OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 27 Desember 2017

Kaleidoskop 2017: Akhir Kasus Penista Agama

Kaleidoskop 2017: Akhir Kasus Penista Agama


10Berita  – Kasus penodaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama dapat menjadi pengingat bahwa mereka yang lancang menghina agama akan mendapat hukuman kontan di dunia.  Tepatnya Selasa, 9 Mei 2017, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto menjatuhkan hukuman penjara selama dua tahun kepada Ahok. Pekikan takbir dari massa kontra Ahok menjadi sambutan vonis bagi “sang penista agama” di Auditorium Pengadilan Negeri Jakarta Utara kala itu.

Kasus Ahok semenjak akhir tahun 2016 hingga 2017 terus menjadi sorotan publik. Pasalnya, singgasana Ahok dalam menjabat Gubernur DKI Jakarta dengan dukungan pemerintah hingga akhir vonis, seakan hukum menjadi pesanan dan by design. Terbukti berbelitnya proses hukum Ahok, dengan digelarnya sidang sebanyak 21 kali  telah memakan waktu hampir 5 bulan, dengan menghadirkan hampir 50 saksi, baik dari saksi pelapor maupun ahli atau pakar, yang didatangkan dari kubu Jaksa Penuntut Umum (JPU) hingga kubu Ahok. Jelas waktu itu terlalu panjang dibandingkan dalam menangani kasus penistaan agama serupa.

Baca juga: Ada Permintaan Sidang Ahok Ditunda, GNPF-MUI: Alasannya Tak Mendasar

Kuatnya dukungan Ahok terus mengalir hingga pertarungan Pilkada DKI Jakarta, meskipun dirinya saat itu terjerat kasus penodaan agama. Akan tetapi upaya mempertahankan Ahok melalui Gubernur DKI pun berakhir kandas, dengan kekalahan suara dari  Paselon No 3 Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Upaya itu sia-sia, vonis Majelis Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar Ahok segera ditahan dengan penjara selama 2 tahun di LP Cipinang. Hukuman tersebut berbeda dari tuntutan JPU sebelumnya, hukuman 1 tahun penjara dengan 2 tahun masa percobaan.

Ahok dalam tuntutan jaksa dikenai Pasal 156 KUHP mengenai pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Dengan pertimbangan kesaksian para saksi, pengadilan menilai Ahok melecehkan Al Maidah 51. Pertimbangan awal didasarkan pada pernyataan Ahok saat berbicara di Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016 yang mengandung frase “dibohongi pakai Al Maidah 51”. Dalam pertimbangannya, hakim menilai perkataan Ahok saat itu merupakan ungkapan perasaan dan pikiran terdakwa.

Selanjutnya, hakim anggota juga membacakan Surat Al Maidah 51. Dalam pertimbangan Majelis Hakim menyebutkan kesaksian para saksi terkait kata auliya. Saksi ahli menyebut kata itu berarti melindungi, teman setia, yang menolong, yang mendampingi, atau yang menemani. Bisa juga berarti pemimpin, teman dekat, atau pembela.

Baca juga: Sidang Vonis Ahok, Hakim: Menurut Pengadilan Terdakwa Telah Melecehkan Al Maidah 51

Hakim Ketua Dwiarso menjelaskan beberapa poin yang memberatkan hingga Ahok sapaan Basuki dijatuhkan vonis dua tahun penjara, terdakwa tidak merasa bersalah, perbuatan terdakwa telah mencederai perasaan umat Islam dan juga memecah kerukunan. Sementara yang meringankan adalah belum pernah dihukum, bersikap sopan dan kooperatif selama persidangan.

Alih-alih ditahan di LP Cipinang sebagai tahanan, Ahok mendapatkan perilaku khusus dari pihak lapas. Kedatangannya di Lapas disambut dan dijamu bak tamu istimewa. Di satu sisi vonis Ahok membuat pendukungnya terpukul, hal anarkis pun terjadi dengan ricuhnya massa pro Ahok di depan LP Cipinang. Mereka menilai hukum tidak adil, Ahok difitnah, menuntut penangguhan dan kehisterisan lainnya, hingga kerusakan pagar lapas tak terhindarkan. Kericuhan itu ternyata tak dianggap anarkis oleh aparat kepolisian, bukan menertibkan massa wal hasil justru keganjilan di mana Ahok dipindahkan dari LP Cipinang ke Mako Brimob alasan keamanan.

Menurut Ketua Komisi Hukum MUI, KH. Ikhsan Abdullah, tindakan para pendukung Ahok ini sudah mencapai tahap radikal, bahkan tidak rasional lagi. “Ini kan persoalan hukum Ahok karena ucapannya, dan sudah diputus di pengadilan, tapi kenapa malah dibawa keluar dari urusan hukum, ini gak rasional. Kalau memang tidak setuju dengan putusan kan bisa ajukan banding,” ungkapnya pada Kiblat.net di Jakarta, Rabu (17/05).

Terlebih, dengan adanya aksi 1.000 lilin dukungan untuk Ahok, ia menganggap hal itu sebagai bibit radikal yang nyata. Karena banyak rambu-rambu dilanggar dalam aksi yang belakangan berakhir ricuh di bebarapa tempat ini. “Dukungan dengan lilin, menunjukkan karakter yang sebaliknya dari umat Islam yang sukses dengan rangkaian Aksi Bela Islam-nya. Rambu-rambu hukum banyak yang dilanggar, semisal demo haruslah berakhir pada pukul 6 sore tapi sampai pukul 12 malam masih saja berlangsung. Bahkan ada tindakan intoleran juga dalam aksi Ahoker ini, yaitu ketika adzan Maghrib, mereka malah berteriak-teriak, ini sikap intoleran yang nyata,” ungkapnya.

Baca juga: Kapolri Sebut Demo Umat Islam Potensial Anarkis, Demo Pro Ahok Tidak

Pemindahan Ahok dari LP Cipinang ke Mako Brimob dinilai tak wajar, Pengacara LBH Street Lawyer, Mohammad Kamil Pasha mengatakan putusan hakim telah menyebut Basuki Tjahaja Purnama terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan Agama. Namun, faktanya Ahok baru menjalankan masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang tidak sampai sehari, kemudian dipindahkan ke Mako Brimob, yang tak tergolong Lapas.

“Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa Pembinaan terhadap Narapidana dilakukan di lembaga Pemasyarakatan atau Lapas,bukan di Mako Brimob,” kata Kamil melalui pernyataan tertulisnya, Kamis (21/12/2017).

Sebenarnya, seorang waga binaan Lapas memungkinkan menjalani pemindahan dengan berbagai alasan, termasuk alasan keamanan. Tetapi, pemindahaan tersebut haruslah dari Lapas ke Lapas lainnya, bukan ke Mako Brimob. Pemindahan itu justru menimbulkan kecurigaan bahwa Ahok mendapatkan perilaku istimewa di Rutan Mako Brimob

Baca juga: Tengah Malam, Ahok Dipindah dari Rutan Cipinang ke Mako Brimob

Terbukti setelah 7 bulan mendekam di Mako Brimob, Ahok mendapatkan remisi Natal. Padahal  dalam Pasal 34 ayat (2) & (3) PP No.99 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas peraturan pemerintah no.32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dinyatakan bahwa salah satu syarat mendapatkan remisi adalah telah menjalani masa hukuman lebih dari enam bulan di Lapas. Sedangkan Basuki Tjahaja Purnama belum sehari pun menjalankan hukuman di Lapas, sehingga ia tidak berhak mendapatkan remisi.

Aksi Bela Islam
Melalui lisan Ahok yang menistakan agama, ada sebuah ibroh persatuan umat dan tumbuhnya  kesadaran umat akan pentingnya Pemimpin Muslim.  Melalui gerakan Aksi Bela Islam, mengawal fatwa Majelis Ulama Indonesia yang telah menyatakan bahwa Ahok telah menista agama, menggerakkan hati umat untuk membela agamanya. Pertempuran opini antara umat dan pemerintah begitu terasa, alih-alih menahan Ahok segera justru lahir upaya mengkriminalisasi ulama atau penggerak Aksi Bela Islam.

Beberapa ulama dijerat laporan pidana dan aktivis ditangkap dengan tuduhan makar. Penggebosan terus dilakukan, dengan menjatuhkan mental umat. Mahasiswa-mahasiswa muslim dibungkam dan diancam. Alhasil tuduhan pidana itu hanya omong kosong belaka.

Mengutip artikel karya  Muh. Faruq Al-Mundzir, pemenang lomba karya tulis “Refleksi Setahun Aksi 212 : Berjaya Karena Rencana” yang diselenggarakan oleh Kiblat.net. Peristiwa 2 Desember 2016 (212) merupakan aksi yang dilakukan oleh active public. Mereka adalah orang-orang yang telah sadar terhadap problem yang sedang dihadapi. Tak hanya itu, didorong oleh semangat juang membela agama, publik 212 bersedia mengorganisir diri bersama-sama. Jubah organisasi, kelompok, latar belakang mereka ganti dengan kebanggaan sebagai sesama muslim.

Baca juga: Refleksi Setahun Aksi 212: Berjaya Karena Rencana

Jadilah ia aksi ‘demontrasi’ terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Betapa tidak, 7 juta orang dari berbagai provinsi berjuang untuk hadir. Membuat Jakarta penuh sesak. Padahal, pihak aparat menggunakan berbagai cara untuk menghalang-halangi mereka. Dahsyatnya, orang sebanyak itu bisa terkontrol, berbaris rapi dalam shaf-shaf, tak merusak taman, tak mengotori dan justru menebar damai. Suasana diliputi ketakdziman kepada ulama dan ukhuwah muslimin.

Sekali lagi, kondisi tersebut hanya bisa lahir dari kesadaran (aware) dan keinginan bersatu (organize). Mereka datang bukan karena ikut-ikutan, atau tanpa tujuan, apalagi untuk hiburan. Kehadiran mereka benar-benar bertujuan menuntut haknya sebagai warga negara beragama. Akhirnya, aksi bersejarah yang tadinya dituduh macam-macam justru menuai pujian. Bahkan menjadi sorotan beberapa negara asing.

Tak mengherankan jika aksi 212 tidak terhenti di hari itu saja. Ia menjadi sebuah gerakan massa yang tak terikat oleh ruang dan waktu. Tak hanya terjadi di monas dan sekitarnya, tapi kesadaran itu diaplikasikan menjadi sebuah gerakan menuju kebangkitan. Dilakukan dari hari kehari, bulan ke bulan, hingga tak terasa mencapai setahun. Di bidang ekonomi, lahir 212 mart, bidang media social, moslem cyber army muncul tanpa komando. Mereka berjuang menangkis opini negatif tentang islam, sementara di sisi lain, muncul kesadaran berpolitik umat islam.

Baca juga: Reuni 212 dan Energi Positif Bangsa

Ini adalah momentum yang telah lama dinanti, namun juga mengundang bahaya. Dinanti karena telah berkali-kali umat islam tak berdaya menghadapi kedzoliman, namun bahaya karena mengundang perhatian lebih dari pembenci islam yang punya sumberdaya. Sehingga, jika tak istiqamah terus berakrab ria, justru menjadi malapetaka.

Di sinilah pentingnya menyusun manajemen strategis guna mencapai tujuan bersama. Perlu ada standing plan (rencana jangka panjang) agar potensi umat tak terbuang sia-sia dan momentum tetap terjaga. Manajement strategis berfungsi mengatur langkah-langkah yang perlu dilakukan umat islam. Ia mendetailkan tahap demi tahap, siapa melakukan apa (right people in the right place), bagaimana melakukan sesuatu (how to do something), dan kapan target harus tercapai (timeline).

Setidaknya, manajemen strategis yang diterapkan menyasar tiga hal paling penting; pertama, ekonomi mandiri. Salah satu hal yang menjadi tuntutan masa ini adalah ekonomi. Di tengah globalisasi, kaum yang menguasai ekonomi akan berjaya, sebaliknya yang melarat akan tertindas. Di sisi lain, kekayaan Negara yang berlimpah ruah tidak dimiliki kecuali segelintir orang. Muslim yang notabene mayoritas penduduk hanya menjadi mesin uang bagi pengusaha rakus yang justru merusak barisan kaum muslimin. Walau kini telah hadir upaya membangkitkan ekonomi keummatan, seperti gerakan 212 mart, namun belum terorganisir rapi antara satu dan lainnya.

Kedua, media massa. Informasi yang benar adalah kebutuhan mendasar setiap individu atau sebuah kelompok. Informasi menentukan tindakan sebagai respon. Berita bohong bisa menjadi alat ampuh untuk memecah kekuatan lawan, karena menimbulkan respon yang kurang tepat. Tampaknya, itulah yang disadari oleh musuh-musuh islam. Sehingga, pengelolaan isu yang dilakukan media massa mereka bertujuan menguras energi umat islam. Bahkan memainkan politik belah bambu melalui corong media. Hal itu terbukti ampuh menimbulkan sikap saling curiga antar umat islam sendiri. Akhirnya, umat islam sibuk berkonflik, sementara pemilik media tertawa.

Ketiga, kekuasaan politik. Politik merupakan sebuah cara mengendalikan orang lain untuk kepentingan politisi (orang yang berpolitik). Maka, politik bisa positif dan bisa negatif. Tergantung siapa politisinya. Jika yang mengendalikan politik adalah penjahat, maka ia menjadikan politik sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat kepada kejahatan, sebaliknya, jika politik dikuasai orang baik, ia menjadi alat ampuh mengajak manusia kepada kebenaran. Seorang muslim yang percaya segala tindakannya akan dibalas oleh Allah SWT akan berpikir berkali-kali jika sewenang-wenang dalam memutuskan sebuah perkara. Apalagi, jika perkara tersebut menyangkut hajat orang banyak. Dengan demikian, sudah sepatutnya umat islam menumbuhkan kesadaran berpolitik. Apalagi, dalam sistem demokrasi yang diaanut Indonesia, suara mayoritas adalah suara tuhan. Tentu, jika umat islam yang merupakan 85% penduduk Indonesia bersatu, akan hadir politisi-politisi yang bekerja untuk kepentingan Islam.

Namun dalam menyusun manajemen strategi, perlu memperhatikan lima unsur mendasar, yaitu ; spesifik, terukur, bisa dicapai, masuk akal, serta adanya batas waktu. Orang-orang yang terlibat dalam merancang harus memiliki data akurat serta mengerti situasi kondisi umat.

Terakhir, walau bagaimanapun, ketiga hal di atas merupakan bidang paling urgen, namun lebih kepada muamalah sesama manusia. Sedangkan, tak akan berkah dan bernilai hubungan antar makhluk (hablun min an-nas)– sebaik apapun ia – jika tak memperhatikan hubungan dengan sang pencipta, Allah SWT (hablun min Allah). Hubungan baik dengan Allah SWT adalah sebuah keharusan yang tak dapat ditawar. Ia menjadi pondasi bagi setiap rencana yang disusun. Beribadah secara total adalah sumber kekuatan yang akan membuat setiap keputusan serta tindakan bernilai atau tidak.

Pada akhirnya, kasus penodaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama dapat menjadi pengingat bahwa mereka yang lancang menghina agama akan mendapat hukuman kontan di dunia. Ini adalah warning bagi mereka yang lancang menghina agama Islam. Semua kasus penodaan agama akan berakhir pada kesengsaraan, baik seperti tragedi penembakan terhadap penoda agama Redaksi Majalah Charlie Hebdo di Paris dan kasus lainnya.

 

Penulis : Hafis Syarif

 Sumber : Kiblat.