OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 10 Oktober 2017

Anggota Komisi Hukum MUI: UU Ujaran Kebencian Diarahkan kepada Umat Islam

Anggota Komisi Hukum MUI: UU Ujaran Kebencian Diarahkan kepada Umat Islam

Anggota Komisi Kumdang MUI Pusat Dr Abdul Chair Ramadhan, SH, MH

10Berita~JAKARTA Aggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan Mejelis Ulama Indonesia (Kumdang-MUI) Dr Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, mengatakan bahwa Undang-Undang Ujaran Kebencian atau Hate Speech meluludiarahkan kepada umat Islam.

UU tersebut, menurut Chair, menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kritik yang mengarah kepada penguasa.

“Lebih banyak diarahkan kepada tokoh-tokoh umat Islam,” kata Abdul Chair kepada Salam-Online, Senin (9/10/2017) malam.

Penegak hukum, dalam hal ini pihak kepolisian, menurutnya, hanya mengurus kasus yang berkaitan dengan pengkritik penguasa, tetapi melakukan hal sebaliknya kepada pendukung kekuasaan, meski dalam hal tindakannya sama atau lebih parah.

Dalam kasus Habib Rizieq Syihab yang ditersangkakan Polda Jawa Barat terkait penodaan Pancasila, misalnya, Chair menilai secara hukum tindakan Imam Besar FPI itu tidak dapat dikenakan hukum lantaran tidak terbukti.

Sementara, kata dia, tindakan anggota DPR Fraksi Nasdem Viktor Laksoidat yang mengucapkan Ujaran Kebencian terhadap umat Islam belum juga diproses hukum dan dijadikan tersangka. Bahkan Ade Armando, yang kembali jadi tersangka penodaan agama dan Ujaran Kebencian, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun sampai sekarang belum juga ditindaklanjuti kasusnya.

Oleh karenanya, menurut Dosen di Fakultas Hukum Universitas As-Syafi’iyah itu, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi institusi penegak hukum. Hal itu, kata Abdul Chair, juga akan berpengaruh kepada msayarakat yang saat ini sudah bisa menilai.

“Bagaimana bisa meningkatkan ketaatan kepada hukum jika penegakan hukumnya tidak prima,” ungkapnya.

Meski demikian, dia juga menilai UU Ujaran Kebencian masih multi tafsir dan belum paten secara definisi sehingga hal itu membuat penguasa bisa dengan mudahnya memaksakan tafsirnya sesuai keinginan.

“Itu sama dengan definisi terorisme, tidak ada (definisi yang paten) sampai sekarang,” terangnya. (MNM/Salam-Online)

Sumber: Salam Online.