OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 17 Oktober 2017

PITUNG, 7 Pendekar Golok Mujahidin Betawi

PITUNG, 7 Pendekar Golok Mujahidin Betawi

10Berita – Menjelang Ramadhan 1438H kemarin, bada maghrib saya bertemu dengan sejarawan Jayakarta yang sangat langka dan menguasai nasab banyak leluhur Jayakarta bernama Iwan Mahmud al-Fattah Azmatkhan di pinggiran Jakarta. Yang mempertemukan saya dengan beliau adalah PITUNG dan Kitab al-Fatawi.

Beberapa waktu sebelumnya, saat duduk di bangku belakang angkot yang tengah melaju di jalan tol, seorang CEO ternama di negeri ini mengirim WA ke ponsel saya yang berisi sejarah Pitung yang sesungguhnya. “Pitung itu singkatan dari Pituan Pitulung, bukan nama orang, tapi nama gerakan Mujahidin Jayakarta yang terdiri dari tujuh pendekar Betawi,” demikian kira-kira bagian dari pesan WA-nya.

Terus terang, saat itu saya baru tahu. Dan yang membuat saya semakin tertarik adalah sumber referensi keterangan tersebut yang dikatakan berasal dari sebuah kitab milik Mujahidin Jayakarta asli yang ditulis secara generasi ke generasi, yang semuanya disalin kembali oleh cendekiawan Betawi bernama Ratubagus Ahmad Syar’i Mertakusumah. Kong Syar’i, demikian nama populernya di kalangan Pemangku Adat Jayakarta. Kitab itu bernama Kitab Al-Fatawi, yang aslinya terdiri dari empat buah kitab yang salah satunya berisi catatan mengenai tarikh atau sejarah perjuangan Mujahidin Jayakarta, dari Al-Haj Fatahillah hingga gerakan Pitung, Entong Gendut dari Condet, Pemberontakan Ki Dalang, kiprah MH. Tamrin, dan lainnya.

Simbol gerakan PITUNG yang asli, tujuh golok (sumber: Kitab al-Fatawi)

Akhirnya, saya berkesempatan melihat langsung Kitab Al-fatawi tersebut yang ditulis dengan sangat rapi, menggunakan huruf Arab-Melayu, lengkap dengan gambar dan peta Jayakarta, yang semuanya adalah hasil coretan tangan Ratubagus Ahmad Syar’i Mertakusumah, yang mana beliau adalah salah satu anggota Pitung yang menggantikan Ji’ih alias Ratubagus Muhammad Roji’ih Nitikusumah, setelah Ji;ih syahid ditembak Belanda di paruh akhir abad ke-19. Masih sangat sedikit orang yang bisa melihat langsung Kitab al-Fatawi. Bahkan beberapa sejarawan Betawi ngetop yang sering nongol di TV pun belum pernah melihat kitab ini.

Ratubagus Ahmad Syar’i Mertakusumah

Dari penuturan Bang Iwan-lah, dan juga referensi lainnya yang memperkuat, saya mendapatkan informasi jika PITUNG memang bukan nama orang, namun nama sebuah gerakan mujahidin Jayakarta di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 Masehi, yang dibaiat pada tahun 1880 di Pesantren Kebon Pala oleh Kiai Haji Naipin. Saat dibaiat usia ke-tujuh anggota PITUNG rata-rata 20-tahunan. Ketujuh anggota PITUNG adalah:

Ratu Bagus/Radin Muhammad Ali Nitikusumah bin Radin Nurul Syamsirin Nitikusumah bin Radin Abdul Karim bin Pangeran Jidar Nitikusumah V bin Abdul Karim bin Pangeran Cakrajaya Nitikusumah IV. Radin Nurul Syamsirin adalah Penghulu/ Kepala Adat/Pemimpin Warga Pinangseraye. Pewaris Aria Jipang Jayakarta, dan beliau lahir di dusun Senayan (kini wilayah tersebut menjadi Gelora Senayan).Ratu Bagus Muhammad Roji’ih Nitikusuma/Ji’ih dari Cengkareng, terkenal sebagai ahli strategi dalam gerakan Pituan Pitulung.Ratu Bagus Abdul Qodir Nitikusumah asal dari Rawa Belong (kini Jakarta Barat), beliau leluhurnya kebanyakan para pendekar dan mujahid Jayakarta.Ki Saman anak Ciledug, terkenal sakti tapi sangat tawadhu.Ratu Bagus Rais Sonhaji Nitikusuma, asli anak Tenabang (Jakarta Pusat)Ki Somad/Abdul Shomad lahir di Kemanggisan (Jakarta Barat).Ki Dulo alias Abdulloh alias Jebul (Jaebullah) dari Kramat Togo-Rawa Belong, Pendekar silat andalan Pituan Pitulung.

Ketujuh anggota PITUNG ini digembleng langsung oleh Kiai Haji Naipin selama bertahun-tahun di Pesantren Kebon Pala, Tenabang. Mereka tidak hanya digembleng dengan ilmu silat atau main pukul, namun juga mempelajari ilmu-ilmu strategi peperangan lainnya yang cukup lengkap seperti taktik perang gerilya, kontra intelijen, penyusupan, penyergapan, psy war, dan sebagainya. Mereka juga dibekali dengan ilmu sejarah kebangsaan, ekonomi, pendidikan, dan tentu saja ilmu agama yang sangat dalam sebagai pondasinya. Kiai Haji Naipin sendiri adalah sosok guru yang lengkap. Beliau adalah pendekar ilmu silat tanpa tanding namun sekaligus ahli tarekat yang sangat tawadhu. Ilmunya adalah Ilmu Padi. Semakin berisi maka semakin rendah hati, jauh dari sikap sombong maupun petantang-petenteng layaknya jagoan. Demikian juga dengan sosok PITUNG.

Kitab al-Fatawi, kitab asli Mujahidin Jayakarta (sumber: pribadi)

Dan sebagaimana Baiat ala Rasulullah SAW, semua mujahidin yang pergi berperang selalu memiliki dua tujuan: Hidup Mulia atau Mati Syahid. Keduanya adalah Kemenangan Yang Besar di Sisi Allah SWT.

Demikian pula ketujuh anggota PITUNG. Mereka sama sekali tidak percaya dan tidak membawa jimat atau ilmu kanuragan yang macam-macam yang melanggar syariat agama tauhid. PITUNG maju berperang untuk menang atau mencari syahid. Sebab itu jika ada yang bilang PITUNG dibekali ilmu rawa rontek, pakai jimat agar bisa menghilang atau merayap di tembok seperti cicak, atau ilmu-ilmu lain sejenisnya itu jelas ahistoris. Bagi pemburu syahid, kematian di Jalan Allah Swt adalah cita-cita tertinggi. Ngapain juga pake jimat yang bisa menjadi penghalang kematian yang indah itu? Kematian yang disambut oleh para bidadari dan mendapatkan Ainul Mardhiah, bidadari paling cantik dari semua bidadari Jannah? Dunia dan seisinya tidak ada apa-apanya dibandingkan sosok Ainul Mardhiah.

Penulis bersama “Sejarawan Jakarta yang langka” Bang Iwan, dan Kitab al-Fatawi (sumber: pribadi)

Gerakan jihad fi sabilillah yang dilakukan PITUNG merupakan salah satu mata rantai dari gerakan Jihad fi Sabilillah yang digelorakan para pejuang Jayakarta, dari Al-Haj Fatahillah sampai kepada Pemberontakan Ki Dalang di awal abad ke-20 Masehi dan juga kiprah perjuangan diplomasi yang dilakukan oleh putera terbaik Betawi, Muhammad Husni Thamrin. PITUNG bukan gerakan yang cuma berperang dengan main pukulan atau silat, tapi juga lewat dunia pendidikan, ekonomi, dan juga bagian dari simpul pergerakan para Mujahidin Nusantara di zaman itu.

Sejarah kita memang harus diluruskan. Sumber-sumber sejarah Nusantara hasil coretan dari tangan kaum penjajah harus semakin dikritisi dan jika perlu dibuang karena mereka tentu saja memiliki kepentingannya sendiri. Tabik.[]

Penulis; Rizki Ridyasmara

Sumber: eramuslim