Jadikan Tahun Baru Islam Momentum Persatuan, Jika Tak Ingin Dijadikan “Hidangan”
10Berita– Masjid Al-Aqsha belum bebas. Muslimin Suriah masih dikejar-kejar tentara Bashar Al-Assad dan pendukung Syiah. Penduduk Yaman dan Afghanistan pun demikian mengalami nasib yang tak kalah memprihatinkan. Begitupun kondisi Muslim etnis Rohingya yang sekarang ini mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan.
Bahkan di Indonesia pun benih-benih penghancuran Islam dan kaum Muslimin sudah mulai tampak.
Peristiwa kriminalisasi ulama, memenjarakan ulama dan pembiaran kepada penista agama serta agenda kebangkitan komunis tengah disiapkan adalah kenyataan tak terbantahkan, betapa umat Islam diujung tanduk.
Pertanyaannya, kapan semua ini berakhir?
Jawabnya, Muharram, tahun Baru Islam adalah momentum persatuan umat Islam benar-benar bisa dimulai. Kalau bukan dari sekarang, kapan lagi?
Sejatinya, memulai dan berani bermimpi mewujudkan persatuan kaum Muslimin hendaknya terpatri dalam diri setiap orang Mukmin.
Bahwa persatuan umat Islam harus benar-benar dikonsep dengan baik, jika tidak, maka selamanya umat Islam akan mengalami sejarah kelam, terus di desain untuk dihancurkan oleh musuh Islam.
Di depan mata, beberapa jam lagi kita akan memasuki tahun baru Hijriah, tahun baru Islam. Sebuah momentum yang sangat pas memulai persatuan itu.
Tahun yang menandai akan perpindahan suatu peradaban. Dari peradaban jahiliyah menuju cahaya Ilahi.
Sebuah era yang menjadi penanda permulaan kejayaan umat Islam dalam menerangi alam raya ini.
Tapi tampaknya, sampai sekarang cahaya itu semakin jauh dan meredup, semakin gelap, bahkan sebaliknya umat Islam semakin termarjinalkan.
Islam dan kaum Muslimin terpinggirkan dalam semua aspek kehidupan. Di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan seluruh sendi kehidupan nyaris tanpa ada celah keluar dari zona keterpurukan yang memang telah didesain musuh-musuh Islam menghabisi Islam dan kaum Muslimin.
Bahkan tak hanya termarjinalkan dan tertindas. Umat Islam dihempaskan ke ranah yang hina dan dinistakan, dibuat tak berharga.
Kaum Muslimin dikejar-kejar, dipenjara, dibantai, dikuliti seperti binatang, upaya genosida secara sistematis yang dilancarkan kaum kafir bekerja sama dengan kaum munafiq tengah dirasakan umat Islam dewasa ini.
Namun, perlu kita sadari khususnya umat Islam di Indonesia, bahwa jumlah yang besar dan banyak tampaknya tidak berdampak signifikan dengan kemajuan Islam. Bukan jumlah itu tidak penting, namun perlu kita renungkan bersama, bahwa menang jumlah saja tidak cukup.
Waspadai Wahn
Tentunya kita bertanya, apa yang salah? Mari kita renungkan Hadits Rasulullah yang berbicara tentang ini.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda yang diriwayatkan Abu Daud, “Akan datang suatu masa, nanti umat lain akan memperebutkan kalian, ibarat orang-orang yang lapar memperebutkan makanan dalam hidangan.”
Sahabat bertanya, “Apakah pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bukan, bahwa sesungguhnya jumlah kalian saat itu sangat banyak, tetapi kualitas kalian ibarat buih yang terapung-apung di atas air bah dan Allah akan mencabut wibawa kalian atas musuhmu serta jiwa kalian akan tertanam wahn, sahabat bertanya, “Apakah yang dimaksud wahn itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “yaitu cinta dunia dan takut mati”.
Hadits di atas memberi sinyal kepada kita, di kala dunia sudah menjadi tujuan hidup umat Islam, di kala dunia sudah menjadi pelabuhan terakhir hidupnya, dan di kala dunia lebih asyik dan indah di pandangan matanya mengalahkan indahnya taman-taman surga, indahnya istana yang memanjakan hidup di dalamnya, maka wajarlah umat ini dicabik-cabik, di koyak-koyak, dibuat tak berbentuk tak berdaya, ibarat bola ditendang ke sana ke mari sesuka hati penendangnya.
Persatuan ini semakin jauh panggang dari api, jika selain gila dunia, juga diperparah dengan berbagai faktor lainnya, seperti perkataan ulama Muhammad Abduh, “Islam itu tertutupi oleh umat Islam sendiri.”
Maksudnya entah karena perangai atau mindset berpikir kita yang menjadikan Islam tak kunjung bersinar.
Pendapat para ulama lainnya pun mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadikan umat Islam tidak bisa move ondari berbagai keterpurukan.
Di antaranya, rendahnya kualitas pendidikan di negara-negara Muslim sehingga berdampak pada rendahnya sumber daya manusianya, fanatisme golongan atau ormas belum sembuh bahkan dijadikan tunggangan oleh musuh Islam menghancurkan dari dalam, penyakit perseteruan antar mazhab yang tak sembuh, kurangnya kepedulian pada kondisi umat Islam di negara lain, sementara kader-kader Islam semakin suram bahkan pemuda-pemudi Islam justru berkiblat ke budaya musuh Islam.
Budaya hedonis, materialis, dan berbagai budaya lainnya tengah menghiasi generasi umat dan bangsa ini.
Jangan Putus Asa
Meski demikian banyaknya problem sedang melilit Islam dan kaum Muslimin, bukan berarti kita jadi pesimis dan putus asa.
Tidak ada kata putus asa dalam Islam. Malah sebaliknya, semangat kebangkitan justru perlu kita hidupkan kembali. Bukankah kondisi seperti ini pernah dialami oleh para Nabi kekasih Allah?!
Sebut saja di antaranya, peristiwa terjepitnya Nabi Musa dan kaumnya di Laut Merah, seolah tidak ada jalan keluar lagi, sehingga Allah memunculkan pertolongan-Nya melalui tongkat Nabi Musa sendiri yang bisa memberi solusi dengan membelah lautan. Tentunya nalar kita tidak akan pernah sampai ke sana, bagaimana bisa lautan bisa jadi jalanan.
Begitu pula peristiwa terselamatkannya Nabi IbrahimAlaihissalam di tengah lautan api yang membara, nalar kita pun tak sanggup menjangkaunya, bagaimana mungkin api b isa dingin dan penyelamat bagi diri Nabi Ibrahim ketika itu.
Sekali lagi, semangat serta harapan kebangkitan dan kejayaan Islam bisa diwujudkan, tentunya dengan melalui persatuan kaum Muslimin.
Dan persatuan itu bisa diwujudkan melalui semangat Hijrah, semangat memaknai Muharram 1439 H.* Syamsul Alam, pegiat komunitas PENA Jawa Timur
Sumber : Hidayatullah