Dengan Dalih Myanmar Diserang ‘Teroris’, Suu Kyi tak Hadiri Rapat Majelis Umum PBB
Aung San Suu Kyi saat berpidato di Majelis Umum PBB tahun lalu. (Dok: PBB)
10Berita~Di tengah kecaman publik internasional terkait pembantaian Muslim Rohingya, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi urung menghadiri dan berpidato di rapat Majelis Umum PBB pada 20 September nanti. Juru bicara kepresidenan Myanmar Zaw Htay berdalih, pembatalan ini terkait situasi keamanan di dalam negeri Myanmar yang belum terkendali. Aung San Suu Kyi berpidato pada Majelis Umum PBB tahun lalu. (Foto: Dokumen PBB)
“Alasan pertama adalah karena serangan ‘teroris’ di Rakhine. Dewan penasihat (Suu Kyi) saat ini sedang fokus menenangkan situasi di negara bagian Rakhine. Alasan kedua adalah karena ada orang-orang yang berupaya memicu kerusuhan di sejumlah tempat. Kami berupaya mengatasi situasi keamanan di tempat lainnya. Alasan ketiga adalah karena kami menerima info akan adanya serangan ‘teroris’, dan kami harus mengatasi permasalahan ini,” papar Htay, pada Rabu (13/9/2017).
Seperti dilansir kantor berita Associated Press, melalui pernyataan ini, pemerintah Myanmar seakan berupaya untuk mempengaruhi opini publik bahwa permasalahan “terorisme” merupakan situasi keamanan teramat genting yang tengah dihadapi negara itu.
Dalam pernyataan-pernyataan sebelumnya juga disebutkan bahwa pembakaran rumah penduduk Rohingya dilakukan oleh kelompok pejuang Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Jurnalis yang berada di lokasi dekat kejadian meragukan klaim-klaim pemerintah tersebut.
Sejumlah kelompok pembela HAM dan kesaksian langsung para pengungsi justru menyatakan bahwa pelaku pembakaran permukiman Muslim Rohingya di sejumlah wilayah di Rakhine adalah pasukan pemerintah dan penduduk Rakhine penganut Budha.
Suu Kyi, peraih Penghargaan Nobel Perdamaian mendapat kritik pedas dan kecaman keras atas dugaan kuat pembantaian yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Tragedi kemanusiaan ini memaksa lebih dari 370.000 kaum minoritas di Myanmar tersebut melarikan diri ke beberapa negara tetangga.
Ketidakhadiran Suu Kyi pada sidang Majelis Umum PBB tahun ini memantik spekulasi bahwa perempuan yang menjabat sebagai dewan penasihat sekaligus menteri luar negeri Myanmar itu belum siap menghadapi tekanan publik internasional yang kali ini begitu kuat.
Menanggapi pembantaian Muslim Rohingya, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menjuluki Suu Kyi sebagai “perempuan brutal”—berbanding terbalik dengan gelar Nobel yang ia raih. Sementara itu, Kepala bidang HAM PBB Zeid Ra’ad al-Hussein menyebutkan bahwa Muslim Rohingya merupakan korban dari apa yang ia sebut sebagai “contoh baku dari pembersihan etnis”.
Pada kehadirannya di Majelis Umum PBB September tahun lalu, Suu Kyi justru bersikukuh membela upaya yang dilakukan oleh pemerintahannya terhadap Muslim Rohingya. Dengan meningkatnya eskalasi situasi mencekam yang dialami Muslim Rohingya, dan belum adanya tanda-tanda akan berakhirnya pembantaian massal yang dilakukan pasukan Myanmar, banyak pihak meminta Komite Nobel Perdamaian di Norwegia agar mencabut gelar yang pernah disematkan ke Aung San Suu Kyi itu. (al-Fath/
Sumber: Associated Press, Aljazeera, Salam Online.