Mengapa Ahli Hadis Berbeda dalam Menilai Suatu Hadis? Ini Penjelasannya
Sebenarnya banyak hadits yang ulama sepakat akan keshahihannya, sebagaimana banyak juga hadits yang ulama sepakat juga ke-dhaif-annya.
Diantara itu, ada hadits yang memang masih diperselisihkan derajatnya. Sangat penting mengetahui sebab perbedaan ulama muhaddits dalam menetapkan suatu hadits. Agar taklidnya tidak begitu parah. Diantara sebab-sebab perbedaan itu adalah:
1. Perbedaan Penerapan Kaidah Minor
Para Muhadditsin, disamping berpegang kepada kaidah-kadiah umum yang disepakati (kaidah mayor), mempunyai visi dan kekhasan tersendiri dalam operasionalnya (kaidah minor).
Operasional ketersambungan sanad (ittishal as-Sanad) misalnya, antara al-Bukhari dan Muslim terdapat perbedaan. Al-Bukhari mensyaratkan seorang murid (rawi kedua) pernah bertemu langsung dengan guru (rawi pertama) walaupun hanya sekali.
Sedangkan menurut Muslim, sanad dinilai bersambung jika terdapat indikasi bahwa kedua rawi itu pernah bertemu, karena ditemukan bukti bahwa keduanya hidup sezaman (Mu’asharah).
Dengan demikian, konsep hadits mu’an’an (hadits yang diterima menggunakan lafadz ‘an) antara al-Bukhari dan Muslim berbeda. Perbedaan ini akan terlihat lebih jelas, dengan adanya statement dalam ilmu Hadits ‘ala Syarth al-Bukhari dan ‘ala Syarth Muslim.
2. Perbedaan al-Jarh dan at-Ta’dil
Syarat rawi hadits shahih haruslah ‘adil dan dhabith. Tetapi pertanyaannya, siapakah yang berhak menilai keadilan seorang rawi? Siapakah yang berhak memberikan test hafalan seorang rawi? Apakah ada tes masuk bagi calon rawi sebagaimana fit and propertest?. Semua itu adalah ijtihad ulama al-Jarh wa at-Ta’dil. Al-Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) berkata:
وَقد اخْتلف الْأَئِمَّة من أهل الْعلم فِي تَضْعِيف الرِّجَال كَمَا اخْتلفُوا فِي سوى ذَلِك من الْعلم
Ulama telah berbeda pendapat dalam menilai lemah seseorang, sebagaimana mereka juga berbeda pendapat dalam Ilmu lainnya. Perbedaan pendapat dalam al-Jarh wa at-Ta’dil ini sangat mempengaruhi dalam penilain suatu hadits.
Perbedaan kriteria orang yang memberikan penilaian (al-Mujarrih dan al-Mu’addil), perbedaan sikap dalam al-Jarh wa at-Ta’dil antara ulama satu dengan lainnya, perbedaan shighat antar ulama al-Jarh wa at-Ta’dil, turut menyumbang perbedaan dalam penilaian terhadap seorang rawi.
Sebagai contoh, Sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim ar-Razi (w. 227 H), dinukil dalam kitab Tahrir Ulum al-Hadits:
ونقل أبو حاتم الرازي عن هشام بن يوسف الصنعاني قوله في (عبد الله بن معاذ بن نشيط صاحب معمر): ” هو صدوق، وكان عبد الرزاق يكذبه ” ثم قال أبو حاتم: ” أقول: هو أوثق من عبد الرزاق
Dinukil dari Abu Hatim ar-Razi dari Hisyam bin Yusuf as-Shan’ani dalam penilaiannya terhadap Abdullah bin Mu’adz: Dia orang yang shaduq. Sedangkan Abdurrazaq menilai: Dia seorang yang bohong. Abu Hatim menjawab: (justru) Dia (Abdullah bin Mu’adz) itu lebih tsiqah daripada Abdurrazaq.
Maka, para ulama al-Jarh wa at-Ta’dil ada yang bersifat tasyaddud, tawasuth dan tasahul. Cukup banyak perbedaan ulama al-Jarh dan at-Ta’dil dalam menilai satu rawi. Kadang satu rawi dianggap lemah oleh ulama, tapi oleh ulama lain dianggap tsiqah atau shaduq.
Disinilah seorang yang akan meneliti derajat suatu hadits dituntut ketelitian, keluasan ilmu, pemahaman yang mendalam terhadap istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama, juga terbebas dirinya dari hawa nafsu dan kepentingan tertentu.
Jangan sampai seorang peneliti hadits, jika matan hadits itu sesuai dengan keinginan dan pendapatnya, maka dicarilah penilain yang baik terhadap rawi-rawinya. Tapi jika matan hadits bertentangan dengan pendapatnya, maka akan dicari penilaian yang negatif terhadap rawi.
3. Perbedaan Dalam Menerima ‘an’anah Dalam Sanad
Imam Nawawi dalam Mukaddimah Syarah Shahih Muslim, menjelaskan bahwa Hadits mu’an’an oleh jumhur ulama dihukumi muttashil/ tersambung sanadnya, meskipun ada juga yang menganggap bahwa hadits mu’an’an masuk kategori mursal.
Syaratnya Hadits mu’an’an tidak diriwayatkan oleh rawi mudallis dan dimungkinkan bertemu antara rawi pertama dengan rawi kedua.Sedangkan untuk mengetahui dimungkinkannya bertemu, muhaddits berbeda pendapat.
Sebagaian muhaddits hanya mensyaratkan pernah bertemu saja, Imam Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa ini pendapat Ali bin Madini, al-Bukhari, Abu Bakar as-Shairafi.
Sebagian muhaddits mensyaratkan thul as-Shuhbah/ lama dalam berguru, ini adalah pendapat Abu al-Mudhaffar as-Syafi’i. Ada sebagian Muhaddits yang mensyaratkan rawi kedua itu sudah terkenal banyak meriwayatkan dari rawi pertama, ini adalah pendapat Abu Umar al-Muqri.
Rawi mudallis jika terbukti seorang rawi melakukan tadlis dalam Isnad, maka para ulama’ berbeda pendapat tentang status rawi tersebut. Sebagian ulama’ Ahli Hadits menolak periwayatan orang tersebut secara muthlak. Tetapi yang lebih shahih menurut al-Imam an-Nawawi (w. 676 H) dan diikuti oleh al-Imam as-Suyuthi (w. 911 H) adalah ditafshil/diperinci.
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) dalam kitab Thabaqat al-Mudallisin membagi tingkatan mudallis menjadi 5 tingkatan. Pada tingkatan ketiga, yaitu orang-orang yang sering melakukan tadlis, maka para ulama tidak mengambil hadits darinya kecuali jika orang tersebut menjelaskan bahwa dia mendengar langsung dari rawi atasnya (Tahammul dan Ada’ dengan shighat sama’/mendengar). Seperti: Abu az-Zubair al-Makkiy.
Tentu masih ada beberapa sebab perbedaan lain para muhaddits dalam menilai suatu hadits.
Khilafiyyah Dalam Menilai Derajat Hadits. Semua sepakat bahwa hadits yang shahih menjadi salah satu sumber utama dalam penetapan hukum Islam. Iya, semua sepakat.
Tapi dalam menetapkan keshahihan suatu hadits, para muhaddits pun mereka berbeda pendapat. Karena penetapan derajat hadits sifatnya ijtihady, dan ijtihad seorang ulama itu bisa benar dan bisa saja salah.
Salah satu faktor perbedaan para ulama dalam suatu hukum syariat adalah perbedaan mereka dalam menilai derajat suatu hadits. Ibnu Rusyd (w. 595 H) mencontohkan: perbedaan masalah gaji muadzin, Ijtihad dalam menetapkan arah qiblat, sutrah/pembatas dalam shalat berhenti sebentar setelah membaca surat dalam shalat sah tidaknya shalat sendirian di belakang shaf, zakat madu, hukuman orang yang berkhianat dalam harta rampasan perang, sembelihan janin dalam perut hewan dan lain sebagainya.
Perbedaan ini masih dalam tataran tsubut tidaknya suatu hadits. Setelah suatu hadits sudah benar-benar berasal dari Nabi, maka selanjutnya masuk kepada dalalah-nya; apakah qath’iy ataukah dzanniy, am dan khashnya, muthlaq dan muqayyadnya, nasikh dan mansukhnya, asbab wurud-nya. Disinilah peran Ushul Fiqih bermain.
Sayangnya, kita temui ada beberapa kalangan yang baru tahu hadits shahih dari pengajian mingguan, sudah berani menyalah-nyalahkan ijtihad Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan imam-imam yang lainnya, dengan berdalih kembali kepada sunnah.
Memangnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i tidak tahu sunnah? Maka, Ahli Hadits tidak boleh buta ushul fiqih. WaAllahua’lam bis shawab.
Sumber: ziyad.web.id