OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 17 Juli 2017

Jangan Sampai Jahiliyah Berulang

Jangan Sampai Jahiliyah Berulang


10Berita– Sekitar empat belas abad yang lalu, di bagian barat jazirah arab, di ketinggian tiga ratus meter di atas permukaan laut, telah berdiri sebuah kota yang dikelilingi oleh bukit-bukit berbatu; bukit Al Falah dan Quaqian di sebelah utara serta bukit Abu Hudaidah, Kuday, dan Abu Qubais di sebelah selatan.

Kota tersebut dikenal dengan nama Makkah, dan masih bertahan hingga kini. Di situlah terdapat sebuah suku yang dikenal dengan sebutan Quraisy.
Sejarawan Karen Amstrong menceritakan perihal situasi dan kondisi kaum Quraisy pada masa itu dengan apik dalam bukunya berjudul ‘History Of God’. Dan saya akan mencoba menceritakan ulang kisah tersebut pada beberapa paragraf berikut dengan bahasa saya sendiri, yang semoga bisa lebih mudah dipahami.

Dalam dua generasi terdahulu, suku Quraisy masih menjalani kehidupan nomadik yang keras di tanah Arab. Sama seperti suku-suku Badui yang lain: setiap hari dilalui dengan perjuangan untuk mempertahankan diri. Akan tetapi, selama tahun-tahun terakhir abad keenam, mereka telah meraih keberhasilan besar dalam perdagangan dan menjadikan Makkah kawasan pemukiman paling penting di jazirah Arab. Keberhasilan ini pun memberikan mereka kekayaan dalam jumlah yang sangat besar, hingga melampaui impian mereka yang paling liar sekalipun.

Namun ironisnya, keberhasilan serta kemajuan ekonomi yang dicapai justru merubah drastis gaya hidup mereka. Nilai-nilai kesukuan lama mulai tergeser oleh nilai-nilai kapitalisme yang tak berperasaan. Orang-orang menjadi kehilangan orientasi, ketersedian pangan yang cukup mampu melindungi mereka dari ancaman kekurangan gizi serta menghindarkan mereka dari pertikaian antar suku. Hal ini membuat mereka merasa telah menjadi penentu nasibnya sendiri, dan sebagiannya bahkan meyakini bahwa kemakmuran tersebut akan memberi mereka kehidupan yang abadi. Uang pun telah bergeser menjadi agama baru, di mana hawa nafsu menjadi tuhannya.

Kaum Quraisy sejatinya percaya bahwa Ka’bah yang berdiri di tanah mereka pada awalnya didirikan sebagai sarana pengabdian kepada Allah SWT, meskipun pada akhirnya mereka meletakkan berhala-berhala kaum lain di sekitarnya, salah satunya adalah patung Hubal yang merupakan berhala milik kaum Tsamud.

Kota Mekkah di masa lampau

Kaum Quraisy sangat bangga akan keberadaan Ka’bah di tanah mereka, terlebih pada masa itu Ka’bah merupakan tempat suci paling penting di jazirah arab, orang-orang dari seluruh penjuru jazirah Arab berziarah ke Ka’bah setiap tahunnya. Sakralitas dan kesucian Ka’bah secara tidak langsung telah menciptakan sebuah konsensus bahwa segala bentuk kekerasan dilarang di sekitar Ka’bah dan segala bentuk dendam lama harus dihentikan sementara, imbasnya daerah sekitar Ka’bah pun menjadi daerah perdagangan paling aman di jazirah Arab.

Namun kaum Quraisy menyadari bahwa belum pernah ada utusan Allah yang dikirim kepada mereka dan belum ada kitab suci yang diturunkan dalam bahasa mereka. Karena itu mereka selalu merasakan semacam inferioritas (minder) spiritual ketika berhubungan dengan orang-orang yahudi dan nashrani yang sering mengolok-olok “kekurangan” mereka itu. Hal itu menumbuhkan rasa hormat sekaligus benci mereka kepada kedua agama tersebut. Maka tidak mengherankan jika Yudaisme dan Trinitas tak pernah berkembang di kawasan Makkah dan sekitarnya bahkan hingga detik ini sekalipun.

Pada akhirnya kaum Quraisy memilih untuk memperkuat fanatismenya pada paganisme tradisional mereka dengan sedikit pengakuan pada masa-masa awal bahwa sebenarnya kedua agama tersebut lebih progresif dan unggul. Namun ada pula sebagian kecil mereka yang berusaha menggali ajaran agama yang lebih rasional ketimbang paganisme, dan akhirnya mereka menemukan ajaran yang disebut hanifiyyah, agama asli Ibrahim AS, yang telah berkembang jauh sebelum Allah menurunkan Taurat dan Injil.

Situasi dan kondisi suku Quraisy pra kenabian yang telah digambarkan oleh Karen Amstrong di atas sering kita kenal dengan sebutan zaman jahiliyah. Mereka sejatinya meyakini bahwa Allah SWT adalah pencipta, pengatur alam semesta, serta pemberi rizki, namun kemakmuran dan kekayaan yang mereka miliki malah membuat mereka sombong untuk belajar dari pihak-pihak luar perihal bagaimana cara yang benar dalam menyembah dan beribadah kepada Allah SWT.

Ironisnya, ketika Allah SWT telah “menambal” kekurangan mereka dengan diutusnya Muhammad SAW sebagai Nabi. Timbul lagi kesombongan baru mereka, sebuah kesombongan yang diabadikan Allah SWT dalam surat Az Zukhruf ayat 31, Dan mereka berkata: “Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri ini?”
Para ahli tafsir bersepakat bahwa yang dimaksud dari dua negeri adalah Makkah dan Thaif, sedangkan mengenai dua pembesar Imam Jalaluddin Al Mahalli dalam tafsir Al Jalalayn menyatakan bahwa yang mereka maksud adalah Al Walid bin Mughirah di Makkah dan Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafi di Thaif.

Berhala Mekkah

Terlalu lama tenggelam dalam kekayaan berlimpah, kesombongan, serta fanatisme telah membawa kaum Quraisy pada disorientasi yang sangat parah. Mereka bahkan menyalahkan Allah SWT dan merasa memiliki pengetahuan melebihi pengetahuanNya. Mereka mengakui kecerdasan Muhammad SAW, tetapi bagi mereka Muhammad SAW adalah “anak baru kemarin” dalam lingkaran kaum intelektual mereka. Sumbangsih Muhammad SAW baru sebatas “peletakan hajar aswad yang memuaskan semua pihak”, belum sebanding dengan sumbangsih dan karya kedua pembesar tadi.

Akhirnya Allah SWT pun menyebutkan perilaku mereka ini dalam surat Al Fath ayat 26, “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Kesombongan jahiliyah mereka telah membuat Muhammad SAW dan pengikutnya tidak pernah dapat beribadah dengan tenang di Ka’bah. Bahkan pada tahun ke 6 hijriah mereka sempat dilarang memasuki Makkah untuk melaksanakan Umrah. Pada akhirnya setelah hampir 21 tahun barulah Muhammad SAW berhasil memadamkan kesombongan jahiliyah dalam hati mereka, ditandai dengan peristiwa Fathul Makkah dimana suku Quraisy berbondong-bondong memeluk Islam, dan Ka’bah pun kembali kepada fungsi asalnya sebagai sarana pengabdian kepada Allah SWT, ditandai dengan dihancurkannya berhala-berhala di sekitar Ka’bah bahkan oleh para pemahatnya sendiri.

Kisah suku Quraisy ini tentu harus menjadi i’tibar bagi kita semua. Agar jangan sampai terjerumus dalam kesalahan yang sama. Dan tentunya kita sangat berharap agar kesombongan jahiliyah semacam ini tidak diulangi oleh kaum yang sama, yaitu kaum yang diberi amanah oleh Allah SWT untuk memakmurkan Ka’bah. Karena jika Rasulullah SAW saja butuh 21 tahun untuk menyadarkan mereka, bagaimana dengan kita?!

Penulis : Rusydan Abdul Hadi

Sumber: Kiblat.net