OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Jumat, 20 Oktober 2017

Surat Terbuka Untuk Jokowi: Kami Akan Tetap Pribumi, Tak Mampu Jadi Non-Pribumi

Surat Terbuka Untuk Jokowi: Kami Akan Tetap Pribumi, Tak Mampu Jadi Non-Pribumi


10Berita - Seorang warga biasa datang menjumpai saya, dan tiba-tiba mengajak diskusi tentang “pribumi” dan tentang larangan penggunaan kata itu. Intinya, yang dia pahami dari instruksi untuk tidak menggunakan kata “pribumi”, ialah bahwa perintah itu bertujuan untuk mengubah semua orang Indonesia menjadi “non-pribumi”, dalam makna taraf hidup. Pemahaman yang sangat “innocent”. Orang itu meminta agar saya menuliskan surat terbukanya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), seperti berikut ini.

Pak Presiden, kami bukan tidak mau menghormati larangan untuk menggunakan kata “pribumi”. Sungguh, sangatlah ingin kami menjauhi sebutan itu, Pak. Siapa yang tak mau, Pak. Apalagi larangan penggunaan kata “pribumi” itu secara otomatis membuat kami-kami menjadi “non-pribumi”, setidaknya by name, Pak.

Itulah masalahnya, Pak Jokowi. Kami ini kalau dibolak-balik ke mana pun juga, tetap saja berwajah pribumi, diperlakukan sebagai pribumi, dilecehkan sebagai pribumi, dan dijajah seperti pribumi jaman dulu. Masih ingat kan, Pak Jokowi, ketika Steven Hadisurya Sulistyo menghina Gubernur NTB KH Muhammad Zainul Majdi sebagai “pribumi tiko”?

Nah, Pak Presiden, penghinaan ini kan menunjukkan bahwa saudara-saudara kita yang non-pribumi masih menganggap kami “pribumi”. Iya kan Pak? Jadi, ya itu Pak. Bagaimana mungkin kami melepaskan predikat “pribumi” sementara mereka tidak ingin kami menjadi “non-pribumi” by living standard, misalnya, Pak.

Jadi, Pak, tak ada gunanya kata “pribumi” itu dilarang penggunaannya. Karena, rata-rata orang “seberang” (kalau disebut “non-pribumi” nanti tak enak rasa pula) seperti Steven Sulistiyo itu tidak ingin kami ini seperti mereka, Pak. Mungkin orang-orang tertentu senang dibawa masuk ke klub non-pri.

Begitulah Pak situasinya. Mungkin Bapak dan teman-teman serta kolega Bapak sudah bisa melepaskan diri dari predikat pribumi dan suasana kepribumian. Sudah naik ke kelas non-pribumi, katakanlah begitu. Kalau kami, Pak, masih begini-begini terus. Masih tersekap di ruangan pribumi.

Berutunglah Bapak dan para kolega Bapak sudah melewati fase kepribumian. Sebagai contoh, orang kepercayaan Bapak, Pak Luhut Binsar Panjaitan (Pak LBP), sudah lama melewati fase kepribumiannya. Beliau ini pergaulannya sudah sangat mendunia. Teman dan mitra bisnis beliau banyak orang-orang “seberang” dan orang-orang jenis kami yang bukan lagi berstatus pribumi. Klub Pak LBP boleh dibilang sangat khusus.

Dengar kabar Pak, nomor-nomor kontak di HP Pak LBP pun rata-rata sudah menggunakan foto profil dengan caption “bukan pribumi”. Caption ini, Pak, sekaligus berfungsi untuk memudahkan dan mempercepat proses kalau beliau ingin menelefon teman-teman beliau baik non-pribumi maupun pribumi yang telah naik kelas.

Jadi, Pak Presiden, tidak mudah bagi kami untuk melepaskan diri dari kelas pribumi itu, Pak. Berat syarat-syaratnya, Pak. Harus banyak duit. Lebih bagus lagi, Pak, banyak duit dan ada pula kekuasaan. Ya itu, kayak Pak LBP. Beliau ini kalau pergi ke Singapura atau ke RRC sudah kayak pulang kampung, Pak. Kawan-kawan beliau banyak di sana, Pak. Orang-orang berduit semua, Pak.

Kalau seperti kami ini? Mana mungkin berubah menjadi orang yang non-pribumi, Pak. Tempat tinggal kami kumuh. Tak mungkin kami ucapkan “Aku ingin pindah ke Meikarta”. Kami bekerja di pabrik-pabrik milik teman-teman Bapak yang sekelas dengan Bapak dan Pak Luhut, Pak.

Berat, Pak, mau pindah kelas dari pribumi ke non-pribumi. Harus siap keluar uang banyak untuk sogok sana sogok sini. Harus juga bisa tipa-tipu, Pak. Harus bisa menghalakan segala cara, Pak. Harus memiliki mentalitas tega, tegas, dan rakus. Harus berani korupsi untuk bisa punya mobil merek mahal, supaya sama seperti mobil saudara-saudara yang bukan pribumi, baik physically maupun by living standard, Pak Presiden.

Jadi, begitulah Pak Jokowi. Tidak mungkin kami melepaskan predikat “pribumi” dari diri kami, Pak. Daripada kami terombang-ambing tak punya kelas, “pribumi” bukan, non-pribumi pun tidak, lebih baguslah kami tetap “pribumi” saja, Pak.

Singkat cerita, kami masih akan terus berstatus “pribumi” karena memang tidak akan mampu menjadi orang “non-pribumi”, Pak Presiden.

Penulis: Asyari Usman

Sumber : Portal Islam