OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 16 September 2017

Gerakan Perlawanan Bangsa Rohingya: Sejarah dan Evaluasi

Gerakan Perlawanan Bangsa Rohingya: Sejarah dan Evaluasi

10Berita– Perawakannya tinggi besar. Urat-urat tangannya terlihat kokoh. Di atas kerimbunan janggutnya terpatri sebuah senyuman manis tatkala ia menyambut kedatangan Kiblat.net. Sajian makanan khas seperti samboza dan kue-kue India tersaji di atas piring berkelir merah menyala. Pria kelahiran Arakan (Rakhine State) ini meminta dipanggil dengan nama Yasir. Ia mau berbicara kepada Kiblat.net di sebuah tempat yang dirahasiakan. Itupun tanpa ada rekaman gambar atau suara. Kami hanya mengandalkan catatan. “Supaya kita lebih nyaman saja,” kata dia, belum lama ini.

Organisasi internasional, Persatuan Bangsa Bangsa pernah menjuluki Yasir dan kaum sebangsanya di Arakan sebagai “etnis paling teraniaya di muka bumi”. Sejarah kekerasan terhadap Muslim di Myanmar terjadi sejak waktu yang terlampau panjang. Namun, nasib baik berpihak pada Yasir. Ia telah mengungsi sejak belasan tahun silam dari Tanah Arakan dan mencoba bertahan hidup di negeri orang. Kendati demikian, ia tetap menaruh perhatian besar dan berkhidmat untuk orang-orang dari tanah tumpah darahnya.

Panjang lebar kemudian Yasir memulai cerita tentang Rohingya. Kisah ini bermula pada 900 M atau sekitar tahun 270 Hijriyah, ketika Islam masuk ke wilayah Arakan melalui pedagang Arab yang masuk ke Pulau Ramree, di pesisir Arakan. Di era Perang Dunia Kedua, pulau ini pernah masuk dalam catatan sejarah. Pasukan Kekaisaran Jepang yang telah merebut pulau itu digempur oleh sekutu melalui Batalion Indian Corps 15. Serangan itu dikenal juga dengan Operasi Matador atau Pertempuran Pulau Ramree.

Pada tahun 976 M berdirilah Kerajaan Arakan yang menaungi kaum Muslimin di wilayah tersebut. Namun, pada tahun 1404, kerajaan itu digempur habis-habisan oleh Dinasti Konbaung yang berasal dari etnis Burma. Kemudian Arakan dianeksasi oleh kolonial Inggris yang menguasai kawasan Hindustan (India, Pakistan Bangladesh, Myanmar, Nepal), hingga akhirnya pada akhir tahun 1948 diberikan oleh Inggris kepada pemerintah Burma, yang kini berganti nama menjadi Myanmar. Sebelumnya, pada 1947 M Inggris menggelar konferensi untuk mempersiapkan kemerdekaan dan mengajak seluruh kelompok dan ras di negeri tersebut kecuali Muslim Rohingya.

Peta wilayah Kerajaan Arakan, tanah kelahiran orang-orang Rohingya.

Pada konferensi itu, Inggris menetapkan menjanjikan kemerdekaan kepada tiap kelompok atau suku dalam jangka waktu sepuluh tahun kemudian. Namun pemerintahan Myanmar tak menepati janjinya. Yang terjadi adalah penindasan terhadap kaum Muslimin yang terus berlanjut. Lalu disahkan Union Citizen Act, undang-undang kewarganegaraan. Kartu identitas khusus (kartu putih) bagi Rohingya diterbitkan.

Di bawah pemerintahan Myanmar, nasib etnis Rohingya yang sudah bermukim lama di Arakan bukannya membaik. Pada 1962, terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Presiden Ne Win. Ia melanjutkan tugas pembantaian terhadap umat Islam di Arakan, membuat 300 ribu Muslim Myanmar terusir hingga ke Bangladesh. Di tahun 1982 M, Undang-undang Kewarganegaraan diterbitkan lagi. Di masa inilah  terjadi operasi penghapusan kewarganegaraan terhadap Muslim karena dinilai bukan warga asli Burma. (Baca juga: Wawancara Eksklusif – Meluruskan Sejarah dan Fakta Seputar Rohingya (Heri Aryanto, S.H., M.H.))

Enam tahun kemudian pada tahun 1988, lebih dari 150 ribu kaum Muslimin terpaksa mengungsi ke luar negeri. Pemerintah Myanmar menghalangi anak-anak kaum Muslimin mendapatkan pendidikan. Untuk mengurangi populasi, kaum Muslim dilarang menikah sebelum berusia tiga puluh tahun.

Mengapa Tak Berhijrah?

Atas semua penderitaan itu, Kiblat.net bertanya kepada Yasir. “Daripada harus terus menderita, mengapa kalian tidak hijrah saja dari Arakan?”

“Kalau Orang Rohingya hijrah, Islam akan hancur dari Arakan,” tukasnya.

Yasir kemudian menjelaskan bahwa ada sejumlah bukti yang menguatkan argumen tersebut. Pertama, secara geopolitik, wilayah Myanmar merupakan jembatan penghubung antara wilayah Timur Tengah dan Asia Selatan menuju Asia Tenggara. Jika Muslim Rohingya yang berada di kawasan strategis itu hilang, maka keberadaan Muslim di Asia Tenggara bias terputus secara teritorial, historis maupun politis. Jika Muslim Rohingya jatuh, maka Myanmar-Thailand dan Kamboja bisa menjadi Negara Buddha.

Kedua, Muslim Rohingya di Arakan merupakan kaum yang berpegang erat pada nilai-nilai agama. Yasir menyebut bahwa tidak ada satupun etnis Rohingya di Arakan yang murtad. Di seluruh wilayah Myanmar, Muslim Rohingya yang sangat terdepan dan menguasai bidang keislaman. Profesi yang berkaitan dengan agama seperti ulama, juru dakwah dan guru madrasah di Myanmar didominasi oleh kaum Rohingya. Perlu diketahui bahwa struktur Muslim Myanmar terdiri dari sejumlah etnis. Selain Rohingya ada pula Muslim Burma, Muslim Paathee (Cina), Muslim Pashu (Melayu), Muslim Indian dan Muslim Parsi.

Ketiga, Yasir menambahkan bahwa berhijrah di zaman saat ini juga tak semudah di masa lampau seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat. Di era modern, ketika manusia menganut sistem Negara-Bangsa, perpindahan orang atau barang tak semudah zaman dahulu. Ada aturan tentang kewarganegaraan, ada kewajiban memiliki paspor, dan sederet peraturan yang menyulitkan. Lagipula, bagi Rohingya yang tak punya status kewarganegaraan, hidup di tempat asing dan di negara sendiri hamper tak ada bedanya. Mereka terkatung-katung di lautan, di tempat pengungsian atau dari satu tempat detensi ke detensi lainnya. (Baca juga: Melongok Perut Kapal Bobrok Pengungsi Rohingya Senilai 2 Milyar)

Pernyataan “mengapa Rohingya tidak berhijrah saja” sebenarnya mengamini tuduhan pemerintah Myanmar. Myanmar tak pernah mengakui hak dan keberadaan etnis Rohingya. Mereka menuding orang-orang Rohingya adalah pendatang gelap dari Bangladesh. Atas tuduhan ini, Abdullah, juru bicara pejuang Rohingya dari kelompok ARSA punya jawaban menarik. Dalam wawancara ekslusifnya untuk atimes.com, Abdullah menertawakan klaim tak berdasar junta militer Myanmar.

“Saat ini ada kehadiran pasukan keamanan yang sangat banyak termasuk polisi dan militer di sepanjang perbatasan, jadi bagaimana cara orang-orang Rohingya berhasil menyeberang dari Bangladesh ke Myanmar? Di sisi lain, mengapa ada orang yang mau bermigrasi ke sebuah penjara terbuka? Kehidupan di banyak daerah di Arakan (Rakhine) seperti di era Zaman Besi. Di mayoritas tempat, belum ada listrik dari pemerintah. Mengapa ada orang yang mempertaruhkan nyawanya mencoba menyelinap ke tempat seperti itu?”

Sumber: Kiblat.