Kisah Jong Islamieten Bond dan Sumpah Pemuda
10Berita - Oleh: Hasanul Rizqa,Jurnalis Republika untuk Isu-Isu Islam dan Sosial
Tidak kurang dari seribu orang terdaftar sebagai anggota. Cabang-cabang JIB tersebar di Jakarta, Solo, Madiun, Yogyakarta, dan kemudian Bandung berkat jaringan Haji Agus Salim.
Pendirian organisasi-organisasi kepemudaan pada permulaan abad ke-20 digerakkan oleh kalangan mahasiswa STOVIA, yakni Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), dan Sekar Rukun Jawa Barat (1919). Lainnya adalah Timorsch Verbond (1921), dan Kaum Betawi (1923).
Dengan demikian, tampak bahwa kebanggaan akan masing-masing etnislah yang membentuk perkumpulan-perkumpulan tersebut. Jong Jawa, misalnya, begitu bangga akan kebudayaan adiluhung Jawa. Sementara itu, Jong Sumatranen Bond juga menganggap warisan budaya, terutama bahasa Melayu, sebagai ciri khas mereka.
Dalam periode ini, Belanda melalui politik etis sesungguhnya berupaya mengembangkan kesadaran identitas Hindia Belanda (bukan Indonesia) kepada kaum Pribumi muda terpelajar. Namun, pada faktanya mereka lebih cenderung mengidentifikasi diri ke dalam etnis-etnis asal.
Menurut Husni, rasa enggan mereka untuk membentuk, katakanlah, perhimpunan pelajar Hindia Belanda lebih sebagai penolakan terhadap penyematan identitas yang kebarat-baratan. Sementara itu, lanjut dia, sebelum 1925 kesadaran adanya identitas nasional Indonesia pun belum begitu menguat di tengah-tengah mereka.
Maka masuklah ke periode kedua, yakni sepanjang tahun 1925-1930. Di sini, kebanggan etnisitas perlahan-lahan tergantikan dengan kesadaran ideologis. Artinya, perekat solidaritas tidak mesti kesamaan suku atau daerah asal. Ada benih-benih menuju Indonesia sebagai komunitas terbayang (imagined community). Untuk sampai mewujudkannya, sedikitnya ada dua paham yang beroperasi secara intens, yakni pembaruan Islam dan nasionalisme.
Pemuda Islam
Pada 1925, berdirilah Jong Islamieten Bond (JIB). Sesuai namanya, organisasi ini diisi para pemuda Muslim yang memantapkan Islam sebagai sandaran identitas. Beberapa di antaranya merupakan intelektual yang dididik di sekolah-sekolah Belanda. Beberapa lainnya telah memiliki konsen besar terhadap pendidikan Islam sebagai lawan daripada pendidikan formal ala Belanda.
Dardiri Husni dalam tesisnya untuk McGill University (1998) mengutip pernyataan salah seorang anggota JIB, Mohammad Roem, yang mengenang bagaimana Belanda mengonstruksi citra Islam kepada kaum pelajar. “Di sekolah, para murid diajarkan bahasa dan sastra Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris. Bilamana ada (pelajaran) yang menyinggung Islam, mereka tidak memandang agama ini secara apresiatif atau mendalam. Bahkan, kadang dengan sengaja meremehkan Islam.”
JIB berdiri pada 1 Januari 1925 di Jakarta. Organisasi ini awalnya konsen pada bidang sosial dan budaya sekaligus menghindari tema politik praktis. Anggotanya berasal dari pelbagai perhimpunan pemuda kedaerahan, semisal Jong Sumatranen Bond atau Jong Java, yang bersimpati terhadap perkembangan agama Islam.
Dalam kongres perdananya, tercatat tidak kurang dari seribu orang terdaftar sebagai anggota. Cabang-cabang JIB tersebar di Jakarta, Solo, Madiun, Yogyakarta, dan kemudian Bandung berkat jaringan Haji Agus Salim. JIB menerbitkan majalah al-Nur sebagai media perjuangan dan sirkulasi gagasan.
Beberapa nama besar pernah menjadi pimpinan atau anggota JIB, yakni Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, dan Mohammad Natsir. Mereka lantas mengembangkan JIB dengan terus menjalin komunikasi dan kerja sama dengan ormas-ormas besar Islam, semisal Muhammadiyah dan NU.
Sumber :Republika.co.id