Andaikan Kita Seorang Rohingya (2) : Kekejaman Umat Budha Myanmar atas Rohingya Bag.1
10Berita– Tiga Belas Fakta Kekejaman dan Penindasan Umat Budha Myanmar atas Rohingya
Seruan Pembersihan Etnis
“Orang-orang Arakan memperlakukan kami dengan sangat buruk, menghentikan pasokan makanan kami. Bahkan, salah seorang Arakan mengatakan kepada kami, “Kami akan menghentikan semua makananmu, dan kamu tahu mengapa? Kami melakukannya agar kalian segera pergi dari sini secepatnya dan secara permanen.”
Bermula dari kerusuhan Juni 2012, partai politik Arakan, para Biksu, dan warga Arakan membuat pernyataan publik dan mengedarkan berbagai pamflet yang secara langsung atau tidak langsung menyerukan pembersihan etnis Rohingya dari Arakan dan dari Myanmar. Pernyataan dan pamflet tersebut menyangkal keberadaan etnis Rohingya dan menyerukan pembersihan mereka dari negara.
Dua kelompok yang paling berpengaruh dalam melakukan aktivitas anti-Rohingya adalah para Biksu lokal (Sangha)dan partai lokal Arakan yang cukup kuat, Rakhine Nationalities Development Party (RNDP), sebuah partai yang didirikan pada tahun 2010 oleh kelompok nasionalis Arakan. RNDP saat ini menguasai 18 dari 45 kursi parlemen lokal (hluttaw) dan 14 kursi di parlemen nasional.
Dalam banyak kasus, seruan para biksu dan RNDP untuk mengusir muslim Rohingya dan Kaman disertai dengan perintah pada komunitas Budha untuk mengisolir mereka secara ekonomi dan sosial. Tujuannya adalah untuk menghalangi muslim Rohingya dari aktivitas yang menghasilkan pendapatan, akses ke pasar dan makanan, dan layanan dasar yang penting bagi kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Dengan berbagai rintangan tersebut, diharapkan mereka akan memutuskan untuk meninggalkan Arakan.
Setelah kerusuhan Juni 2012, para Biksu lokal mengedarkan pamflet yang menyerukan isolasi umat Islam. Salah seorang Biksu bercerita kepada Human Rights Watch bahwa:
“Pagi ini kami menyebarkan pamflet (di Sittwe), berisi pengumuman yang meminta orang-orang Arakan untuk tidak menjual apapun pada umat Islam atau membeli apapun dari mereka. Poin kedua, orang-orang Arakan tidak boleh berteman dengan umat Islam. Alasannya adalah karena umat Islam mencuri tanah kami, meminum air kami, membunuh rakyat kami. Mereka memakan nasi kami, tinggal di dekat rumah kami. Jadi, kami ingin memisahkan mereka. Kami tidak ingin berhubungan dengan umat Islam sama sekali.”
Aksi ini juga diikuti oleh organisasi lain di Arakan. Pada tanggal 5 Juli 2012, para biksu di kota Rathedaung, 30 km di sebelah utara Sittwe, menyelenggarakan rapat yang menyerukan kepada orang-orang Arakan di Rathedaung untuk tidak memberikan pekerjaan kepada etnis Rohingya, termasuk buruh harian, tukang kayu, tukang batu, dan buruh tani.
Rapat tersebut juga menghasilkan rekomendasi bahwa etnis Rohingya tidak boleh dipekerjakan di pemerintahan atau oleh LSM yang beroperasi di kota tersebut, dan seluruh LSM yang memberikan bantuan kepada Rohingya di kota tersebut harus diusir.
“Pernyataan Rathedaung” yang ditandatangani dan dirilis setelah rapat, mendukung seruan untuk melakukan pembersihan etnis. Pernyataan ini menyerukan dibentuknya sebuah aturan untuk mengendalikan angka kelahiran komunitas Muslim Bengali (istilah mereka untuk muslim Rohingya) yang tinggal di Arakan. Ia menyarankan relokasi paksa dengan meminta pemerintah untuk “menghapus desa-desa Bengali yang terletak di dekat Universitas Sittwe dan di samping jalur komunikasi di sepanjang Arakan.” Dan ia juga menegaskan penentangan atas segala rencana reintegasi yang akan meletakkan umat Islam dan Budha hidup berdampingan.”
Bahkan, keputusan rapat tersebut juga menyerukan adanya milisi rakyat di desa seluruh etnis dan meminta kepada pemerintah untuk mensupply senjata kepada milisi rakyat tersebut. “Pernyataan Rathedaung” dikirimkan kepada Presiden Thein Sein, para pimpinan parlemen, dan komisi presidensial yang ditugaskan untuk melakukan investigasi di Arakan.
Anggota Sangha Arakan dan RNDP juga menyerukan perubahan demografi di Arakan dan Myanmar keseluruhan, dengan mengeluarkan seluruh etnis Rohingya dari negara tersebut. Thein Tun Aye, perwakilan dari RNDP berkata kepada BBC bahwa seluruh Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh dan harus dideportasi. “Ayah dan nenek moyang mereka adalah imigran ilegal, maka kami tidak bisa menerima mereka,” katanya.
Biksu Ashin Sandarthiri juga membuat pernyataan serupa kepada BBC. Menurutnya, Rohingya tidak punya hak untuk tinggal di Myanmar. “Di dunia ini banyak negara Muslim. Mereka sebaiknya pergi ke sana. Negara Muslim akan merawat mereka. Mereka sebaiknya pergi ke negara yang mempunyai agama yang sama.”
Bahkan, RNDP juga mengancam orang-orang Arakan yang ditemukan berhubungan atau memberikan pertolongan kepada orang-orang Rohingya dalam bentuk apapun. Dua buah foto yang tersebar di internet menunjukkan beberapa orang Arakan yang memberikan makanan kepada orang Rohingya. Orang Arakan tersebut dibelenggu dan dalam foto yang lain, sebuah tulisan di kalungkan di leher mereka bertuliskan “Aku adalah pengkhianat dan Budak Kalar.
Dalam foto lainnya, seorang laki-laki yang dibelenggu memakai pakaian wanita di kepalanya, yang merupakan simbol penghinaan bagi laki-laki Arakan. Sebelum foto tersebut muncul, orang-orang Arakan yang bersimpati atas penderitaan etnis Rohingya mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa sangat berbahaya bagi mereka untuk pergi ke dekat kamp pengungsian Rohingya, apalagi memberikan bantuan. Mereka takut disiksa oleh komunitas mereka sendiri dan dianggap sebagai “pengkhianat.”
Sumber: Kiblat