OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 17 Agustus 2017

MELAWAN MENTAL INLANDER

MELAWAN MENTAL INLANDER


Melawan Mental Inlander

(by Eko Jun)

Jelang HUT Kemerdekaan RI ke-72, kita dikejutkan dengan pernyataan salah seorang kepala daerah, yang digadang-gadang akan maju berkompetisi di Pilkada Jawa Barat 2018. Dengan alasan bahwa kita mewarisi aset perkebunan, irigasi, dll, maka (Bangsa Indonesia) seharusnya berterima kasih kepada Belanda (negeri yang 350 tahun menjajah Indonesia).

Mari kita kupas pernyataan kontroversial tersebut:

Pertama, Karakter Penjajah

Pada prinsipnya, dijajah itu tidak menyenangkan. Kemerdekaan dipasung, kebebasan dirampas, hak azasi diinjak-injak dll. Namun jika diperhatikan, ternyata penjajah memiliki perbedaan karakter. Negara penjajah seperti Inggris, cenderung memiliki itikad kuat untuk memajukan daerah jajahannya. Karena itu, negara bekas jajahan Inggris rata-rata cukup maju, seperti halnya Singapura, Malaysia, Hong Kong dll.

Lain halnya dengan negara penjajah seperti Belanda. Mereka lebih berorientasi untuk mengeksploitasi negara jajahannya saja. Jikapun ada kemajuan seperti kasus perkebunan, sesungguhnya itu adalah sisa-sisa politik tanam paksa. Jikapun ada peningkatan SDM seperti kasus Politik Etis, sesungguhnya hanya untuk mendapatkan tenaga kerja murah dari kalangan Bumiputra.

Kedua, Merdeka Jiwa Raga

Kemerdekaan itu terletak pada jiwa dan raga. Ada sebagian orang yang merdeka jiwanya, meski raganya terkurung. Mereka lebih memilih berada didalam penjara atau di uang dipengasingan, ketimbang harus menggadaikan prinsip dan sikap politiknya. Tokoh-tokoh perjuangan dan kemerdekaan umumnya masuk kategori ini. Termasuk para aktivis pergerakan disetiap zaman juga masuk kelompok ini.

Ada juga orang yang raganya merdeka, tetapi memiliki jiwa budak. Mereka adalah para jongos yang lebih memilih hidup menderita dibawah penjajahan ketimbang hidup merdeka tapi penuh ketidakpastian dan menghadapi marabahaya. Contoh nyata adalah kaum Bani Israel yang masih terkenang (rindu) dengan suasana di Mesir sebagai budak dan mendapatkan aneka makanan, ketimbang hidup merdeka bersama Musa dan Harun, namun hanya dengan makanan "Manna wa Salwa".

Ketiga, Beban Masa Lalu

Dimana-mana, biasanya negara penjajahlah yang meminta maaf kepada negara jajahannya. Hal ini dilakukan karena mereka sadar atas berbagai kejahatan yang dilakukannya, mulai dari eksploitasi kekayaan alam hingga pelanggaran HAM. Diluar itu, negara yang dijajah biasanya juga menuntut permohonan maaf dari negeri penjajah serta meminta sejumlah kompensasi tertentu, khususnya bagi keluarga korban. Inilah hal yang lumrah terjadi didunia nyata.

Namun, ungkapan dari salah satu kandidat Pilgub Jabar 2018 ini benar-benar sulit dinalar. Jiwa patriotismenya sungguh perlu dipertanyakan. Dia melupakan korban kejahatan perang bangsanya sendiri, dia juga mengenyampingkan jasa perjuangan para pahlawan. Semestinya dia berkaca kepada Nabi Musa. Meskipun sejak kecil mendapatkan limpahan kebaikan dari Raja Fir'aun, tapi Nabi Musa sama sekali tidak memiliki beban moral untuk melawannya. Semua dilakukan demi membebaskan kaumnya dari penjajahan Fir'aun.

Khatimah

Merdeka 100% adalah saat raga dan jiwa benar-benar terbebas dari belenggu penjajahan. Secara fisik,  tidak dibawah pengaturan dan hegemoni bangsa lain. Secara mental, kita tidak merasa inferior dihadapan bangsa lain. Merdeka 100% adalah saat kita menghargai jasa-jasa perjuangan para pahlawan yang mengorbankan jiwa raganya untuk ibu pertiwi serta berupaya keras untuk meneladani dan meneruskan perjuangan mereka. Pertanyaannya, sudahkah kita benar-benar merasa merdeka?

Sumber: Portal Islam