OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Kamis, 25 Januari 2018

4 Tahun Berkuasa, Rakyat Tagih Janji Pemerintah Stop Impor

4 Tahun Berkuasa, Rakyat Tagih Janji Pemerintah Stop Impor

10Berita  – Publik menagih janji Presiden Joko Widodo saat kampanye yang akan meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia melalui program swasembada pangan.

Faktanya setelah lebih tiga tahun berkuasa, swasembada pangan yang dijanjikan tak kunjung terealisasi, justru impor makin merajalela.

Menyetop impor beras merupakan salah satu janji pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla saat kampanye Pilpres 2014. Targetnya, Indonesia sudah tidak lagi mendatangkan beras dari luar negeri pada tahun ketiga pemerintahan Jokowi – JK.

“Kalau ke depan Jokowi-JK yang jadi, kita harus berani setop impor pangan, setop impor beras, setop impor daging, bawang, kedelai, sayur buah, ikan, karena semua itu kita punya,” kata Jokowi saat kampanye Pilpres di Cianjur, Jawa Barat, Rabu, 2 Juli 2014.

Tahun kedua berkuasa (2015), janji swasembada pangan kembali digaungkan.

“Saya sampaikan berkali-kali bahwa dalam 3 tahun saya targetkan kepada Menteri Pertanian untuk bisa swasembada, tiga tahun tidak boleh lebih. Mungkin dimulai dengan beras, kemudian nanti jagung, kemudian gula, kemudian tahun berikut kedelai, terus daging, semuanya…Saya meyakini dalam tiga tahun kita akan kelimpahan yang namanya beras. Tidak ada impor lagi untuk beras setelah 3 tahun,” kata Jokowi saat Pembukaan Munas HIPMI XV Tahun 2015, di Bandung, 12 Januari 2015 seperti dikutip dari laman Setneg.

Kata-kata boleh manis tapi kenyataanya pahit. Tahun 2018 ini, Jokowi-JK sudah memasuki tahun keempat kekuasaannya. Faktanya impor pangan makin merajalela. Bukan hanya beras, daging sapi/kerbau, gula, bahkan garam juga mesti didatangkan dari luar negeri. Padahal negeri ini memiliki tanah subur, lautan yang menghasilkan garam juga sangat luas. Kenapa masih impor?

Dan polemik terbaru adalah keputusan pemerintah mengimpor 500 ribu ton beras. Alasannya, untuk menekan harga beras yang masih tinggi diduga karena stok beras di beberapa daerah belum mencukupi kebutuhan masyarakat.

Alasan itu ramai-ramai dibantai oleh kepala daerah yang menolak impor sekaligus menginformasikan bahwa daerahnya masih surplus beras. Para kepala daerah menilai bahwa keputusan yang dibuatnya akan merugikan petani. Apalagi, Indonesia akan memasuki masa panen di bulan Februari-Maret. Selain itu, penolakan tersebut juga bertujuan untuk melindungi petani daerah agar tidak merugi.

Harga pangan yang sering bergejolak mengindikasikan adanya masalah besar dalam ketahanan pangan nasional.
Bagaimana mungkin pemerintah bisa mewujudkan janjinya untuk menyejahterakan rakyat dan meningkatkan harga diri bangsa di mata dunia melalui berbagai prestasi kelas dunia, jika soal pangan yang nota bene urusan perut saja tak mampu mengatasinya.

Dalam teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, pangan hanyalah kebutuhan dasar (basic need) manusia. Jika kebutuhan paling dasar saja tak terpenuhi, tentu sulit untuk menaikkan level ke kebutuhan berikutnya.

Buntutnya, rakyat pun bertanya,”Apa saja sih kerja pemerintah. Apa kerja Presiden yang terus blusukan ke berbagai pelosok daerah. Benar-benar kerja atau hanya pencitraan saja?” Silakan menilainya. (maida)

Sumber : Eramuslim