OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 21 Oktober 2017

"Saya Keturunan Cina, Saya Pribumi"

"Saya Keturunan Cina, Saya Pribumi"


"Saya Keturunan Cina, Saya Pribumi"

Oleh: Asma Nadia
(Novelis)

Saya teringat ilustrasi dai kondang (Alm) Zainuddin MZ saat membaca hiruk-pikuk media sosial soal pemilihan kata pribumi yang disampaikan gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Sang kyai membahas ayat Alquran yang memulai dengan kalimat, “Ya ayuhallaziina aamanu…” atau "wahai orang-orang beriman". Sebagai muslim, kita membaca Alquran yang sama, tapi kenapa ada yang tersentuh dengan panggilan tersebut namun ada yang tidak peduli?

Kemudian Dai Sejuta Umat itu memberi perumpamaan, dengan gambaran sederhana. Tiga pedagang buah, durian, jeruk dan mangga mendorong gerobak masing-masing beriringan ketika dari arah belakang terdengar teriakan, “Manggaa!”

Tukang mangga langsung berhenti dan mencari sumber suara. Sedangkan pedagang durian dan jeruk  tidak memedulikan, terus berjalan, karena tahu bukan mereka yang dipanggil.

Gambaran ini menunjukkan betapa seseorang pasti mendefinisikan dirinya, dan bersikap secara natural sesuai dengan label atau identitas yang mereka pilih. Pedagang durian sadar ia tidak menjual mangga, hingga teriakan tersebut tidak membuatnya terusik Begitu pun penjual jeruk.

Kembali pada kata pribumi.

Ketika Anies Baswedan mengucapkannya, maka mereka yang merasa dirinya pribumi tahu sedang dibela, sedangkan yang merasa berbeda tentu tidak bisa mencegah perasaan tersisihkan. Pribumi,  sejatinya lebih karena rasa yang hadir setelah seseorang mendefinisikan diri, sebagai bagian penuh dari tanah air tempat dia berpijak. Bukan masalah bahkan bila dia mempunyai nenek moyang keturunan asing atau tidak.

Jika publik mencoba merunut silsilah keluarga sang gubernur sendiri, dengan mudah terlihat bahwa ia memiliki darah Arab. Kakeknya AR Baswedan pendiri Partai Arab Indonesia di tahun 30-an dan secara lugas menyatakan bahwa Tanah Air mereka adalah Indonesia. Di masa yang sama berdiri Partai Cina Indonesia yang membuat pernyataan serupa. Saat itu nama negara Indonesia bahkan belum ada, namun mereka telah merasa dirinya sebagai penduduk negeri ini.

Sebab tidak terjebak pada masa lalu, sang gubernur tanpa beban saja menegaskan kata pribumi, karena merasa dirinya demikian. Begitu pun para pendengar pidato tersebut, termasuk saya, turut merasa terbela oleh pemimpin baru Jakarta. Meski jika ditilik silsilah keluarga kami, ibu merupakan keturunan Tionghoa Medan, dan masih fasih berbahasa Hokkien. Walau demikian, saya, ibu, juga keluarga besar kami, sama sekali tidak tersinggung, sebaliknya merasa terwakili kepentingannya sebagai orang Indonesia.

Sejak saya mampu mengingat, saya telah mencap diri sebagai pribumi. Begitu pun Ibu, juga keluarga besar yang bertukar kunjungan ketika Lebaran, Natal, atau Imlek tiba. Sejujurnya secara pribadi, saya  tidak melihat kesalahan dalam pidato sang gubernur.

Justru yang kemudian membuka mata, ternyata masih terdapat warga negara yang lahir dan besar di Indonesia, beranak pinak di negeri merah putih, tapi belum merasa dirinya pribumi. Pak Anies sekalipun berdarah Arab merasa dirinya penduduk asli, saya meskipun keturunan Tionghoa juga merasa pribumi. Sederhananya bukan silsilah yang membuat seseorang pribumi atau non pribumi melainkan bagaimana dia mendefinisikan diri.

Dalam KBBI, kata pribumi dijelaskan sebagai penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Jika definisi itu digabungkan dengan fakta sejarah eksistensi negara Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945, maka pribumi Indonesia berarti mereka yang sudah berada di Indonesia saat negara ini memerdekakan diri dan merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Bertolak dari sana, maka terlepas silsilah di masa lampau, kita adalah penduduk asli Indonesia, karena jika dirunut jauh dari asal-muasal Adam, tidak satupun dari kita benar-benar berasal dari tanah ini. Pidato sang gubernur justru mempertegas identitas. Bagi yang merasa tersinggung semoga berkenan mengevaluasi diri. Menyatukan lagi hati dan jiwa dengan bangsa ini.

Sambutan beliau menjadi momentum yang menguatkan kesadaran, sesungguhnya kita semua satu, bangsa yang sama, mencintai tumpah darah tercinta, berjuang untuk kemajuan bersama, bukan untuk kepentingan asing.

Saya pribumi, saya Indonesia. Keyakinan kuat yang terus melekat dan tidak hapus termasuk bagi sebagian kita yang sedang belajar atau bekerja ribuan bahkan puluhan ribu kilometer dari Tanah Air.

*Sumber: Republika