OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 23 Agustus 2017

Haruskah Kita Menjadi Primitif Lagi?

Haruskah Kita Menjadi Primitif Lagi?


10Berita – Tak bisa dipungkiri lagi jika manusia adalah makhluk yang dinamis. Karunia berupa akal menjadikannya berbeda dengan ciptaan Allah lainnya yang hidupnya begitu-begitu saja. Sebut saja kucing, sejak generasi pertamanya hingga hari ini cara makannya tetap sama, mengendus-endus makanan setelah baunya dirasa cocok barulah makanan tersebut dicaplok. Langsung melalui mulutnya.

Berbeda dengan manusia, cara makan manusia tentu mengalami perubahan dan perkembangan, mungkin pada awalnya semua makanan di-puluk (diambil pakai tangan, red) lalu dimasukkan ke dalam mulut, namun seiring berjalannya waktu berjalan pula pemikiran manusia, maka ditemukanlah sendok untuk menyantap beberapa makanan yang sulit di-puluk. Bentuk sendok pun mengalami perkembangan dari yang awalnya kurang proporsional menuju bentuk yang lebih kompatibel dengan lebar rongga mulut manusia. Material penyusunnya pun berkembang dari yang rentan dan membahayakan semisal kulit kerang ataupun dedaunan menuju yang dianggap lebih aman semisal plastik dan logam.

Intinya, cara hidup manusia selalu berkembang menuju yang lebih aman dan lebih praktis bagi kelangsungan hidupnya. Dan ketika telah ditemukan sebuah cara hidup yang terbukti lebih aman dan praktis, namun ada seorang manusia yang masihkeukeuh menggunakan cara lama, maka perilakunya tersebut bisa didefinisikan sebagai perilaku primitif.

Ya, primitif adalah sikap keras kepala atas cara lama ketika telah tersedia cara baru yang lebih aman dan praktis. Menyantap semangkok bubur ayam dengan sendok daun pisang sementara sang penjual menyediakan sendok logam adalah perilaku primitif. “Membuka” buah mangga dengan cara dibanting sementara anda mempunyai pisau yang tergantung manis di rak dapur juga sebuah perilaku primitif.

Perilaku primitif manusia nyatanya tidak terbatas pada hal-hal yang terindera saja, namun pada hal yang paling transenden sekalipun seperti keyakinan dan kepercayaan ternyata masih kita jumpai perilaku-perilaku primitif di dalamnya.

6 Kelompok Manusia

Ibnu Hazm, seorang ahli fiqh kekhilafahan Andalusia pernah membahas mengenai hal ini. Beliau mengklasifikasikan perilaku manusia dalam berkeyakinan ke dalam enam kelompok, dimulai dari yang paling primitif sampai yang lebih ringan tingkat keprimitifannya.

Yang pertama adalah kelompok yang mengingkari hakikat keberadaan, mereka meyakini bahwa segala sesuatu di muka bumi ini bersifat relatif. Yang benar belum tentu benar, yang ada belum tentu ada, yang hitam belum tentu hitam, yang ganteng belum tentu ganteng, yang wangi belum tentu wangi, hingga akhirnya mereka terjebak dalam kebingungan mereka sendiri mengenai apa itu benar, apa itu baik, apa itu hitam, ganteng, dan wangi. Mereka lah yang dikenal sebagai kelompoksufasthaiyyah.

Para penganut sufasthaiyyah selalu meragukan kebenaran dan keberadaan segala sesuatu, bahkan cara berpikir mereka pada akhirnya membawa mereka pada sebuah pertanyaan yang mencerminkan sebuah kebingungan maksimal; “apakah diri saya ada atau tidak?”

Wajar jika kelompok ini dianggap paling primitif karena cara berpikir semacam ini akan menghancurkan bangunan ilmu dan pengetahuan. Karena paham sufasthaiyyah telah menutup peluang manusia untuk menggapai dan meyakini sebuah kebenaran yang dapat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Lalu kelompok yang kedua adalah mereka yang sudah terbebas dari kebingungan kelompok pertama, namun mereka meyakini bahwa alam semesta sudah ada sejak waktu yang tak terbatas dan akan selalu ada tanpa mengenal sebuah akhir. Dan mereka juga meyakini bahwa seluruh realitas (kenyataan) yang terjadi di kehidupan ini adalah kebetulan belaka tanpa ada yang mengatur dan menciptakannya.

Lalu kelompok yang ketiga, mereka sudah lebih maju ketimbang kelompok kedua, karena meski mereka masih meyakini bahwa alam semesta ini tanpa awalan maupun akhiran, namun mereka telah meyakini perihal adanya sang pengatur di alam ini. Segala realitas yang ada bukan semata-mata kebetulan, melainkan telah dirancang oleh sang pengatur yang abadi pula.

Lalu hadir kelompok yang keempat, di mana mereka mulai berselisih mengenai keabadian alam semesta, sebagian masih bersikukuh bahwa alam semesta tak mempunyai awal maupun akhir, dan sebagian mulai meyakini adanya pencipta, namun mereka bersepakat mengenai adanya sang pengatur di alam semesta ini. Di mana sang pengatur itu berjumlah lebih dari satu dan terjadi sedikit perselisihan mengenai jumlahnya.

Lalu hadir kelompok yang kelima, mereka telah terbebas dari segala macam perselisihan tadi dan telah meyakini bahwa alam semesta ini pasti ada penciptanya yang tunggal. Namun mereka masih mengingkari konsep kenabian.

Lalu hadir kelompok yang terakhir, di mana mereka mengakui adanya pencipta yang tunggal serta menerima konsep kenabian namun mengingkari atau tidak mengakui kenabian beberapa nabiyullah alaihissalam.

Keenam kelompok tersebut disebut primitif karena mereka masih bersikukuh pada keyakinan lama sementara telah ada konsep keyakinan baru yang lebih aman dan lebih menempatkan manusia pada kemanusiaannya (baca: fitrahnya).

Islam datang

Islam sebagai konsep keyakinan terbaru memberikan gambaran yang jelas kepada manusia mengenai hakikat alam semesta beserta seluruh isinya, Islam juga menyediakan bagi manusia tujuan yang jelas mengenai hakikat penciptaan mereka.

Sehingga bersama Islam manusia tak perlu lagi membuang-buang waktu dan tenaga untuk hal-hal yang tidak terlalu bermanfaat bagi kemanusiaannya. Bersama Islam, manusia tak perlu repot-repot lagi untuk menerka-nerka mengenai awalan serta akhiran alam semesta. Bersama Islam, manusia tak perlu lagi berselisih mengenai jumlah dewa pengatur alam semesta. Bersama Islam, manusia tak perlu lagi mengorbankan seekor kerbau kepada ratu pantai yang tak pernah ada. Bersama Islam, manusia tak perlu lagi membuang sepiring nasi merah untuk membusuk di tengah jalan.

Dan yang terpenting bersama Islam manusia hanya perlu menghabiskan waktunya di dunia ini untuk beramal shalih sebanyak-banyaknya serta sebaik-baiknya demi mendapat keridhaan dan surga Allah SWT.

Namun manusia yang telah berIslam juga perlu waspada, karena dalam perjalanan kehidupan banyak sekali perangkap-perangkap syaitan yang akan menjerumuskan manusia ke dalam jurang keprimitifan lagi.

Sayangnya, manusia seringkali terbuai dan tertipu karena syaitan tak pernah lupa untuk menghias perangkap-perangkapnya sedemikian rupa agar tampak seperti sesuatu yang baik.

Sayangnya, manusia seringkali tak menyadari bahwa hal-hal yang tampaknya baik dan dilakukan mayoritas manusia semisal mengolok-olok ide khilafah, menolak pemakaian cadar, serta nyaris mewajibkan penghormatan terhadap bendera bisa jadi merupakan pintu lebar bagi dirinya untuk menjadi primitif kembali.

 

Penulis : Rusydan Abdul Hadi

 

Sumber :Kiblat.