Diplomasi Kultural Ala Palestina
10Berita, JAKARTA -- Majdi Shomali dalam "Land, Heritage and Identity of the Palestinian People", Palestine-Israel Journal of Politics Economics and Culture, menjelaskan, cerita, peribahasa, tarian, dongeng, dan legenda secara turun-temurun telah memainkan peran dalam menjaga ingatan generasi muda terhadap identitas Palestina.
Lagu-lagu dan cerita rakyat tidak hanya diturunkan oleh hakawati (tukang cerita), tapi juga ibu, kakek, dan nenek. Benar bahwa tanah mereka telah hilang, tapi kenangan akan tanah itu masih tetap hidup melalui cerita-cerita yang diwariskan kepada anak cucu.
Musik telah lama menjadi bagian identitas nasional Palestina serta ekspresi resistensi terhadap pendudukan Israel. Musik Palestina terkenal di seluruh dunia Arab. Setelah 1948, gelombang musikus baru muncul dengan tema-tema khas Palestina yang mengisahkan mimpi kemerdekaan dan sentimen nasionalisme.
Lagu-lagu ini mengungkapkan perasaan kesedihan, martabat, dan harapan untuk merebut kembali tanah mereka. Sebagian terinspirasi dari puisi dan sekejap berubah menjadi nyanyian perlawanan, seperti puisi-puisi Mahmoud Darwis dan Ahmad Dahbour:
He came back in a shroud saying:/if this olive tree were to remember its planter,/the olive oil would turn to tears./The streets of the refugee camp are overcrowded with images./Our martyr's voice has moved the stones to speech:/don't clad yourself in black, oh mother of the freedom fighter;/do not accept condolences.
Kekuatan budaya, khususnya musik, sebagai alat perlawanan itu telah banyak dikaji. David Mc Dinald dalam Jerussalem Quarterly 25:3-4, 2006, misalnya, meneliti produksi budaya Palestina pasca-1967. Dia menyimpulkan, gelombang Intifada I dan Periode Oslo mendorong musikus dari seluruh Palestina untuk menyatukan solidaritas dan menyuarakan harapan perdamaian.
Muncul kelompok-kelompok seni atau NGO yang melakukan perlawanan lewat jalur budaya. "Produksi dan resistensi budaya merupakan komponen penting dalam perjuangan hak-hak politik Palestina," tegas Rochelle Davis, antropolog asal Georgetown University, Washington, dalam editorial bertajuk "Palestinian Cultural Expression through Political Turmoil" di edisi tersebut.
Sumber: Republika