Janji Allah untuk Kaum Terusir, Hijrah, dan yang Dihinakan
The Boston Globe
Etnis Muslim Rohingya yang terusir dan dihinakan. Semoga Allah segera datangkan bantuanNya
ADA banyak kalimat dalam Kalam Allah, untuk menyebut sebuah peristiwa pergerakan atau kerumunan massa yang bertolak dari satu tempat menuju tempat lain. Allah Subhanahu Wata’ala membedakan satu sama lain, walaupun sama-sama artinya berpindah. Namun, esensi pergerakan kepindahan mereka tentu berbeda.
Di antara untaian kalimat itu adalah:
Pertama, Bukankah bumi Allah itu luas?
إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّٮٰهُمُ ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةُ ظَالِمِىٓ أَنفُسِہِمۡ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمۡۖ قَالُواْ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِى ٱلۡأَرۡضِۚ قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٲسِعَةً۬ فَتُہَاجِرُواْ فِيہَاۚ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ مَأۡوَٮٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا (٩٧)
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri [3], [kepada mereka] malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri [Mekah]”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?“. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS: an Nisa’ [4]: 97)
Kalimat ini termaktub dalam QS. An-Nisaa/4 : 97 yang mengisyaratkan perintah hijrah ketika kaum Muslimin waktu itu mendapatkan tekanan, intimidasi dan kezhaliman.
Syeikh Munier Ghadhaban dalam Al-Manhaj al-Haraky, Syaikh Sa’ied Ramadhan al-Buthy dalam As-Sirah an-Nabawiyyah atau Al-Mubarakfury dalam Ar-Rahiqul Makhtuum dan pakar-pakar sejarah [sirah] lainnya memaparkan bahwa berhijrahnya kaum Muslimin, di samping perintah Allah Subhanahu Wata’ala, menghindari kemadharatan atau kezhaliman, juga memupuk jiwa optimisme untuk membangun kekuatan dakwah di ranah yang berbeda.
Hal in diurai oleh Ibnul ‘Arabi dalam Ahkaamul Qur’aan bahwa hijrah mengandung banyak makna; Bertolak dari negeri syirik menuju negeri tauhid, dari negeri kufur menuju negeri iman, dari negeri kecamuk perang menuju negeri aman nan damai, dari negeri berwabah penyakit menuju negeri yang sehat nan nyaman.
Demikian pula disebutkan oleh para ulama pensyarah hadits seperti itu, sebagaimana halnya Syeikh Musthafa al-Bugha dkk dalam Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Shalihin.
Sangatlah wajar, apabila seorang sejarawan orientalis Philip K. Hitty [terlepas plus minusnya] menuturkan: “Peristiwa hijrahnya kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah, merupakan peristiwa revolusi terbesar sepanjang sejarah”.
Kedua, Orang-orang yang diusir tanpa alasan.
“Orang-orang yang dipaksa keluar [terusir] dari rumah-rumah [kampung halaman] mereka …”
ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَـٰرِهِم بِغَيۡرِ حَقٍّ إِلَّآ أَن يَقُولُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُۗ وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعۡضَہُم بِبَعۡضٍ۬ لَّهُدِّمَتۡ صَوَٲمِعُ وَبِيَعٌ۬ وَصَلَوَٲتٌ۬ وَمَسَـٰجِدُ يُذۡڪَرُ فِيہَا ٱسۡمُ ٱللَّهِ ڪَثِيرً۬اۗ وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۥۤۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ (٤٠)
“[yaitu] orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak [keganasan] sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong [agama] -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS: al Hajj [22]: 40)
Kalimat ini termaktub dalam QS. Al-Hajj/22 : 40, yang beriringan sebelumnya mengenai ayat diidzinkannya perang kepada kaum Muslimin.
Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’aanil ‘Adzim, ini terkait dengan ayat sebelumnya yang mengisyaratkan diidzinkannya perang disebabkan dizhaliminya kaum Muslimin. Menukil Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh, “ini ayat pertama kali turun tentang perintah berperang kepada Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam”.
Kembali kepada kata ukhrijuu, ini menunjukkan makna bahwa mereka benar-benar dipaksa keluar, terusir dari kampug halamannya sendiri tanpa perencanaan dan keinginan.
Ketiga, Dhuribat ‘alaihimud dzillatu ainamaa tsuqifuu …
“Telah ditimpakan kehinaan kepada mereka [orang-orang Yahudi] di mana saja mereka berada …”
ضُرِبَتۡ عَلَيۡہِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيۡنَ مَا ثُقِفُوٓاْ إِلَّا بِحَبۡلٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبۡلٍ۬ مِّنَ ٱلنَّاسِ وَبَآءُو بِغَضَبٍ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡہِمُ ٱلۡمَسۡكَنَةُۚ ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بِـَٔايَـٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلۡأَنۢبِيَآءَ بِغَيۡرِ حَقٍّ۬ۚ ذَٲلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ (١١٢)
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali [agama] Allah dan tali [perjanjian] dengan manusia [1], dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu [2] karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu [3] disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”
Ayat ini termaktub dalam Surat Ali Imran (3): 112, disebutkan dalam ayat ini alasan-alasan mengapa orang-orang Yahudi dihinakan di muka bumi? Jawabannya adalah; dikarenakan mereka kufur terhadap ayat-ayat Allah, membunuh para Nabinya sendiri, melanggar aturan [pedoman kitab suci dan bimbingan nabi-Nya], juga mereka senang melampaui batas dari batas-batas yang ditentukan Allah jalla jalaaluh. Dengan perilaku-perilakunya inilah, mereka pun “terusir” dan dihinakan Allah di muka bumi, di mana pun mereka berada.
Sejarah kini berulang, peristiwa-peristiwa itu, mengingatkan dan menggiring kita untuk lebih tajam menafsirkan peristiwa demi peristiwa, sekaligus mengambil pelajaran yang berharga tentunya. Hikmah dan ‘ibrah yang bisa dipetik, minimalnya menjadi berita masa lalu orang-orang terdahulu [nabaun man kaana qablakum, informatif] atau kabar peristiwa yang mungkin terjadi di masa mendatang [khabarun maa ba’dakum].
Peristiwa pertama berupa hijrah, telah dibentangkan contohnya dalam Al-Qur’an melalui berita hijrahnya Nabiyullah Musa ‘alaihis salaam yang membawa komunitas Bani Israil untuk menghindari kemadharatan yang lebih besar, yaitu kebengisan rezim Fir’aun bersama junta militer dan para kabinetnya. Hal ini terjadi pula pada para Nabi yang lainnya, tak terkecuali Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasallam.
Peristiwa kedua berupa pengusiran, contohnya Rasulullaah sendiri dan para shahabatnya ketika berada di Thaif.
Perlakuan anarkis dan tidak manusiawi dari penduduk setempat membuat sang baginda cidera; patah gigi taringnya dan terluka pelipisnya, walaupun para shahabat setia menjaganya dari keberingasan amukkan massa.
Demikian pula, apa yang terjadi di hadapan kita hari ini, berupa drama etnic cleansing saudara-saudara Muslim Rohingya, provinsi Rakhine di Myanmar yang tengah mengalami pembantaian massal, perlakuan diskriminatif dan pengusiran besar-besaran sejak 75 tahun yang silam [tahun 1940-an].
Peristiwa ketiga berupa ditimpakannya kehinaan dan kutukkan, di mana Allah ‘azza wa jalla sendiri yang melakukannya atas arogansi kaum terkutuk Yahudi yang kerap kali mempermainkan ayat-ayatNya. Kehinaan yang ditimpakannya, menyebabkan mereka hidup terlunta-lunta di muka bumi tanpa negara yang jelas, dan akhirnya mereka pun harus menelan ludahnya sendiri.
Ketika zaman Nabiyullah Musa, Allah perintahkan Bani Israil untuk menempati tanah Kan’an [Palestina tempo dulu], mereka menolaknya dengan keras. Namun ketika kini, Palestina berada dalam kekuasaan kaum Muslimin, mereka datang kembali untuk menjajah dan merampok apa yang mereka inginkan.
Apabila ditelisik, ketiganya jelas nampak berbeda dalam prosesnya; hijrah [terlepas ketidak maksimalannya] masih memiliki kesiapan dan perencanaan, sedangkan keterusiran nyaris tanpa strategi hatta. yang paling minimal sekalipun. Adapun kehinaan yang ditimpakan, lebih pada skenario Allah [miqdaarullaah] dalam menurunkan kutukkan adzabNya bagi kaum pembangkang [mu’ridhuun].
Apa yang sudah berlalu, akan menjadi penjelas fakta yang nyata [bayan], petunjuk yang lurus [hudan] dan nasihat yang bijak [mauizah] bagi ummat yang bertaqwa. Dan apa yang akan terjadi kemudian, hendaknya menjadi perhatian seksama dengan penuh kewaspadaan dan kesigapan. Wallaahul musta’aan.*/H.T. Romly Qomaruddien, Ketua Bidang Ghazwul Fikri dan Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar