Patung Dewa Perang China di Tuban, Dinilai Potensial Cederai Harmoni Bangsa
"Kalau dia (umat Buddha) tidak butuh (patung itu. Red) untuk kepentingan peribadatan, misalnya, maka jangan dipaksakan," tegas Niam.
IST.
Patung Dewa Perang China, Kwan Sing Tee Koen, di Tuban, Jatim. Pendirian patung ini menuai banyak kecaman.
10Berita– Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh mengatakan, di suatu daerah yang mayoritas Muslim, tentu tidak arif jika ditegakkan panji-panji atau syiar-syiar yang bertentangan dengan Islam.
“Demikian juga sebaliknya, kalau di komunitas Kristen misalnya yang tidak ada penduduk Muslim, di situ tentu tidak pas juga,” ujar Niam.
Komentar itu ia sampaikan terkait pembangunan Patung Dewa Perang China, Kwan Sing Tee Koen, di Tuban, Jawa Timur, yang menuai kontroversi dan kecaman dari banyak pihak.
Baca: Soroti Patung Dewa Perang China, Jimly Harap Pihak Minoritas Ada Sensitivitas
Niam pun mengatakan soal pentingnya menjaga keutuhan nilai di tengah-tengah masyarakat.
“Bahwa salah satu wujud kearifan kita di dalam bangsa dan negara itu adalah menjaga nilai yang utuh di dalam masyarakat,” jelasnya di Gedung MUI Pusat di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (16/08/2017).
Polemik soal patung yang telah ditutup kain putih tersebut pun menurutnya juga terkait soal kepatutan, etika, dan kebutuhan.
Baca: Warga Gabungan se-Jatim Tuntut Pembongkaran Patung Dewa Perang China di Tuban
“Kalau dia (umat Buddha) tidak butuh (patung itu. Red) untuk kepentingan peribadatan, misalnya, maka jangan dipaksakan,” tegasnya.
Karena, lanjutnya lagi, hal itu akan mencederai harmoni bangsa Indonesia.
“Artinya, komitmen untuk menjaga harmoni di tengah masyarakat yang plural itu adalah kearifan kita masing-masing sebagai masyarakat,” terang Niam.* Ali Muhtadin
Rep: Admin Hidcom
Editor: Muhammad Abdus Syakur
Sumber: Hidayatullah