OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 31 Desember 2017

Di Balik Topi dan Terompet Tahun Baru Masehi

Di Balik Topi dan Terompet Tahun Baru Masehi

10Berita —  Bicara tentang tahun baru, sulit dilepaskan dari beragam atribut yang menyertainya, misalnya seperti tiupan terompet, topi kerucut dan pesta kembang api. Tapi tahukah Anda, mengapa atribut tersebut selalu menyertai perayaan tahun baru?

Dalam salah satu kajian kristologi, mantan pendeta asal Ambon, Ustadz Ahmad Kainama, memberi penjelasan mengapa simbol tersebut selalu muncul dalam perayaan tahun baru. Pelaksanaan itu semua adalah dalam rangka menyembah Dewi Isthar, yaitu roh perempuan yang diyakini sebagai dewi kesuburan.

Berikutnya perlu dipahami juga bahwa beberapa simbol yang menyertai perayaan tahun baru, erat kaitannya dengan budaya Paganisme (para penyembah berhala). Mengapa demikian? Berikut ini kami paparkan kajian Ustadz Ahmad Kainama yang dikuatkan dengan beberapa sumber dari yang lain.

Terompet tahun baru

Pertama: Terompet Tahun Baru

Terompet menjadi salah satu alat yang tak terpisahkan dari perayaan tahun baru. Setiap kali menjelang pergantian tahun, kita sering melihat para penjual terompet berkeliaran di setiap sudut pasar. Mulai dari pedagang kaki lima hingga gerai yang ada di setiap mall besar di tanah air.

Tidak banyak yang tahu makna di balik terompet yang ditiup menjelang detik-detik pergantian malam tanggal 31 Desember itu. Sehingga tak jarang masyarakat Islam yang latah mengikuti tradisi yang satu ini. Padahal tradisi meniup terompet di malam tahun baru sulit dilepaskan dari budaya paganisme.

Menurut mantan pendeta yang pernah diutus ke Haifa ini, asal muasal terompet adalah dari Horn, yaitu tanduk kambing yang panjang yang dilubangi lalu ditiup oleh kaum pagan untuk memanggil roh syaitan dalam satu peribadatan.

Sementara dalam banyak sumber lain disebutkan bahwa meniup trompet ini merupakan budaya masyarakat Yahudi ketika menyambut tahun baru Taurat yang jatuh pada bulan ketujuh atau tarikh 1 bulan Tishri dalam kalendar Ibrani kuno. Hal ini pun terpampang dalam Al-kitab Imamat 23; 24

“Katakanlah kepada orang-orang Isra’el, begini: Dalam bulan yang ketujuh, pada tanggal satu bulan itu, kamu harus mengadakan hari cuti penuh yang diperingati dengan meniup terompet, yakni hari pertemuan kudus,”(Imamat 23:24)

Pada malam tahun baru, masyarakat Yahudi melakukan muhasabah diri dengan tradisi meniup shofarot, yaitu sebuah alat musik jenis trompet. Bunyi shofarot adalah sama bunyinya dengan terompet kertas yang dibunyikan kebanyakan penyambut di malam Tahun Baru.

Sejarah mencatat sejak tahun 63 SM, Yahudi sudah akrab dengan penggunaan terompet. Dan hal itu berlangsung hingga zaman Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, Dalam banyak hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammelarang umatnya dari tradisi tersebut.

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW memikirkanbagaimana cara mengumpukan orang-orang untuk shalat berjamaah. Ada yang mengusulkan mengibarkan bendera ketika waktu shalat tiba. Ada juga yang mengusulkan memakai terompet. Nabi pun tidak setuju, beliau bersabda, ‘Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.’ Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng.

Nabi berkomentar, “Itu adalah perilaku Nasrani.”  (HR. Abu Daud, no.498 dan Al-Baihaqi, no.1704)

Setelah menyebutkan hadis di atas, Syaikhul islam mengatakan, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau tidak suka dengan terompet gaya yahudi yang ditiup, beliau beralasan, itu adalah kebiasaan Yahudi…(Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, Hal.117 – 118)

 

Topi tahun baru

Kedua: Topi Kerucut, Sanbenito

Dalam momen pergantian tahun baru, sahut-sahutan suara terompet biasa terdengar di mana-mana. Biasanya, anak-anak yang meniup terompet juga dipakaikan topi yang berbentuk kerucut. Menurut catatan sejarah, ternyata topi kerucut tersebut biasa diistilahkan dengan sebutan Sanbenito. Yaitu topi yang dipakai oleh muslim Andulusia yang murtad di bawah penindasan gereja katolik Roma.

Dalam kajian Kristologi yang disampaikan Ahmad Kainama, “Dahulu, ketika Ratu Spanyol berkuasa di Andalusia seluruh kaum muslimin dibantai, namun ia memberi jaminan hidup kepada orang Islam dengan dua syarat; kalau tetap mau tinggal di Andalusia maka keluar dari agama Islam (murtad), atau kalau tidak mau maka keluar dari wilayah tersebut. Ternyata, yang bertahan dengan imannya masih cukup banyak. Akhirnya mereka digiring ke pelabuhan dengan iming-iming akan dibawa pulang ke wilayah Islam. namun setelah mereka masuk dalam kapal, semuanya dipenggal dan kapalnya dibakar.”

Sementara itu, sebagian mereka yang tersisa takut, dengan terpaksa mereka menyatakan keluar dari Islam. Maka untuk membedakan mana yang sudah murtad, mereka dipaksa menggunakan topi berbentuk kerucut dengan nama Sanbenito, “Persis seperti yang dipakai anak kecil ketika ulang tahun,” ujarnya.

Topi itu digunakan saat keluar rumah agar memudahkan bagi para tantara ketika sewaktu-waktu ingin memenggal kepalanya.

Kembang api di tahun baru

Ketiga: Festival Kembang api

Pesta kembang api juga salah momen yang tidak bisa dilewatkan pada malam pergantian tahun baru. Budaya kembang api ini, juga erat hubungannya dengan orang Majusi penyembah Api. Jika dihubungkan dengan perayaan Natal, maka ada kaitannya dengan tiga orang Majus, yaitu; Caspar, Melchior dan Balthasar dari Persia datang membawa hadiah kepada Yesus ketika dilahirkan.

“Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang Majus dari Timur ke Yerusalem”(Matius 2:1)

Majus di sini jelas bermakna kaum penyembah api dari Persia. Lebih dalam lagi, sejarawan mencatat bahwa kaum Majusi Persia juga memiliki budaya perayaan tahun baru yang disebut dengan hari raya Nairuz, yaitu hari pertama pada tahun Syamsiyyah (Masehi), dan dia adalah termasuk hari raya bangsa Persia (Iran) hingga saat ini.

Menurut Ustadz Kainama, istilah kembang api dikenal juga sebagai fireworks. “Fire berarti api; Work berarti bekerja. Firework artinya api yang bekerja untuk mempesonakan banyak orang,” tuturnya.

Di dalam perayaan tahun baru itu, Kaum Majusi menyalakan api dan mengagungkannya, karena mareka adalah penyembah api. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai.

Hari raya ini lah yang pernah dilarang langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sampai di kota Madinah. Sebuah riwayat dari Anas dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang (berhijrah) ke Madinah, sedangkan mereka (penduduknya) memiliki dua hari khusus yang mereka bermain-main padanya.

Maka beliau bersabda, ‘Apakah maksud dari dua hari ini?’ mereka menjawab, ‘Kami biasa mengadakan permainan pada dua hari tersebut semasa masih Jahiliyah.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari itu dengan (hari) yang lebih baik daripadanya, yaitu hari (raya) Idul Adha dan Idul Fitri’,” (HR. Abu Dawud dan An-Nasai dengan sanad yang shahih, Bulughul Maram: 108 no.524).

Karena itu, para ulama sepakat bahwa mengikuti tradisi perayaan tahun baru orang-orang kafir adalah haram. Sebab, ia bagian dari bentuk menyerupai orang-orang kafir (tasyabbuh). Bahkan sebuah riwayat menyebutkan bahwa Abdullah bin Amr bin Ash pernah mengatakan:

مَنْ بَنَى بِأَرْضِ الْمُشْرِكِيْنَ وَصَنَعَ نَيْرُوْزَهُمْ وَمِهْرَجَانَاِتِهمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوْتَ خَسِرَ فِي يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”

Akhir kata, peranyaan tahun baru bukanlah tradisi Islam yang patut kita ikuti. Sebab, terlepas dari banyaknya simbol-simbol kekufuran yang terselip di dalamnya, Syariat Islam juga tegas menyatakan haram mengikuti perayaan tersebut. Maka alangkah lebih baiknya jika waktu tersebut, kita gunakan sebagai momen untuk bermuhasah dan meningkatkan amal ibadah kepada Allah.

Penulis: Fahrudin

Sumber : Kiblat.