OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Sabtu, 04 November 2017

Obesitas Informasi dan Fenomena Aktivis Zaman Now

Obesitas Informasi dan Fenomena Aktivis Zaman Now

10Berita – Orang-orang zaman now lebih suka mengakses informasi dari media sosial. Apapun informasi itu. Mulai dari bahasan soal A sampai Z. Katakanlah yang pernah dan sedang hangat, dari halal-haram imunisasi sampai pro-kontra registrasi kartu pelanggan seluler.

Banyak info yang berseliweran di berandanya, mulai dari rilis resmi pihak terkait, tanggapan tokoh A, B, C, sampai broadcast soal analisis di balik regulasi. Validasinya? Syusyeh… Kecuali yang bersumber dari berita website yang track record nya bagus, dan sumber resmi, semacam keterangan dari ahli, ustadz, ulama dan semacemnya di fanpage mereka.

Tapi, sialnya, lebih banyak mana, broadcast yang nggak jelas sumber dan yang mbikin, atau keterangan orang yang benar-benar ahli? Soal yang ini, tak perlu dijawab, kita sama-sama tahu lah.

Pasal imunisasi, gencar mana kampanye yang pro atau kontra? Ya, dua-duanya sama banyak pendukungnya mungkin, iyain saja, daripada repot ngitung.

Alkisah, seorang pegiat pengajian yang juga aktivis fesbuk bertanya ke ustadz yang terkenal ahli fikih. Lalu setelah sekian waktu, ustadz berfatwa A, dan ternyata itu tidak sesuai dengan argumen yang anda baca di broadcast liar, yang bahkan sang aktivis tadi tidak tahu jalur periwayatan broadcast tersebut. Lalu apa yang terjadi? Ya jelas ngeyel lah! Namanya juga people zaman now!

“Ustadz tau tidak, imunisasi itu bla bla bla… ini lho, kalo perlu saya forward-kan ke ustadz,” Sang penanya mencoba menjelaskan ke Pak Ustadz.

“Mas, saya itu belajar fikih sampai sekian tahun, kitabnya satu jilid itu ribuan halaman. Dan saya menjawab satu pertanyaan itu perlu membaca, menelaah, menimbang pendapat dari kitab A, B, C, dan seterusnya. Serepot itu lho proses sebuah fatwa. Lalu cuma antum sanggah dengan broadcast dari WA? Lha kalo antum sudah punya prinsip seperti itu, mengapa masih harus bertanya dan meminta fatwa?” Kata ustadz, mencoba bersabar sekuat hati, layaknya karang yang dihempas sang ombak.

Saat saya mendengar cerita itu dari teman sang Ustadz, rasanya ikut gmz dan kzl. “Dengkulmu kui, mas…,” gumam saya dalam hati, yang segera saya susuli dengan istighfar. Karena kata ustadz, misuh itu nggak boleh.

Inikah fenomena pegiat pengajian zaman now? Ah, saya rasa tidak. Itu hanya oknum.

Kasus kedua, soal regulasi pemerintah yang mewajibkan seluruh pelanggan kartu seluler untuk mendaftar ulang dengan menyertakan Nomer KTP dan Nomer Induk yang tertera di Kartu Keluarga. Hayo, saya mau tanya, lebih banyak mana, analisis dan penjelasan dari orang yang kompeten (ahli IT, Lembaga Perlindungan Konsumen, dan semacemnya), atau lebih banyak broadcast liar yang nongol di beranda fesbuk, atau di grup-grup Whatsapp anda?

Wes, nggak usah dijawab. Cukup dalam hati saja. Mulai dari analisis soal potensi penggunaan data untuk pemilu 2019 nanti, sampai ketakutan data-data itu nanti dijual ke pihak ketiga oleh operator (dan) atau pemerintah.

Saya yang pernah kuliah di jurusan yang bersinggungan dengan IT, kemarin ditanya oleh seorang kawan perihal baiknya melakukan registrasi atau tidak.

“Gini lho, mas. Aturan ini sebenarnya sudah terbit lama, tapi memang pelaksanaannya baru saja diperketat oleh pemerintah. Kalo sampeyan nggak mau registrasi ya monggo, tapi resiko tanggung sendiri, ancamannya nomermu nanti diblokir,” ujar saya.

“Oh, gitu ya. Eman sih kalo nomernya diblokir, wong sudah buat nomer kontak dagangan saya. Lha tapi katanya kalo registrasi, nanti datanya diselewengkan, njuk gimana? Dataku dijual ke pihak ketiga, trus nanti katanya bisa dipake juga untuk kepentingan pemilu 2019,” cecar teman saya.

“Wah, iya mas. Pikiranmu benar-benar visioner. Sik, takjawab satu-satu. Soal ketakutan data diselewengkan, itu nanti kan ada aturannya lagi to, soal kerahasiaan data. Yang jelas, nggak cuman aktivis islam yang teriak-teriak soal ini. Jangan khawatir. Trus soal kecurangan pemilu, setahuku sampeyan ini anti pemilu deh, nggak pernah nyoblos. Kok jadi ikut khawatir soal pemilu? Toh, kalo partai yang berkuasa mau macem-macem, itu partai lain yang nggak diajak macem-macem palingan ya nggak bakal diam saja,” jawab saya ala kadarnya.

“Tapi kalo itu kebeneran kejadian gimana? Ini banyak lho yang menganalisis kayak gitu. Nih, baca broadcast ini.” Sanggah teman saya, sambil menyodorkan telepon pintarnya.

“Halah, gak usah. Saya juga udah baca di Fesbuk dan WA. Gini aja lho, kalo mau registrasi atau tidak, ya silakan. Resiko selalu ada di masing-masing pilihan.” Ujar saya sok bijak.

Obrolan berakhir. Lebih tepatnya saya akhiri. Diskusi kurang berimbang, dan saya agak gimana gitu kalau mau ngelawan argumen yang berasal dari broadcast liar.

Dari dua kasus kekinian itu saya mencoba menarik benang merah, bahwa kita ini sedang mengalami zaman overdosis informasi. Hal-hal apapun bisa menyebar dengan cepat lewat media sosial. Apapun! Bahkan yang sebenarnya kita tidak membutuhkan dan tidak bermanfaat bagi kita.

Lalu apa efeknya? Seseorang jadi lebih mudah menemukan kebenaran alternatif, sesuai preferensi dirinya. Kebenaran kok alternatif? Ya lucu sih, tapi memang begitu kan? Seseorang jadi tidak memerlukan fatwa seorang ahli karena sudah menemukan apa yang ia cari di sebuah broadcast Whatsapp atau fesbuk. Akan sangat-sangat celaka kalau sebagian besar aktivis zaman now tidak punya filter dalam memilah dan memilih informasi.

Tidak, saya tidak akan melanjutkan tulisan ini dengan tips dan trik memilah dan memilih informasi. Saya cuma mau berpesan, jangan mudah gaduh menanggapi satu isu. Cukuplah ambil penjelasan dari yang ahli. Setelah itu, ya sudah, balik lagi ke urusan kita.

Faidza faraghta fanshab, wa ila rabbika farghab.

Eh, bentar dulu. Saya jadi punya kesimpulan alternatif. Jadi sebenarnya, kita yang gampang dibuat gaduh, atau “mereka” yang pintar ngerjani kita agar terus gaduh?

“Mikir!” Kata Cak Lontong.

 

Penulis: Multazim Jamil

Sumber : Kiblat