Filantropi Melintasi Masa
10Berita,
Rasulullah SAW:
Filantropi tumbuh dan subur pada zaman Rasulullah SAW sebagai embrio penting bagi dinamika kedermawanan pada masa berikutnya. Solidaritas dan kedermawanan sosial menjadi identitas penting umat Islam. Ini tak terlepas dari ragam tuntunan dan perintah agama untuk saling berbagi dan peduli terhadap sesama.
Abu Bakar
• Mendirikan baitul maal. Donasi diambil dari berbagai macam sumber. Lembaga ini menjadi kiblat bagi para dhuafa. Bahkan, menopang sejumlah aktivitas negara, seperti subsidi militer hingga aksi tanggap bencana.
Umar bin Khatab:
• Lembaga administrasi (dawawin) negara didirikan untuk mendukung optimalisasi baitul maal. Tiap bayi yang lahir dicatat dan berhak mendapatkan santunan. Baitul maal dioptimalkan tidak hanya soal pendanaan, tapi juga pemberdayaan ekonomi dan sosial. Jangkuan penerimaan manfaat diperluas hingga luar kota. Bahkan, juga mencakup pemeluk agama lain.
• Rumah singgah (dar ad-daqiq) didirikan bagi para pelancong agar tidak kehabisan bekal.
• Mendirikan tenda pengungisan bagi ribuan warga perdesaan ketika terjadi Muslim paceklik ('am ramadah) pada 18 Hijriyah. Selain melibatkan baitul maal, Umar mendorong solidaritas saudagar dan pemimpin kawasan terdekat untuk berbagi.
Utsman bin Affan:
• Peningkatan subsidi sebanyak satu dirham bagi tiap Muslim selama Ramadhan lewat baitul maal.
Ali bin Abi Thalib
Selain memaksimalkan baitul maal, Ali tercatat menyerahkan tanah Yanbu', Lembah al-Qura, dan al-Adzaniyah untuk diberdayakan bagi fakir miskin. Tanah itu dikenal subur.
Dinasti Umayah (41-132 H)
• Subsidi rutin bagi para fakir di Hijaz, Irak, melalui kartu khusus.
• Pendirian industri perkapalan yang menyerap ratusan tenaga kerja.
• Pendirian rumah sakit kusta gratis pertama pada 88 H yang disebut-sebut RS kusta perdana di dunia.
• Penggajian bagi pendidik yatim.
• Larangan dhuafa dan fakir untuk mengemis.
• Pendirian panti jompo dan orang-orang hilang (diwan az-zamna).
• Pemberlakuan pengawasan anggaran bagi pejabat.
• Pelunasan utang mereka yang dililit utang.
• Pembebasan tawanan Muslim.
• Subsidi nikah.
• Pada periode 120-126 H, 10 ribu dirham dianggarkan untuk bencana dan pemerdekaan budak.
Dinasti Abasiyah (132H-656 H):
• Pengendalian harga bahan pokok.
• Distribusi subsidi ke berbagai wilayah.
• Jaminan kesehatan bagi rakyat.
• Pendirian Makatib as-Sabil, lembaga pendidikan yatim piatu dan fakir miskin.
• Perbaikan infrastruktur, terutama rute bagi jamaah haji.
• Peningkatan sektor pertanian dan dispensasi waktu bayar pajak.
• Peningkatan layanan jamaah haji.
Dinasti Thulun (254-270 H):
Pendirian dapur umum dengan beragam menu lezat khusus bagi dhuafa setiap hari. Tiap bulan dapur umum ini menelan biaya operasional sebesar 23 ribu dinar.
Dinasti Ayubiyah (569-648 H):
• Pendirian al-Khawaniq, sekolah sekaligus asrama cuma-cuma bagi para sufi. Khusus bagi dhuafa, disediakan Dar as-Su'ada lengkap dengan fasilitas pemandian.
• Optimalisasi potensi wakaf. Membangun sekolah-sekolah di Baitulmaqdis setelah penaklukannya.
• Pembangunan rumah singgah Khan as-Sulthan dan Khan as-Sabil bagi peziarah.
• Membangun sekolah kedokteran gratis yang terintegrasi dengan RS.
Dinasti Mamluk (648-923 H):
• Pendirian RS al-Manshuri dengan pewakafan uang tunai sebesar seribu dirham untuk operasionalnya selama setahun. Terdapat masjid, sekolah, dan lembaga yatim di dalamnya.
• Pendirian bendungan as-Siba' untuk membendung banjir.
• Pembentukan lembaga khusus penanggulangan bencana.
Dinasti Ottoman (699-1342 H)
• Optimalisasi wakaf.
• Pendirian sekolah, asrama, dan dapur umum gratis untuk fakir miskin yang terintegrasi dengan masjid.
• Penyediaan lapangan pekerjaan bagi semua kalangan.
• Para birokrat dan hartawan berlomba-lomba mendirikan lembaga pendidikan gratis.
Sumber: Republika