Oleh: Dwi P. Sugiarti
“Bubur ayaam….bur…ayaam..”
Suara penjual bubur ayam yang selalu lewat depan rumah kami memang tak pernah absen. Selalu setiap pagi kira-kira setiap jam 6 lewat depan rumah.
Aku termenung sejenak memikirkan, jikalau penjual bubur ayam itu berputus asa pastilah ia takkan lagi lewat gang rumah kami. Sebab jarang sekali ada yang beli. Belum lagi jarak dari rumahnya hingga ia berkeliling di komplek tempat saya tinggal yang lumayan jauh. Seringnya suami saya yang selalu jadi langganan setia kalau ia sedang di rumah.
“Buburnya enak..murah lagi,” katanya.
“Jarang disini yang jual bubur semangkok cuma lima ribu.”
Cerita serupa dengan mamang penjual bubur ayam memang tidak hanya satu atau dua orang saja. Di sini ada banyak sekali pedagang keliling yang lewat. Ada penjual donat, tahu gejrot, siomay, penjual perabot, empek-empek, penjual tahu, ayam, tahu bulat, penjual baju anak sampai penjual kasur yang menjajakannya dengan gerobak juga suka lewat depan rumah kami. Ada lagi tukang servis jam dan perabot rumah tangga. Mungkin dalam sehari ada sekitar 20 orang lewat menawarkan jualannya dari pagi sampai malam.
Tak sedikit dari mereka yang rumahnya relatif jauh ketika berkeliling menjual jualan mereka. Bahkan penjual kasur keliling yang ia berjalan dengan mendorong gerobak berisi kasur dan bantal untuk bisa sampai ke rumah kami ia harus menempuh kurang lebih 20 km, dan hebatnya ia berjalan kaki di tengah panasnya kota yang jarang sekali pohon rindang. Maklum rumah kami memang masuk dalam kawasan industri dan jarang sekali ada angkutan umum. Kalaupun ada, ya tukang ojek yang mangkal depan gerbang komplek rumah kami.
Tak jarang ketika suami di rumah beberapa kali meminta saya untuk membeli dagangan mereka bukan karena butuh tapi lebih karena kasihan. Jauh-jauh naik sepeda dan ditengah panas matahari tapi ternyata belum ada yang laku jualannya dan seringnya yang berjualan keliling, bapak-bapak yang sudah tua renta.
“Kalau beli jangan nawar ya, lihat itu yang jualan sudah kakek-kakek,” katanya.
Pernah juga suatu kali aku ditanya ketika membeli salah satu jajanan yang lewat depan rumah, “disini sepi ya mbak, orang-orangnya memang jarang keluar ya? Padahal kalo saya ke komplek sebrang selalu rame..”
“Ngga kok Pak, seringnya keluar pas pagi dan sore. Mungkin malas keluar kalo siang panas-panas gini pak. Kalo pagi dan sore ngga terlalu panas.”
Entah apa yang selanjutnya dipikirkan oleh bapak penjual tadi. Tapi sepertinya bukan putus asa. Sebab walaupun sepi tetap saja bapak penjual itu lewat depan rumah kami. Sesekali ada terdengar jajanannya dibeli tapi lebih sering ia lewat dengan terus meneriakkan jajanannya.
Apa yang terlintas dari cerita di atas?
Ya, sebuah arti tentang keyakinan. Tak mungkin para penjual keliling tersebut rela untuk bercapek-capek bahkan di tengah panas terik matahari jika bukan karena yakin bahwa pasti ada rizki yang tersimpan di antara gang-gang yang mereka lewati. Terus mengayuh sepeda bahkan rela berjalan kaki demi bisa memberi makan dan penghidupan bagi keluarga.
Sebab di muka bumi ini Allah SWT telah menjamin rezeki hambanya. Dalam al quran Allah SWT mengabarkan kepada hambaNya :
“….dan tidak ada satupun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah Rezekinya.” (TQS. Hud : 6)
Betapa maha baiknya Allah kepada hambaNya sebab dialah maha pemberi bagi setiap makhluknya. Disisi yang lain keyakinan memunculkan kekuatan untuk mendorong melakukan sesuatu. Manusia yang terus mengharap rahmat Allah tentulah ia yang tak pernah berputus asa. Sebab berputus asa dari rahmat Allah adalah ciri orang yang melampui batas.
“Katakanlah: “Hai hamba-hambaku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah” (az-zumar :53)
Terbayang, bagaimana seorang ayah yang ia adalah kepala keluarga sekaligus tulang punggung keluarga bahwa dengan terus berusaha dan selalu mengharap kepada Allah swt yakin bahwa Allah tidak pernah abai terhadap hambaNya.
Sungguh betapa kekuatan keyakinan memberi dorongan yang kuat sehingga membuat seseorang akan terus akan melakukan selama keyakinan itu terus ada dalam dirinya. Dan keyakinan itu tentu muncul dari keyakinannya pada sang pencipta dan pengatur urusan dunia ini yaitu Allah SWT Dialah al quwwah ar ruhiyyah. []
Note: Judul di atas diambil dari sebuah judul buku karya Ustadz Faqih Syarif. Isinya menceritakan bahwa kekuatan ruhiyyah memiliki dorongan yang paling kuat selama keyakinan itu masih ada.
Sumber : Islampos.