OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 15 Juli 2017

Merespons Isu Radikalisme Kampus, Perlukah?

Merespons Isu Radikalisme Kampus, Perlukah?


Ilustrasi. (kompasiana.com)

10Berita – Sudah menjadi kata yang tak asing lagi, radikalisme yang berasal dari kata radix yang berarti akar, semakin dikenal masyarakat Indonesia dengan maraknya berbagai berita di media massa dan opini di media sosial. Bahkan kemarin, di sela-sela penantian pengumuman hasil sidang isbat penentuan 1 Syawal 1438 H masih ditayangkan berita mengenai radikalisme dalam bentuk paparan hasil survei radikalisme di kalangan masyarakat Indonesia. Pada 2002, kasus Bom Bali cukup menggemparkan masyarakat hingga ke internasional. Kasus teror bom selanjutnya tidak begitu populer hingga tahun 2016 meningkat tajam, yang diawali dengan pengeboman di persimpangan Sarinah, Jakarta Pusat. Namun di awal 2017 ini, isu radikalisme semakin menguat lagi namun bukan dalam jumlah bom yang diledakkan, yakni dengan penyebaran ketakutan yang mewabah. Pertama, dengan beredarnya isu radikalisme yang dikaitkan dengan isu rasisme di Pilkada DKI Jakarta. Kedua, isu keterkaitan radikalisme dengan sekolah dan kampus.

Isu radikalisme dikaitkan dengan sekolah khususnya dengan pesantren, yang sebagian media barat menyebutnya sebagai“breeding ground” para teroris, menyusul kemudian sembilan belas pesantren tercatat sebagai pesantren radikal di antara 28.000 pesantren yang tersebar di Indonesia. Sedangkan untuk di kampus, radikalisme dikaitkan dengan LD (Lembaga Dakwah), dipicu beredarnya video sumpah mahasiswa yang diadakan BKLDK (Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus) pada tahun lalu. BKLDK sendiri merupakan wadah yang berbeda dengan FSLDK (Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus). BKLDK sendiri sudah memberikan klarifikasinya lewat Ketua BE Kornas BKLDK, Ali Baharsyah bahwa dalam acara tersebut tidak pernah sama sekali disinggung mengenai perubahan Pancasila, apalagi pembubaran NKRI.

Merespons isu radikalisme yang menguat dan menghangat, LDKN Salam UI (Nuansa Islam Mahasiswa UI) yang merupakan LDK resmi UI tingkat nasional dalam naungan FSLDK pada Jumat, 9 Juni 2017 melakukan silaturahim dengan Rektor UI, Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met difasilitasi oleh MWA UI UM (Majelis Wali Amanat UI Unsur Mahasiswa). Dalam diskusi tersebut, Rektorat UI dan Salam UI bersama melawan radikalisme. Disepakati bahwa radikalisme berlawanan dengan sisi humanis dan ‘rahmatan lil alamin’ agama Islam. Kedua pihak ke depannya akan merumuskan hal untuk menyikapi radikalisme dengan berbagai elemen, mulai dari UKM Kerohanian di UI, LDF (Lembaga Dakwah Fakultas se-UI, hingga BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).

Respons Salam UI patut diapresiasi mengingat langkahnya yang konkret untuk berdiskusi dengan pihak yang berwenang yakni Rektor sekaligus membuktikan kepada masyarakat bahwa Lembaga Dakwah Kampus adalah lembaga yang legal, formal, dan wajar. Lembaga dakwah kampus secara umum bertujuan menjadi sarana mahasiswa untuk lebih tertarik mempelajari agama Islam lewat program-program kerja yang tersedia dan menuansakan keislaman di kampusnya. Jika memang sekolah, pesantren, dan kampus merupakan sarang radikalisme, maka bisa dipastikan tidak ada kedamaian di Indonesia. Namun, di samping tujuan dan perannya yang tidak sama sekali diperuntukkan untuk hal-hal radikalisme, lembaga dakwah sendiri tentu mempunyai evaluasi terhadap kinerjanya selama ini. Salah satu fenomena klasik yang sering kali ditemukan adalah terkadang anggota LD cenderung bersikap eksklusif dan kurang mau bergaul dengan orang lain yang berbeda pergaulan. Hal ini dapat memicu orang-orang di luar LD untuk segan mengikuti kegiatan yang diselenggarakan lembaga dakwah, bahkan segan untuk berinteraksi atau bergaul dengan sebagian dari mereka, meskipun sebenarnya lembaga dakwah terbuka untuk berdiskusi dan menerima masukan. Menyikapi hal ini maka lembaga dakwah perlu lebih sering menjemput bola, ketimbang berperan menjadi penjaga gawang.

Isu radikalisme sendiri bukanlah hal yang menimpa agama Islam saja, juga bukan merupakan hal baru. Bahkan sebelum merdeka, Indonesia pun sudah sangat beragam termasuk dalam beragama. Semakin jauh dari sejarah, mungkin semakin banyak masyarakat yang melupakan makna persatuan. Hal ini ditambah dengan berkembangnya teknologi yang menghasilkan generasi internet di Indonesia yang masih muda. Hal ini berbanding lurus dengan semakin beredarnya hoax;opini tak berdasar, sumber berita yang tidak valid, hasutan kebencian, dan lain sebagainya, permusuhan semakin dibangkitkan baik terhadap sesama masyarakat Indonesia maupun sesama muslim. Meskipun begitu, tentu akan tiba masanya internet dipergunakan dengan lebih bijaksana.

Radikalisme sendiri diyakini meningkat pascareformasi, yaitu ketika kebebasan berpendapat semakin digencarkan. Kebebasan berpendapat itu akhirnya tumbuh dan di sebagian kalangan berkembang menjadi kalangan yang dianggap pemberontak pemerintah. Namun, kebebasan berpendapat ini tidak hanya berkembang pada agama Islam saja. Juga tidak semua perkembangan kebebasan berpendapat itu menjadi hal yang negatif. Kebebasan berpendapat ini juga berkembang pada kebudayaan masyarakat, seperti semakin banyaknya ormas di berbagai sektor, maraknya penyebaran informasi, pengaduan pelayanan umum, penggalangan dana, kebebasan menulis di media massa maupun media sosial dengan mudah, namun tak dapat dipungkiri juga memicu berkembangnya gerakan radikal serta berkembangnya hoax. Hal ini membuktikan bahwa pascareformasi, masyarakat Indonesia semakin bebas dalam memberikan pendapat, tidak hanya dalam hal yang radikal, juga tidak hanya menimpa agama Islam

Hingga nanti momen liburan berakhir, bertepatan dengan momen pengumuman penerimaan mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi, tidak sedikit calon mahasiswa baru yang akan khawatir, tidak sedikit orang tua mereka yang akan khawatir mengingat isu radikalisme ini. Namun kini kita semua dapat bertenang dan terus memasang mata dan telinga. Hendaknya isu ini tidak menghalangi kita, keluarga, dan teman-teman kita semua untuk terus mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam. Untuk menghindari sekaligus merespons isu radikalisme dalam beragama, maka salah satu cara terbaik adalah mempelajari agama kita dengan benar, jangan sampai tersesat ataupun menyimpang. Selain itu, apalah yang lebih baik dari penasaran, dari pada membuktikannya sendiri. Di era yang penuh kebebasan informasi ini, sangat mudah dan bijak jika kita membudayakan komunikasi dua arah, klarifikasi kepada sumber yang terkait dan terpercaya, serta membagikan informasi yang baik dan perlu diketahui publik. Terutama sebagai mahasiswa, hendaknya mengolah masalah dan membuktikan hipotesis dengan ilmiah.

Sumber:-(dakwatuna.com/hdn)