OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 23 Juni 2017

Mualaf Herman Halim (Bos Maspion), Rasakan Kedamaian Setelah Masuk Islam

Mualaf Herman Halim (Bos Maspion), Rasakan Kedamaian Setelah Masuk Islam


Sejak memutuskan untuk masuk Islam, Herman Halim mengaku selalu merasakan kedamaian. Terlebih saat Hari Raya Idulfitri tiba dan berada di dalam masjid bersama ribuan jamaah yang berbaris dalam shaf yang sama.

“Di masjid, kita tidak bisa membedakan mana yang kaya dan mana miskin.  Semuanya sama. Itu yang membuat ketebalan iman saya makin bertambah,” ujar Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Jawa Timur itu.

Bagi seorang mualaf menjalani ibadah puasa memang terasa berat. Apalagi ibadah yang dijalani di bulan suci ini, puasa tidak hanya sekadar menahan haus dan dahaga tapi juga menjaga diri, kesabaran, emosi dan sebagainya.

Umumnya mualaf tak kuat menghadapi demikian. Seperti yang dialami mualaf satu ini, Herman Halim.

Ketika ditanya kenangannya dalam menjalani puasa, pria 63 itu tersipu malu. Bagaimana tidak, di tahun pertama dia menjalani ramadan setelah mengucapkan dua kalimat syahadat ia mengaku hanya sanggup berpuasa di tujuh hari awal saja.

Berikutnya, ia menyerah karena merasa berat menuntaskan puasanya. Menurut Herman, banyak faktor yang membuatnya tak kuat menjalankan rukun Islam keempat itu.

Mulai dari kesulitan menahan dahaga, hingga menahan emosi yang sering kali  tiba­tiba meledak. Hal itu dipicu oleh ketidakbiasaannya menahan lapar dan dahaga di tengah hari.

Apalagi, beban kerja kadang terlalu menumpuk yang menyita banyak pikiran. Maklum, saat itu usianya 51 tahun di momen Ramadan pertamanya tersebut.

Sebagai mualaf, Herman Halim resmi memeluk Islam pada tahun 2004. Ketika itu, usianya sudah 50 tahun. Tapi belum genap setahun menjadi muslim, pria asli Surabaya ini sudah harus bertemu bulan Ramadan.

Ramadan tahun 2005 menjadi momen puasa perdananya. Herman mengaku, pekan pertama berpuasa dapat dilalui dengan baik.

Ia berhasil  melalui dengan mulus meskipun harus tertatih­tatih menahan lapar dan dahaga. Namun, kekacauan datang pada pekan kedua.

“Saya sudah mulai nggak kuat, terutama menahan haus. Kalau menahan lapar sih, masih oke. Tapi kalau  disuruh nahan haus, saya angkat tangan,” bebernya yang dilansir Radar Surabaya (Jawa Pos Group), Jumat (17/6).

Kendati merasa berat, bapak dua anak ini tak mau menyerah begitu saja. Dia terus mencoba berpuasa meski merasa berat. Sayangnya di saat dirinya tak ingin menyerah, cobaan malah datang. Salah satunya adalah saat berkunjung ke rumah seorang nasabah.

“Saya ingat betul, hari itu sudah saya niatkan untuk puasa. Saya sudah mantap. Tetapi saat berkunjung ke rumah seorang nasabah, mereka menyuguhi saya dengan segelas minuman dingin. Tanpa basa ­basi, saya langsung seruput saja minumannya. Setelah habis, eh, baru nyadar kalau saya hari itu sedang puasa,” ungkapnya sembari terbahak ­bahak.

Selain sulit menahan haus, Herman mengaku juga sulit untuk meredam amarah. Ia  berujar jika emosinya sering meledak ­ledak saat menjalani puasa di Ramadan pertamanya itu.

“Saya marah itu bukan karena apa­apa. Saya saat itu makin cepat emosi karena nggak kuat nahan lapar dan haus. Apalagi pekerjaan menumpuk. Jadinya, saya sering marah­marah. Makanya, puasa saya kacau di Ramadan pertama,” katanya.

Namun, hal itu tak terulang di Ramadan keduanya di tahun 2006. Herman berhasil menjalani ibadah puasanya secara penuh.

Saat itu, selain ilmu agama yang  didapatnya sudah mumpuni, ia  menyebut ilmu nekat juga berjasa atas keberhasilannya melalui puasa Ramadan.

“Waktu itu, saya puasa hanya modal nekat. Nekat nggak makan, nekat nggak minum. Saya malu kepada sang Pencipta kalau puasa saya berantakan lagi. Dan, alhamdulillah, ternyata berhasil. Saya berhasil menjalankan puasa sebulan penuh,” terangnya.

Pada saat itulah, Herman baru merasakan hikmah puasa. Ia merasa puasa membuat  mentalnya makin bagus. Kesabarannya juga makin meningkat. Puasa juga mengajarkannya akan rasa syukur atas segala kelebihan yang telah diberikan oleh sang Pencipta.

“Hal itu membuat ketebalan iman saya ini makin bertambah­tambah,” ucap pria  kelahiran Surabaya, 14 Agustus 1953 ini.

Keberhasilan Herman berpuasa di tahun kedua dan merasakan kedamaian setelah memeluk islam, akhirnya sang istri, Lina Halim, pun mengikutilangka Herman menjadi mualaf pada 2008.

Sumber: jatengpos.co.id