Belanda ini mengungkapkan grafik Social Network Analysis (SNA) berdasarkan relasi retweet dari 8.000-an percakapan. Dari situ ditunjukkan bahwa mereka yang menyuarakan sentimen negatif membentuk sebuah cluster yang cukup besar dan dominan.
“Mereka dimotori oleh akun-akun yang selama ini berperan seperti ‘oposisi’, yaitu Tofalemon, maspiyungan, spardaxyz, prijantarobbani, dan didukung oleh akun-akun media seperti posmetroinfo, wartapolitik, dan @kiblatnet,” tambahnya.
Sedangkan yang di luar cluster itu, lanjut Ismail, didukung oleh sejumlah akun seperti Olgaly_DIA, akbarfaisal66, kemkominfo, tmcpoldametro, fajroel, humasjateng, dan beberapa media seperti metro_tv, detikcom, dan antaranews.
“Cluster ini menyampaikan suara dari mereka yang berada di lapangan, yang melakukan deklarasi gerakan anti hoax,” tegas co-founder Awesometric ini.
Ismail mengatakan semua pihak setuju dengan ide anti hoax. Namun mengapa terjadi polarisasi?
“Kita lihat status yang paling banyak diretweet. Empat dari 5 status tersebut tenyata menyuarakan sentimen negatif terhadap gerakan ini. Misalnya, akun @panca66 bilang, “SBY tiap hari dihantam hoax oleh akun2 pendukung Jokohok. Skrg mereka jadi pahlawan anti hoax. Bangsa ini sedang sakit”.
Dia juga bilang, “Olga Lidya dan dan GM dah muncul merasa menjadi pahlawan anti hoax. bentar lg seword dkk jg jadi media anti hoax. LOL”
@jituofficial bilang, “Rupanya stlh dilacak, akun2 #antihoax ternyata dikelola oleh slh1 pndukung pasangan pilgub DKI, Pasti bisa nebak kan siapa? #IslamBukanHoax“.
@posmetroinfo bilang, “Kampanye Anti Hoax Salah Kaprah, Justru Media -media Pro Pemerintah yang Gemar Sebar Hoax”
Ia menilai dari data tersebut tampak adanya distrust atau ketidakpercayaan terhadap netralitas dari gerakan Anti Hoax. Cluster ini, kata dia, kerap mendapat cap penyebar hoax, dan media-medianya beberapa sudah atau pernah diblokir. Sementara beberapa media opini yang berseberangan dengan mereka, dan lebih dekat ke pemerintah sepertinya tidak tersentuh.

Terakhir, Ismail mengajukan solusi agar gerakan anti hoax ini bisa duduk bersama di dalam satu panggung dan mendeklarasikan perang melawan hoax. “Tentu perlu effort sedikit untuk melakukan komunikasi awal.”
Ia berharap, setelah mereka tampil bersama, aksi saling tuding bahwa kelompok yang lain yang melakukan hoax, tidak ada lagi, atau setidaknya bisa diredam.
“Jika deklarasi sudah lewat, saya kira masih ada kesempatan lain yang bisa diciptakan,” pungkasnya.
Reporter/Editor: Fajar Shadiq
Sumber: Kiblat.net