Pemindahan Ibu Kota Negara: Politis atau Proyek?
Oleh: AB Latif (Direktur Indopolitik Watch)
Rencana pemindahan Ibu Kota Indonesia ke daerah lain menjadi topik terhangat sejak senin, 3 Juli 2017 kemarin. Sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini tengah mematangkan rencana untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke kota lain. Salah satu yang dipilih berlokasi di Pulau Kalimantan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengaku telah membahas rencana detail pemindahan ibu kota ini bersama Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Istana Negara, Senin (3/7/2017). Dalam perbincangan terakhirnya dengan Presiden, Bambang mengatakan kajian pemindahan ibu kota, termasuk skema pendanaan, akan rampung tahun ini (kompas.com, 3Juli 2017).
Dasar kajian pemindahan ibu kota yakni fakta bahwa pembangunan ekonomi antara di Pulau Jawa dengan pulau lainnya tidak seimbang. Pembangunan di Pulau Jawa lebih tinggi daripada di pulau lainnya di Indonesia. Inilah alasan utama pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota Negara. Sesungguhnya rencana pemindahan ini sudah pernah dilontarkan oleh Presiden pertama Negara Republik Indonesia ini, yaitu Bapak Soekarno. Dan kini kembali digulirkan kembali oleh Bapak Joko Widodo selaku Presiden Indonesia periode sekarang. Pro dan kontra pun bermunculan, karena perpindahan Ibukota tak segampang kita pindah rumah.
Dari wacana yang terdengar nyaring adalah pemilihan Kota Palangkaraya sebagai ibu kota Indonesia berikutnya. Alasannya adalah kota yang merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah ini masih belum terlalu padat seperti kota-kota di Pulau Jawa. Lahan yang luas juga tersedia untuk membangun kawasan perkantoran. Selain itu, Pulau Kalimantan relatif aman dari bencana alam. Tak seperti di Jawa dan pulau-pulau lainnya, Kalimantan tak berada dalam gugusan gunung api. Tak ada gunung api aktif yang dapat membahayakan warga saat meletus, seperti yang saat ini terjadi pada Gunung Kelud dan Gunung Sinabung. Pulau Kalimantan juga aman dari bencana gempa bumi dan tsunami karena letaknya jauh dari Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik.
Sesungguhnya perpindahan ibu kota negara itu merupakan hal yang lazim terjadi, sebagaimana Amerika Serikat pernah memindahkan ibu kota dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin dan Brasil dari Rio de Jeneiro ke Brasilia. Yang menjadi pertanyaannya, sudah siapkah Negeri ini untuk menanggung semua implikasi yang diakibatkan perpindahan ini ?
Politis atau Proyek?
Menurut wakil Ketua DPRD DKI Jakarta tahun 2013, Triwisaksana pernah mengatakan anggaran yang dibutuhkan untuk membuat Ibu Kota baru sekitar Rp 200 Triliun (merdeka.com, 8 April 2015). Sungguh anggaran sebanyak itu sangatlah berat bagi negeri ini. Mengingat utang Negara Indonesia saat ini telah mencapai Rp 3.667,41 triliun. Artinya jika utang ini ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia, maka setiap warga Negara Indonesia yang baru lahir terbebani utang Negara sebanyak Rp. 13 juta. Untuk angsuran bunga dan pokoknya negeri ini harus membayar sebanyak Rp. 500 trilliun tahun 2017. Dan pemasukan Negara dari sektor pajak saat ini sangatlah defisit.
Jika program ini dipaksakan yang terjadi anggaran di tahun 2018 dapat dipastikan akan membengkak. Untuk menutupinya biasanya solusi pemerintah adalah kalau tidak menaikan pajak, menembah utang Negara atau mencabut subsidi untuk rakyat. Dan sudah kita ketahui bersama bahwa hutang adalah cara penjajah untuk menguasai suatu negeri. Semakin banyak hutang suatu negeri ketergantungan kepada Negara donor akan semakin kuat. Ketika hutang semakin banyak , maka pajak akan semakin naik serta subsidi semakin habis. Negara tak akan lagi peduli dengan nasib rakyatnya. Dengan demikian bersiap-siaplah rakyat untuk menanggung semua beban berat ini. Rakyat akan kembali menjadi korban dari kebijakan yang digagas oleh penguasa.
Selain itu juga dunia akan berada dalam keadaan bahaya jika ibu kota Indonesia jadi dipindah ke Palangkaraya. Alasannya adalah Kalimantan merupakan paru-paru dunia. Dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Kalimantan diharapkan mampu menjaga keseimbangan alam sebagai ‘pemasok’ udara segar. Bayangkan jika ibu kota jadi pindah, tentu akan diikuti pula dengan eksodus penduduk Pulau Jawa ke Kalimantan. Mereka akan membangun pemukiman dengan menebangi hutan-hutan yang ada.
Sudah menjadi hukum alam, jika pusat pemerintahan akan menjadi ‘pusat rejeki’ pula bagi manusianya. Dimana ada gula, disitulah semut akan berkumpul. Apalagi jika nantinya akan dibangun gedung-gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di pulau tersebut. Plus pertambangan yang terus merangsek ke area hutan, bisa diperkirakan dalam waktu dekat kita akan kekurangan udara segar. Hal yang selama ini menjadi barang gratis sebagai bentuk karunia Tuhan, haruskah kita korbankan?
Di sisi lain perpindahan ini adalah lahan basah bagi para koruptor. Setiap ada proyek di situ uang menguap. Ini adalah kesempatan bagi para kontraktor untuk menguasai proyek-proyek pembangunan. Artinya ada kapitalisme bermain dibelakang program perpindahan Ibu Kota. Hal ini juga akan menyuburkan penjajahan ekonomi oleh para kapital asing dan aseng untuk menguasai Indonesia. Artinya setelah pulau jawa dikuasai dengan mega proyek para kapital asing dan aseng, maka harus ada sasaran baru untuk selanjutnya menguasai Indonesia seluruhnya.
Sungguh penjajah akan terus mencengkeramkan kuku-kukunya untuk memuluskan kepentingannya. Lalu dimanakah kepedulian kita terhadap negeri zamrud khatulistiwa ini? Sudahlah cukup dan menyadari untuk kembali kepada politik berbasis pelayanan, bukan politik pencitraan. [syahid]
Sumber: voa-islam.com