Pribumi dalam Sirah Nabi
KOTA Yatsrib (Madinah), yang di kemudian hari, menjadi tempat hijrah umat Islam, menyimpan cerita pilu sekaligus haru. Daerah yang menonjol di bidang agraris ini, ditempati Suku Arab Qahtan (Aus dan Khazraj), Yahudi dan para budak. Pada saat itu, suku Yahudi (Qainuqa, Nadhir dan Quraidhah) menguasai Madinah hampir pada segenap aspeknya. Sementara itu, Suku Aus dan Khazraj, hidupnya tak lebih baik dari golongan Yahudi.
Jika diperkenankan memakai idiom kelas, maka suku Yahudi pada saat itu adalah warga kelas satu dan terpandang. Sedangkan kelas penduduk Arab berada di bawahnya. Sedangkan level yang lebih rendah, ditempati hamba sahaya yang kebanyakan dari luar Arab (seperti: Afrika).
Untuk melanggengkan kekuasaanya, Yahudi memakai cara-cara picik dan licik. Suku Aus dan Khazraj yang sama-sama berasal dari keturunan Qahtan dan sudah lama menjadi penduduk asli Yatsrib, diadu domba agar mudah dikendalikan.
Perang Buats yang tersulut akibat provokasi orang Yahudi adalah contoh konkretnya. Selama lebih dari seratus tahun, Aus dan Khazraj tak berhenti berperang. Virus fanatisme golongan menjadi senjata utama Yahudi untuk mengobarkan api permusuhan antara keduanya. Belum lagi sistem ekonomi ribawi yang diterapkan Yahudi, turut serta membuat ekonomi masyarakat melemah. Yang kaya makin kaya, dan yang miskin semakin miskin.
Sebenarnya, orang-orang Aus dan Khazraj sudah lelah menjalani konflik berdarah ini. Beberapa oknum di antara mereka sangat mendambakan figur agung yang bisa mempersatukan mereka sehingga menjadi entitas yang kuat. Setiap kali mereka berusaha bangkit dan melawan hegemoni Yahudi, mereka selalu diancam, ditakut-takuti dengan datangnya seorang nabi akhir zaman yang akan memerangi orang Arab bersama suku Yahudi. Rupanya, informasi ini dipegang secara baik oleh sebagian penduduk Arab di Yatsrib.
Ketika dakwah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam menggema di seantero Madinah, Suku Aus dan Suku Khazraj tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mereka tidak mau didahului oleh orang-orang Yahudi.
Pertemuan di Bukit Aqabah, baik yang pertama maupun kedua, menjadi tonggak penting yang akan membuat perubahan besar di Madinah. Komitmen berupa Baiat Aqabah I dan II yang dipegang erat oleh perwakilan Suku Aus dan Suku Khazraj, menjadi jembatan pemersatu bagi kedua suku ini sekaligus menjadi tuan rumah yang menyambut figur perekat: Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersama sahabat-sahabatnya.
Melalui tangan dingin Shuhaib bin Sinan Ar-Rumi (yang diutus nabi bersama perwakilan masyarakat Madinah untuk berdakwah), Islam bisa cepat menyebar luas. Asad bin Zurarah (berasal dari Suku Khazraj), bersama Shuhaib berhasil mengajak kepala Suku Aus: Usaid bin Khudair, bahkan Saadz bin Muadz memeluk Islam. Dampak dakwah ini begitu dahsyat. Banyak penduduk Madinah yang masuk Islam secara diam-diam, konflik internal yang selama ini disulut Yahudi pun bisa diredam.
Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, penduduk terbelah. Bagi penduduk yang diam-diam masuk Islam, mereka dengan suka-rela menyambut kedatangan sosok pemersatu ini. Sedangkan yang disenggol kepentingan politiknya seperti Abdullah bin Ubay, diam-diam menyimpan kedengkian.
Adapun Yahudi, kebanyakan dari mereka, meski tahu kebenaran Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, alih-alih beriman, justru mereka menolak, naik pitam dan menyimpan dendam. Kedatangan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bagi mereka dinilai sebagai bencana yang bisa menggoyang singgahsana kepentingan mereka.
Pada faktanya, kehadiran nabi benar-benar menjadi perekat dan pemersatu. Kabilah Aus dan Khazraj melebur jadi satu entitas: Anshar. Sedangkan sahabat-sahabat yang berhijrah bersama nabi disebut: Muhajirin. Selain itu, ada pula identitas lain seperti ‘Ajami (non-Arab, seperti Salman Al-Farisi dan Bilal bin Rabbah) maupun Arab.
Di dalam Al-Qur`an pun ada penyebutan: Arabi dan ‘Ajami (QS. An-Nahl [16]: 103 dan Fushshilat [41]: 44). Bahkan, Yahudi dan Abdullah bin Ubay pun, pasca kemenangan gemilang nabi bersama sahabat pada perang Badar Kubra (2 H), terpaksa mengakui kekuatan Islam. Mereka diikat dalam perjanjian maha penting, yang diabadikan sejarah dengan istilah: Piagam Madinah, sebagai konstitusi pertama di dunia.
Adanya kaum Muhajirin-Anshar, Arab-’Ajami (non-Arab), penduduk asli-pendatang, justru bisa harmoni menjadi satu untuk bersama-sama menorehkan kebaikan dan manfaat sosial. Bahkan Yahudi pun (meski tak menerima Islam) selama tidak menyalahi janji- demikian pula gembong munafik (Abdullah bin Ubay) diikat dalam perjanjian luhur (Piagam Madinah) untuk bersama-sama menciptakan stabilitas dan manfaat, dan kemaslahatan sosial.
Akan tetapi, jika adanya suku, ras, golongan dijadikan alat untuk memecah belah, maka nabi secara tegas mengecam dan segera meredam.
Misalnya, saat Suku Aus dan Khazraj kembali berseteru -akibat adu domba orang Yahudi renta bernama Sya`s bin Qais-, Rasulullah pun dengan sigap dan cepat mendamaikan keduanya agar tak terpancing ajakan jahiliah (Muhammad al-Shallâbi, Sirah Nabawiyah, 2/10).
Demikian juga ketika sahabat dari golongan Muhajirin mendorong sahabat dari golongan Anshar, pada Perang Bani Musthaliq, karena hasutan orang Yahudi. Kondisi ini berbuntut konflik menegangkan yang didasarkan pada fanatisme golongan. Kedua pihak akhirnya memanggil kawannya masing-masing. Ketika nabi mendengar perbedaaan kontradiktif tersebut, beliau segera meredamnya dengan menegaskan bahwa hal itu adalah propaganda buruk jahiliah (HR. Bukhari).
Adapun nasib Yahudi (bukan melihat pada ras, tapi lebih kepada perilaku buruknya), yang suka melanggar janji, mengeksploitasi, memecah belah umat dan berkhianat (meski menguasai modal besar), pada akhirnya terusir dari Madinah. Yang berniat jahat, maka kejahatan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.
Non Arab
Dari uraian singkat mengenai kondisi penduduk Madinah, baik sebelum maupun sesudah kedatangan nabi, ada poin penting yang dapat dipelajari.
Suku, golongan, ras, penduduk asli (pribumi) asli atau bukan, ada dan diakui di zaman Nabi. Dalam sejarah umat Islam, penggunaan istilah “pribumi” juga dipakai oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Karena itu ada istilah Arab dan ‘Ajam (non Arab), Anshar dan Muhajirin.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تُقَاتِلُوا خُوزًا وَكَرْمَانَ مِنَ اْلأَعَاجِمِ حُمْرَ الْوُجُوهِ فُطْسَ اْلأُنُوفِ، صِغَارَ اْلأَعْيُنِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ،
نِعَالُهُمُ الشَّعَرُ.
“Tidak akan datang hari Kiamat hingga kalian memerangi bangsa Khuzdan bangsa Karman dari kalangan Bangsa ‘‘Ajam (non Arab), bermuka merah, berhidung hidung pesek, bermata sipit, wajah-wajah mereka bagaikan tameng yang dilapisi kulit dan terompah-terompah mereka terbuat dari bulu.” [HR Bukhari]
Nabi sendiri tidak mempermasalahkan, selama tidak menjadi fanatisme buta, tidak menjadi pemecah belah, sebagaimana masyarakat jahiliah yang dapat mengoyak persatuan.
Perbedaan yang ada justru diharmonikan supaya menjadi kekuatan besar untuk menciptakan kemaslahatan sosial.
Sebagai penutup, potongan khutbah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pada waktu Haji Wada’ ini bisa dijadikan renungan:
أيها الناس أكرمكم عند الله أتقاكم، ليس لعربي فضل على عجمي إلّا بالتقوى
.
“Wahai sekalian manusia! Yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Orang Arab tidak lebih muliah daripada orang non-Arab, melainkan dengan ketakwaan (yang dimilikinya.” (Al-Khudari, Nur al-Yaqîn, 229)
*Mahmud Budi Setiawan
Sumber : Hidayatullah.com