OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 29 September 2017

Keutamaan Diam

Keutamaan Diam

10Berita, JAKARTA -- Kitab Hasan as-Samat fi as-Shamat ditulis oleh Imam as- Suyuthi, seorang ulama terkemuka yang hidup pada abad kedelapan Hijriyah.

Meski meringkas satu bab saja dari kitab aslinya, Suyuthi yang bernama lengkap Abdur Rahman bin al-Kamal Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq Ad Din al-Khudhari as-Suyuthi memilih satu bab yang tepat dan merupakan inti bahasan kitab asli, yaitu pentingnya menjaga lisan.

Ringkasan itu ditempuh dengan membuang sanad yang ditulis lengkap di kitab aslinya. Suyuthi cukup menyebutkan perawi hadis teratas dan imam hadisnya. Total teksnya berjumlah 114 buah. Jumlah tersebut lebih ramping ketimbang total teks aslinya, yaitu 759 buah. Dari jumlah teks yang ia nukil itu, ¾ berasal dari kitab asli sedangkan sisanya merupakan tambahan yang diinisiasi oleh tokoh kelahiran Kairo, 1 Rajab 849 H, tersebut.

Keutamaan diam yang pertama kali disebutkan dalam ringkasan Suyuthi adalah diam merupakan kunci keselamatan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Turmudzi, Baihaqi, dan Darimi, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang memilih (diam) akan selamat."

Hadis ini dikuatkan dengan riwayat lain dari Anas bin Malik. Rasulullah menegaskan, barang siapa yang ingin selamat dunia akhirat maka hendaknya ia tidak mengumbar kata-kata dari lisannya. Menjaga lisan dengan tidak banyak bicara adalah aktivitas yang paling ringan. Tetapi, memiliki perhitungan yang cukup besar di sisi-Nya.

Rasulullah pernah memberikan wasiat kepada Abu Dzar. Dalam wasiat itu, Rasulullah menegaskan, "Aku berwasiat untukmu agar berakhlak baik dan tidak banyak bicara. Keduanya adalah amalan yang paling ringan untuk dilakukan oleh tubuh. Tetapi, dua hal itu nilai pahalanya akan memberatkan timbangan perbuatan kelak di akhirat."

Karena itulah, menjaga lisan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia. Penegasannya terdapat di hadis Abu Hurairah. Diam juga menjadi identitas yang membedakan kualitas dan kepribadian seseorang. Sebuah riwayat dari Abu Abdullah bin Muhriz bin Zahir al-Aslami menegaskan, diam adalah perhiasan bagi mereka yang berilmu dan kamuflase bagi orang yang bodoh. Karena itulah, diam adalah pamungkas akhlak, demikian ditegaskan Rasulullah sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik.       

Diam, seperti yang dikemukan di berbagai riwayat di atas, merupakan etika yang sangat dianjurkan. Lantas, apakah ini berarti seseorang dilarang berbicara? Tentu saja tidak. Berbicaralah, tetapi membicarakan kebaikan. Dan, berdiamlah bila menyangkut keburukan atau topik-topik yang tak patut dibicarakan.

Suatu saat, seperti diriwayatkan Ubadah bin Shamit, Rasulullah SAW bepergian bersama Mu'adz bin Jabal. Dalam perjalanan itu, sahabat yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam hukum itu bertanya kepada Rasulullah, "Amalan apakah yang paling utama?" Rasulullah menjawabnya dengan memberikan isyarat menujuk ke bibirnya, "Diam, kecuali dari (hal) kebaikan."

Sumber: Republika