Dalam Kungkungan Kebohongan (Kaum Rasis) Jokow(i)er dan Ahok(er)
10Berita - TIDAK terasa pemerintahan Jokowi telah menelan waktu tiga tahun berlalu. Tiga tahun itu pula Jokow(i)er, Ahok(er), Jokopedia, Seknas, Bara JP, partai pendukung dkk, berkoar koar memuja-muji pemerintah saban hari tanpa henti, tanpa cape dan tanpa bosan.
Anda katakan pemerintahan Jokowi anti korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme, pemerintah memberantas mafia, kartel, pemerintah menepati janji, Pemerintah tidak langgar HAM, komitmen pada rakyat, konsisten, demokratis, menghormati kebebasan ekspresi.
Semua kata-kata itu adalah kesimpulan kalian, tentu saya hormati. Tapi saya mau tanya bagaimana bisa memberantas para oligarki (mafia ekonomi dan kartel dagang) yang menempatkan seorang wali kota ke gubernur dan presiden dalam waktu kurang dari tiga tahun, orbit bak meteor kalau tidak dibekingi oleh kaum oligarki para taipan hoakiao di negeri ini.
Bagaimana kita bisa memastikan pemerintah ini bersih anti KKN sedangkan BUMN dijadikan alat banjakan 25 orang penganggur jalanan dan job seeker? Sedangkan Ahok sempat keluarkan jurus jitu adanya sokongan para taipan dalam pemilihan Presiden, Udar Pristono diduga dibungkam. Freeport tadinya Jokowi tolak bak seorang nasionalis tulen, namun akhirnya tunduk dan bertekuk lutut pada simbol imperialisme Amerika ini, dan lain-lain.
Dalam pemerintahan ini, kita sedang menyaksikan (sambil ketawa) sandiwara murahan pemerintahan, antar institusi negara dibentrokkan, hukuman mati, penenggelaman sampan-sampan murahan, hukum jahiliah kebiri, kapitalisasi politik laut China selatan yang suhu politiknya tidak pernah besar dan tidak akan pernah besar dengan pura-pura dan menipu rakyat dengan mengobarkan semangat nasionalisme di atas geladak kapal perang Republik Indonesia pembelian rakyat kecil (wong cilik), penipuan murahan dan omong kosong terhadap orang-orang telanjang di Papua dengan mengatakan akan bangun rel kereta api di Papua, jalan tol melintasi tebing-tebing terjal.
Akhirnya juga saya mengukur moralitas pemimpin dengan hanya melihat dari Mobil ESEMKA bikinan Solo yang mendobrak citra seorang wali kota hingga menjadi presiden, orang nomor satu republik ini. Hari ini, ESEMKA tidak bisa diproduksi jadi mobil buatan domestik seperti Proton di Malaysia dan Mobil Nasional jaman Suharto.
Bangsa Papua berduka dalam kesedihan atas tragedi yang menimpa ribuan bumi putra, bahkan tokoh pejuang pasar mama-mama meninggal dalam perjuangannya. Padahal Jokowi janjikan proyek ini tidak pernah kunjung usai.
Dalam politik transaksional bagaimana berkoalisi ke pemerintahan, selain tawaran menteri juga dugaan pembagian proyek triliunan rupiah. Bukankah pembangunan infrastruktur, jalan, jembatan dan lain-lain yang membutuhkan triliunan rupiah itu Presiden menggunakan otoritas melalui kontraktor Pemerintah dengan diam-diam menggandeng kontraktor swasta dengan penunjukan langsung?
Itulah kekuasaan, dengan berkuasa secara leluasa bernafsu memanfaatkan kekuasaan untuk untuk dirinya, sanak saudaranya, koleganya dan masa depan kariernya.
Ada benarnya jika seorang Inggris Lord Acton menyatakan power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Namun saya menghormati bangsa ini yang masyarakat masih anonim dalam politik sebagaimana Herbert Feith pernah sampaikan kondisi pemilih tahun 1955 dan saat ini hanya terjadi perubahan pemerintahan dan politik.
Sementara mayoritas masyarakat masih stagnan dan belum melek politik sehingga timbul kelompok kelompok solidaritas nekat, solidaritas buta, militan dan cenderung fanatis.
Kelompok ini sangat nampak saat ini adalah kelompok pendukung Jokowi, pendukung Ahok, pendukung Mega, mereka-mereka ini dianggap sebagai titisan dewa, kata-kata dan perbuatan tokoh-tokoh tersebut benar semua dihadapkan pendukung fanatik ini, bahkan kata-kata dan nasehat atau perintah mereka dianggap titah dewa, Devine Right of the King, seperti raja John di Inggris abad ke-15.
Semoga Jokower dan Ahoker pendukung Jokowi tidak demikian, sehingga orang-orang terdidik, komunitas masyarakat sipil harus membangun bangsa madani yang kritis dan rasional, imparsial, objektif untuk menempatkan dan memilih pemimpin berdasarkan rasionalitas, akal yang sehat bukan atas dasar fanatisme agama, suku, ras antar golongan.
Kita sudah terlalu lama hidup di dalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi berdasarkan fragmentasi elit bangsa, tidak berdasarkan fragmentasi ideologi. Jutaan rakyat menjadi nasionalis abangan pengikut seorang oknum individu. Saya katakan bangsa bodoh saja yang menempatkan nasionalisme personifikasi oknum individu, bukan nasionalisme cinta tanah air dan bangsa. Bahkan kelompok yang mengaku priyayi tidak memilik doktrin ideologi.
Jokower, Ahoker dkk, rakyat ini sudah lama menderita. Seandainya negara dan rakyat ibarat bersuami dan istri sejak jaman dahulu kala mereka sudah kasih talak tiga ke negara, apakah kita tahu bahwa rakyat yang hidup di pelosok Nusantara ini mereka hidup dan berpengaruh dengan adanya negara?
Mereka hidup dari hasil usahanya, ketergantungan kepada alam, hidup sangat autarkis, taken for granted dari Ilahi dengan sumber daya alam yang melimpa rumah di bumi nusantara. Tanpa sentuhan negara bisa hidup, bahkan lebih aman.
Mereka tidak paham Presiden operasi pasar harga daging sapi turun sampai Rp 80 ribu. Mereka tidak tahu operasi pasar untuk turunkan harga pangan, sandang dan papan. Mereka juga tidak paham berbagai kebijakan dan regulasi tetek bengek yang dibuat oleh negara.
Mereka juga tidak tahu segala kebijakan pembangunan infrastruktur jalan-jalan bertingkat, jembatan tanpa sungai, dan juga gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Jutaan rakyat di bumi pertiwi ini hidup bisu, tuli cenderung sebagai orang-orang tidak bersuara, nun jauh dari hirup pikuk modern yang hanya berkutat di Jakarta, Jawa dan kota-kota tertentu.
Memang power tends to corrupts. Semua ini akibat kita rakus berkuasa, kekuasaan memang penting, namun kita lalai distribusi kekuasaan bagi putra putri di seluruh Nusantara.
Bagaimana mungkin Presiden selalu Jawa, menteri-menteri mayoritas selalu Jawa, lantas bisa distribusi kekuasaan. Orang Ambon sudah lama menderita. 40 tahun tidak pernah menjadi menteri, meskipun Leimena pernah menjadi Wakil Perdana Menteri. Orang Dayak pemilik pulau terbesar kedua setelah Greenland sampai hari ini belum ada yang menjadi menteri, walaupun orang Dayak di Malaysia sering menjadi menteri.
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini orang Buton di Sulawesi Tenggara belum pernah di kasih kesempatan meskipun saudara-saudara kita Laode-Laode banyak orang-orang hebat di negeri ini.
Orang Papua jadi pemberontak dulu baru dikasih menteri padahal bangsa Papua adalah bangsa pemberi bukan bangsa pengemis seperti kau. Jong Ambon, Celebes, Borneo dan Andalas bersatu bukan tanpa cek kosong, mereka memberi dengan cek berisi sumber daya alam yang melimpah.
Selain distribusi kekuasaan ada aspek yang paling penting adalah distribusi pembangunan.
Sangat tidak adil dan cenderung diskriminatif, ketika pulau Jawa dan Sumatera konektivitas antar daerah baik darat, udara dan laut terbangun rapi. Sementara di seberang sana, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, pembanguan jalan trans yang dibangun saat ibu kandung saya masih kecil sampai saat ini belum pernah kelar-kelar.
Ini bukan berita hoax. Pembangunan jalan Trans Papua dibangun tahun 1970, ibu saya usia 15 tahun. Sampai hari ini tidak ada jalan Trans Papua yang terbangun.
Para pendukung bodoh nekat sekalian. Negeri ini bukan monarki, juga bukan oligarki, yang kekuasaan hanya berpusat pada raja dan sekelompok orang. Negeri ini REPUBLIK INDONESIA, negeri milik bersama, kekuasaan berpusat pada rakyat Indonesia dan mereka yang mengelola hanya diberi kedaulatan oleh rakyat (summa potestas, sive summum, sive imperium dominium).
Karena itu esensi dari negara demokrasi maka satu-satunya cara untuk memperbaiki bangsa ini adalah distribusi keadilan (distribution of justice) melalui distribusi kekuasaan (distribution of power) dan distribusi pembangunan (distribution of development) di seluruh Indonesia. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui pemimpin yang dipilih secara rasional dan masyarakat Madani yang kritis tanpa pendukung fanatis, militan dan cenderung destruktif. [***]
Wamena, 2017
Penulis adalah Komisioner Komnas HAM
Sumber: Rmol