Menjawab Talbiyah Rohingya
10Berita — Musim haji 2017 ini ternodai oleh insiden terbunuhnya 89 Muslim Rohingya oleh militer Myanmar. Dua desa habis diberangus sejak Jumat (25/08) lalu. Hari itu rombongan saya baru tiba di Mekkah dan langsung melaksanakan manasik umrah.
Secara kebetulan, kami bertemu dengan petugas kebersihan Masjidil Haram beretnis Rohingya. Dia menceritakan kondisi kampung halamannya dalam bahasa yang agak susah dipahami.
Meski demikian, ratusan foto dan potongan video yang beredar di media sosial sudah cukup menggambarkan luka yang kembali tergores di sana. Tentu saja, tetap berusaha memilah mana sumber tepercaya di antara jebakan hoax yang sering bertebaran. Dan Rohingnya bukanlah kisah pilu yang baru.
Mereka adalah sejumput kisah pahit sejarah manusia yang dikotak-kotakkan atas dasar ras, bangsa atau asal negara. Myanmar menolak mengakui mereka sebagai warga negara karena merasa sebagai bangsa yang berbeda—termasuk perbedaan agama.
Kondisi seperti itu diperparah oleh dukungan kaum biksu seperti Ashin Wirathu untuk kebijakan keras rezim Aung San Suu Kyi, membuat persoalan Rohingya ini sulit dilepaskan dari motif agama.
Faktanya, hak menjalankan praktik beragama (Islam) di sana juga dipersulit. Seorang relawan yang pernah masuk ke Distrik Rakhinee dan berbaur langsung dengan warga Rohingya menceritakan kepada saya sulitnya membangun masjid di sana.
Tragedi kemanusiaan yang memilukan atas bangsa Rohingya, tak ubahnya seperti drama berseri. Hari ini memanas, esok sedikit mereda, dan lusa kembali menggila. Dan kini, di saat kaum Muslimin di Tanah Suci melantunkan talbiyah untuk menjalankan ibadah haji dan umrah, sesungguhnya Rohingya pun melantunkan panggilan yang senada.
Talibyah Rohingya meminta perhatian kita sebagai sesama Muslim untuk, minimal, tidak melupakan mereka dalam setiap doa-doa yang kita lantunkan. Bahwa ada darah yang tertumpah karena La Ilaha illal-Lah. Ada bumi yang terampas karena mempertahankan keyakinan Muhammad sebagai utusan Allah.
Bedanya, bila talbiyah di Tanah Suci dilaungkan dengan lantang, memprokamirkan ketundukan, pujian dan tauhid kepada Rabbul Alamin; talbiyah Rohingya hanya muncul dalam bentuk rintihan yang lemah tak berdaya.
Lemah, karena sekian lamanya menjerit dan meminta pertolongan, namun belum jua hadir tangan-tangan penuh rahmat yang mengentaskan mereka dari kezaliman demi kezaliman yang menimpa mereka.
Letih, karena tidak tahu lagi ke mana harus mengadu. Dunia Islam masih belum bisa keluar dari strategi basa-basi dalam mengentaskan masalah mereka. Bahkan, Malaysia dan Indonesia sebagai negara Muslim yang dekat pernah tercatat menolak kedatangan mereka yang mengungsi.
Dengan alasan sudah menampung pengungsi sebelumnya, Bangladesh pun menutup pintu perbatasan (Baca: Bangladesh Tolak Pengungsi Rohingya, Ribuan Terlunta-lunta di Perbatasan).
Dunia internasional? Mereka tak pernah keliru dalam memandang setiap tragedi kemanusiaan yang terjadi. Di mana bila korbannya adalah Muslim, maka yang ada hanyalah teori dan retorika tanpa makna. Rezim Ang San Suu Kyi masih berani berkacak pinggang di panggung internasional bahwa persoalan Rohingya adalah masalah pribadi Myanmar yang tidak boleh dicampuri negara lain.
Kini, di antara tasbih, tahmid dan takbir yang memenuhi Masjidil Haram PR wajib bagi umat Islam, khususnya para jamaah haji yang hari ini sedang khusyuk beribadah di tempat-tempat mustajabah. PR tentang nasib saudara-saudara mereka yang masih berkalang derita di berbagai penjuru dunia.
Rohingya hanyalah sebuah nama di antara deretan nama-nama lain seperti Suriah, Palestina, Iraq dan bumi Islam lain yang tengah terluka. Nama-nama itu memanggil kepedulian para jamaah haji dan umat Islam seluruhnya untuk sudi menyelipkan sejumput doa bagi mereka.
Rohingya adalah persoalan rumah tangga umat Islam. Yakinlah, tidak ada yang bisa menyelesaikan persoalan ini selain diri kita sendiri sebagai umat. Umat Islam lintas negeri, bangsa dan ras.
Penulis: Tony Syarqi
Sumber: Kiblat.