OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 05 September 2017

Agus, Haji, dan Diplomasi Ala Santri

Agus, Haji, dan Diplomasi Ala Santri

10Berita, Oleh Wartawan Republika.co.id, Nashih Nashrullah, dari Makkah, Arab Saudi   

Bergegas, raihlah keagungan!

Muliakanlah Sang Pencipta langit!

Kibarkanlah bendera hijau!

Pancarkanlah cahaya terang!

Serukanlah: Allah Maha Besar!

Wahai tanah airku!

Tanah airku!

Berjayalah umat Islam,

Hidup Raja! Bagi bangsa dan negara!   

Bait di atas adalah terjemahan bahasa Indonesia dari lagu kebangsaan Arab Saudi. Di depan segenap Petugas Haji Indonesia (PPIH) Arab Saudi saat acara konsolidasi persiapan jelang puncak haji, dia, Dubes LBBP RI untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, menyanyikan  lagu yang pertama kali diperkenalkan Saudi pada 1967 oleh Raja Abdul Aziz bin Abdurahman Al Saud berkunjung ke Mesir tersebut, dengan sangat fasih dan lancar, hafal dari bait ke bait lagunya dalam versi Arab. Lengkap dengan nadanya. Suaranya pun lantang penuh semangat. Bisa jadi dia adalah dubes RI satu-satunya yang hafal lagu kebangsaan Saudi itu.  

La uzakki ‘alallahi ahada. Tak ada maksud meninggikan siapapun. Saya hanya salut dan appreciate melihat sepak terjang Agus. Setidaknya dia berhasil mengangkat wajah diplomasi ala santri di kancah internasional. Agus adalah alumni Pesantren Futuhiyah. Pesantren di sudut Kota Demak, Jawa Tengah, yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar, Agus, adalah salah satunya.

Latar belakang pesantren itulah yang menjadi modal penting dan senjata ampuh mengangkat diplomasi ala santri. Santri tahu betul kapan harus tegas, dan kapan harus duduk sejajar, bersikap egaliter, dan cerdas membaca suasana, yang oleh Agus, diistilahkan dengan ta’rib al-hal. Santri dituntut arif kapan harus di atas layaknya nashab dalam ilmu nahwu, dan kapan harus berada di bawah jar dengan harakat kasrah, atau kapan harus sukun bersikap tenang dan diam untuk keberhasilan diplomasi.

Syahdan, Agus menggunakan kepiawaiannya berbahasa Arab dan tempaan khas ala pesantren NU, untuk menjebol kejumudan diplomasi yang selama ini kurang begitu tersentuh dengan maksimal. Agus adalah satu di antara tokoh kunci di balik kedatangan Raja Salman ke Indonesia. Tokoh yang satuya lagi adalah Dubes Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi.

Keduanya hingga sekarang sangat akrab. Agus berseloroh, dia dan Osama memiliki kesamaan yaitu mempersunting istri dengan nama yang sama, begitu juga nama mertua. Dia meyakini ini bukan kebetulan biasa, tetapi ada rahasia besar di balik itu semua. “Doakan saya amanat menjaga amanat untuk kemaslahatan umat,” kata dia.

Di tangan keduanya, terwujud apa yang Agus istilahkan dengan poros Saudi-Indonesia (Saunesia). Poros ini bercita-cita mewujudkan kerjasama yang kuat antara kedua negara sahabat tersebut di berbagai bidang. Kerja-kerja yang dilakukan Agus berbasis pelayanan dan prinsip kemanusian. Berkat lobinya, dia sukses mengembalikan hak gaji para ekspatriat, sebutan yang dia sematkan untuk para tenaka kerja Indonesia (TKI).   

Termasuk memperkuat pelayanan bagi jamaah haji Indonesia. Dengan kemampuan diplomasi ala Santri, Agus menyanyikan lagu kebangsaan Saudi tersebut di hadapan sejumlah petugas imigirasi Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, disertai dengan pendekatan-pendekatan informal kekeluargaan, untuk melakukan lobi agar seorang jamaah haji Indonesia segera diperkenankan keluar bandara, bersama rombongan lainnya.

Selama kurang lebih empat jam, jamaah bersangkutan sempat tertahan. Berkat diplomasi ala santri pula, Agus bersama segenap jajarannya, dan tentu dukungan pemerintah Indonesia, peran senyap yang dilakukan Agus berhasil mendapatkan kuota tambahan untuk haji Indonesia dari yang semula 211 ribu menjadi 221 ribu.

Apa yang dijalankan Agus menunjukkan keterikatan santri, diplomasi, dan catatan sejarah. Komite Hijaz yang dibentuk kalangan santri yang diprakarsai  KH Wahab Hasbullah atas restu KH Hasyim Asy’ari, pada 31 Januari 1926. Komite ini hendak melobi penguasa Hijaz, ketika itu, Ibnu Saud, agar mampu menicptakan kondisi saling menghormati kebebasan bermazhab di tanah Hijaz. KH Wahab Hasbullah dan KH Ahmad Ghana’im, berhasil menemui Sang Raja pada 1928. 

Santri dan diplomasi bukan lagi hal yang tabu. Belakangan bahkan tak sedikit diplomat kita, yang berasal dari jebolan pondok pesantren. Agus adalah satu dari sekian contoh itu, menggunakan diplomasi ala santri, untuk memberikan pelayanan terbaik, bagi para jamaah haji Indonesia. Hidup Saunesia! Begitu teriakan lantang Agus di pengujung pidatonya.  

Sumber: Republika