Jangan Pernah Ragu, Setiap Bakti Kita Kepada Ibu Pasti Akan Diganjar Tuhan Dengan Tetesan Rezeki
Beberapa kali, dulu, Ibu meminta saya mengantarkan dia ke rumah sakit untuk general check-up. Setelah melewati usia 73, kesehatan beliau memang agak menurun.
Namun, karena sibuk bekerja, saya selalu menunda-nunda keinginan Ibu. Ketika saya menikah, punya anak, lalu pindah rumah, permintaan itu bahkan terlupakan sama sekali. Ibu memang tak pernah mengeluhkan penyakitnya.
Tiba suatu pagi, saya ditelepon kakak, “Ibu koma!” Saya kaget, ternyata Ibu terkena komplikasi darah tinggi dan diabetes. Tiga hari kemudian, pada usia 77, tahun 1989, Ibu wafat.
Ah, seandainya. Ya, seandainya saya dulu memenuhi permintaan Ibu, penyakitnya mungkin bisa terdeteksi lebih awal, sehingga mungkin juga pola makan beliau bisa dijaga.
Penyesalan hanya tinggal penyesalan, yang lama melukai dan membebani hati saya, hingga kini. Seminggu lalu, seorang teman mengeluh, ia sungguh tak kuat menghadapi ibunya.
Seminggu dua kali ibunya minta diantar ke dokter yang berbeda, padahal obat dari dokter sebelumnya belum disentuh. Setiap dokter yang didatangi bilang, ibunya sehat-sehat saja. Teman saya stres.
Apalagi, apa pun yang ia berikan buat ibunya selalu diterima baik di depannya. Tapi, di belakangnya, buah tangan itu dicampakkan. Kadang teman saya itu sakit hati, merasa tak dihargai.
Mendengar penuturan teman tadi, kisah Ibu kembali mencuat dari benak saya. Teman saya itu semestinya bersyukur, masih sempat berbakti pada ibunya, selagi yang bersangkutan masih bisa menikmati bakti itu.
la tak menyadari, setiap baktinya diganjar Tuhan dengan tetesan rezeki. Bisa jadi, tetesan rezeki yang diterimanya kini berkat doa yang dipanjatkan sang ibu.
Kalau toh ibunya agak “bertingkah”, mungkin ia ingin merasakan kasih sayang, seperti yang selama ini ia bagikan kepada anak-anaknya. Isilah sisa-sisa hidup Ibu dengan kehangatan.
Jangan biarkan ia mengalami empty-nest (kandang kosong), saat semua anak-anaknya pergi meninggalkan. Jika kelak ibu sudah meninggal, hanya akan teronggok rasa sesal. Seperti saya.
Sumber: intisari.grid.id