OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Senin, 30 Oktober 2017

Memahami Strategi Tito Karnavian Hadapi Kelompok Insurgensi dan Islam Radikal

Memahami Strategi Tito Karnavian Hadapi Kelompok Insurgensi dan Islam Radikal

10Berita  – Muhammad Tito Karnavian, Mantan Kadensus 88 yang kini telah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dianugerahi gelar professor. Ia juga dikukuhkan sebagai Guru Besar untuk studi strategis kajian kontra terorisme oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Acara pengukuhan dilakukan dalam sidang Senat Terbuka yang dipimpin oleh Gubernur PTIK yang juga selaku Ketua PTIK Inspektur Jenderal Remigius Sigid Tri Harjanto. Sementara, pernyataan pengukuhan dilakukan oleh Irjen Iza Fadri, selaku perwakilan guru besar pada senat akademik, di Auditorium PTIK, Jakarta Selaran, Kamis (26/10).

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Rikwanto, pengukuhan Tito juga diharapkan semakin membuat kepolisian menjadi ilmu terbuka yang mampu memberikan solusi bagi kepentingan keilmuan maupun kepentingan praktis dalam kaitan dengan tugas-tugas kepolisian.

“Profesor Tito Karnavian dikukuhkan sebagai guru besar untuk studi strategis kajian kontra terorisme, diharapkan pemikiran-pemikiran beliau nanti dapat diaplikasikan bagi kepentingan bangsa Negara Indonesia, khususnya dalam menghadapi ancaman terorisme,” kata Rikwanto di PTIK, di Auditorium PTIK, Jakarta Selatan, Kamis (26/10) sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia.

Pada pengukuhan gelar professor itu, Tito Karnavian membawakan pidato dari tulisannya yang dimuat dalam jurnal “Counter Terrorist Trends and Analysis” yang diterbitkan oleh Rajaratnam School of International Studies, NTU, Singapura. Mantan Kepala BNPT itu memang pernah mengambil gelar doktoral (Phd) di sana. Makalahnya yang berjudul “Peran Polri dalam Melawan Kelompok Insurgensi di Indonesia” itu patut dipahami untuk dapat menganalisis bagaimana cara pandang Polri ke depan dalam upaya pemberantasan terorisme di Indonesia.

Pertama, Tito memandang bahwa kelompok insurgensi (perlawanan) yang ada di Indonesia terdiri dari dua macam. Yaitu, radikal Islamis dan ethno-separatis. Menurutnya, kelompok radikal Islamis ini punya tujuan politik untuk merebut kekuasaan dan mengganti Negara Indonesia yang sekuler dan tidak Islami menuju Negara Islam yang berlandaskan syariat. Jaringan Islam radikal ini menggunakan sumberdaya politik dengan membangun organisasi resmi di atas tanah, dan menyisakan tindakan kekerasan dengan taktik teror secara bawah tanah untuk mencapai tujuan mereka.

Dari definisi tersebut, ia mengkategorikan sejumlah kelompok seperti NII, Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, Tauhid wal Jihad dan sejumlah kelompok kecil dengan sel kecil di Jambi, Riau, Babel, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Maluku utara, NTT dan Papua. Ia juga menyinggung adanya dokumen yang diduga milik kelompok Jamaah Islamiyah bernama PUPJI, yang menegaskan strategi untuk menuju ke arah Negara Islam secara bertahap dan dengan pendekatan militeristik.

Sementara itu, kelompok perlawanan separatis di Indonesia masih tersisa di wilayah Papua. Mereka merupakan kelompok yang mencoba memisahkan Papua dari NKRI dan menghendaki adanya negara independen. Gerakan separatis di Papua sendiri terpecah belah. Berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Fretilin di Timor Leste yang berwujud dalam satu jaringan dan satu struktur komando.

Ada dua jenis gerakan di Papua. Pertama, mereka yang menggunakan pendekatan nonmiliteristik untuk mencapai tujuan politiknya, seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Jayapura. Pemimpinnya adalah Benny Wenda, yang terus berupaya memobilisasi dukungan internasional. Juga kelompok West Papua National Authority (WPNA) yang berbasis di Manokwari. Kedua, adalah kelompok separatis yang gemar melakukan kekerasan. Contohnya adalah Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM). Jaringan ini memiliki keanggotaan yang berbasis etnisitas dan menggunakan taktik teror yang menyasar warga sipil, khususnya pendatang non-Papua.

Sumber : Kiblat.