OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 16 September 2017

Renungan G30S/1965, Harus Ungkap Strategi Global Cina dan AS atas Indonesia

Renungan G30S/1965, Harus Ungkap Strategi Global Cina dan AS atas Indonesia


10Berita– Kalau mau gelar seminar pelurusan sejarah 1965 baik anti pki maupun pro pki jangan fokus ke pki. Tapi fokus ke strategi global Amerika Serikat dan Cina untuk melumpuhkan basis basis kekuatan nasional Indobesia

Dalam konstalasi demikian, ironisnya sana sama bersepakat mendorong pki melancarkan aksi 30 September 1965. Mengapa?

Sebab kedua adikuasa itu untuk alasan yang berbeda sama sama memandang Sukarno sebagai ancaman.

Amerika dan blok barat memandang sukarno punya kontra skema menghadapi kapitalusme global berbasis korporasi. Apalagi waktu itu,Chairul Saleh yang sewaktu masih menjabat menteri pertambangan dan energi ditugasi Bung Karno untuk membuat RUU Migas yang mengatur agar perusahaan-perusahaan asing di tanah air harus dinasionalisasi.

Caltex dan Stanvac, merupakan perusahaan minyak raksasa AS milik dinasti John D Rockefeller, yang termasuk sasaran dari nasionalisasi kebijakan perminyakan pemerintahan Sukarno.  Sedabgkan Cina mencium gelagat di bawah Bung Karno Indonesia bisa geser Cina sebagai primadona Asia.

Kesaksian Ganis Harsono, mantan Juru Bicara Departemen Luar Negeri dan Wakil Menlu antara 1958-1965, dalam memoarnya bertajuk Cakrawala Politik Era Sukarno, Cina sangat menentang gagasan Bung Karno memelopori Konferensi Negara-Negara berkembang Conefo yang rencananya akan diselenggarakan pada Agustus 1966.

Pastinya Cina beranggapan bahwa jika Conefo 1966 itu berlangsung, maka Indonesia lah yang akan memegang kendali kepemimpinan di kalangan negara-negara berkembang. Apalagi salah satu agenda pokok Coneforo tersebut adalah membentuka Perserikatan Bangsa- Bangsa tandoingan.

Dalam skema seperti itu, Cina dipastikan tidak akan menjadi kekuatan utama atau orbit di kalangan negara-negara berkemabg. Sedangkan AS dan blok Barat pastinya akan menjadi musuh bersama negara-negara berkembang dan negara-negara yang baru merdeka, untuk menghadang dan membendung negara-negara imperialis duunya merupakan negara-negara eks penjajah di baik di kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin, maupun Timur Tengah.

Cina yang sejak 1949 kekuasaan beralih ke Mao Zhe Dong dari tangan Chiang Kai Shek, tentu saja merasa terancam dengan skema Bung Karno yang meskipun berbasis anti kolonialisme dan imperialisme, namun sepenuhnya dalam panduan skema nasionalisme kerakyatan dan bukan atas dasar strategi komunisme.

Sedangkan Cina sejak 1960-an secara tegas telah mencanangkan kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah kunci bagi perjuangan internasional imperialisme, kapitalisme komprador dan feodalisme. Dengan makna lain, Cina dari garis belakang akan mendukung berbagai perjuangan anti imperialisme namun sepanjang tetap dalam skema kepemimpinan Cina sebagai penguasa di kawasan Asia Tenggara.

Menganglkat tema pelurusan sejarah 1965 dengan fokus pada membongkar strategi Global AS dan Cina, maka seluruh elemen bangsa diharapkan akan bersatu padu kembali. Bukannya malah jadi sasaran Proxy War antar kekuatan-kekuatan adikuasa tersebut.[]

Hendrajit, Redaktur Senior Aktual.

Sumber: Eramuslim