OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 09 Januari 2018

Bagaimana Islam Menang dan Kehilangan Pemimpin dalam Iptek

Bagaimana Islam Menang dan Kehilangan Pemimpin dalam Iptek

10Berita , Nasiruddin Al-Tusi masih seorang pemuda ketika Assassin memberinya tawaran yang tak dapat ditolak. Kampung halamannya telah hancur oleh tentara Mongol, dan begitulah, pada awal abad ke-13, Al-Tusi yang memberi harapan seorang astronom dan filsuf. Ia datang dan tinggal di kota benteng legendaris Alamut di pegunungan Persia bagian utara.

Dilansir dari The New York Times, Al-Tusi tinggal di antara sekte Muslim Syiah yang sesat. Anggota mereka melakukan pembunuhan politik sebagai taktik dan dijuluki hashishinn, karena penggunaan hashishmereka.

Meskipun Al-Tusi kemudian mengatakan, dia telah ditahan di Alamut. Perpustakaan di sana terkenal dengan keunggulannya, dan Al-Tusi berkembang. Ia menerbitkan karya-karya mengenai astronomi, etika, matematika, dan filsafat. Perkembangannya itu menandai Al-Tusi sebagai salah satu pemuda hebat dan intelektual seusianya

Namun, ketika tentara Halagu, cucu Genghis Khan berkumpul di luar kota pada 1256, Al-Tusi memiliki banyak masalah untuk menentukan di mana kesetiaannya terbentang. Dia bergabung dengan Halagu dan menemaninya ke Baghdad, yang jatuh pada 1258. Halagu bersyukur membangun sebuah observatorium di Maragha, di tempat yang sekarang berada di sebelah barat laut Iran.

Kecekatan dan fleksibilitas ideologis Al-Tusi mengejar sumber daya mempraktikkan sains, terbayar. Para ilmuan mengatakan, jalan menuju astronomi modern dilalui dari karya yang Al-Tusi dan pengikutnya praktikkan di Maragha dan Alamut pada abad ke-13 dan ke-14. Ini adalah jalan yang bertiup dari Athena ke Alexandria, Baghdad, Damaskus, dan Cordoba melalui istana para khalifah dan laboratorium basement alkemis. Al-Tusi tak hanya berkutat dengan astronomi, tetapi semua jenis sains.

Alquran memerintahkan umat Islam mencari ilmu dan membaca sifat untuk tanda-tanda Sang Pencipta. Terinspirasi sebuah hibah pengetahuan Yunani kuno, umat Islam menciptakan sebuah masyarakat yang pada abad pertengahan menjadi pusat ilmiah dunia. Bahasa Arab itu identik dengan pembelajaran dan sains selama 500 ratus tahun, zaman keemasan yang dapat menghitung di antara kreditnya prekursor universitas modern, aljabar, nama bintang, dan pengertian sains sebagai penyelidikan empiris.

"Tidak ada sesuatu di Eropa yang bisa menyalakan lilin ihwal apa yang sedang terjadi di dunia Islam sampai sekitar tahun 1600," kata seorang profesor sejarah sains dari Universitas Oklahoma Jamil Ragep.

Regep menganggap, hal yang dibuat Al-Tusi sebuah infus pengetahuan ke Eropa Barat yang memicu renaisans dan revolusi ilmiah.

Seorang pensiunan profesor sejarah sains Arab dari Universitas Harvard, Abdelhamid Sabra mengatakan, peradaban bukan untuk dibenturkan. Namun, masyarakat dapat belajar dari satu sama lain.

"Islam adalah contoh bagusnya. Pertemuan intelektual Arab dan Yunani adalah salah satu peristiwa terbesar dalam sejarah. Skala dan konsekuensinya sangat besar, tidak hanya untuk Islam tapi juga untuk Eropa dan dunia," tutur dia.

Sabra mencirikan ilmu pengetahuan Islam sebagai bidang yang bahkan belum dimulai. Ia mengaku, pernah membaca sejumlah karya ilmiah abad pertengahan yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab. Bahkan, beberapa manuskrip belum pernh dibaca ilmuan moderen.

"Secara tradisional, Islam telah mendorong sains dan pembelajaran. Tidak ada konflik antara Islam dan sains," kata perwakilan Pusat Pemahaman Muslim-Kristen di Georgetown Osman Bakar.

Seorang ahli geologi di Universitas Boston, Farouk El-Baz mengatakan, pengetahuan adalah bagian dari kredo. "Bila Anda tahu lebih banyak, Anda melihat lebih banyak bukti tentang Tuhan," kata penasihat sains untuk Presiden Anwar el-Sadat dari Mesir itu.

Osman Bakar mengatakan, umat Muslim memiliki semacam nostalgia masa lalu, ketika mereka bisa berpendapat, mereka adalah pembina sains yang dominan. Hubungan antara sains dan agama telah menghasilkan banyak perdebatan di dunia Islam.

Beberapa ilmuwan dan sejarawan menyerukan ilmu pengetahuan Islam 'yang diinformasikan oleh nilai-nilai spiritual yang mereka katakan tentang sains Barat diabaikan. Namun ada yang berpendapat konservatisme religius di Timur telah mengurangi semangat skeptis yang diperlukan untuk ilmu pengetahuan yang baik.

Usia emas

Ketika tentara Muhammad menyapu dari semenanjung Arab pada abad ketujuh dan kedelapan, mencaplok wilayah dari Spanyol ke Persia, mereka juga menganeksasi karya Plato, Aristoteles, Democritus, Pythagoras, Archimedes, Hippocrates dan pemikir Yunani lainnya. Seorang sejarawan sains abad pertengahan di Universitas Wisconsin Budaya Helenistik, David Lindberg mengatakan budaya Helistik telah menyebar ke timur oleh tentara Alexander Agung dan oleh kelompok minoritas agama, termasuk berbagai sekte Kristen.

Penakluk Muslim yang sebagian besar buta huruf beralih ke inteligensia lokal untuk membantu mereka memerintah. Dalam prosesnya, mereka menyerap pelajaran bahasa Yunani yang masih harus dikirim ke Barat secara serius, atau bahkan diterjemahkan ke bahasa Latin.

"Barat memiliki versi tipis pengetahuan Yunani. Timur memiliki semuanya," kata Lindberg.

Pada abad kesembilan di Baghdad, Khalifah Abu al-Abbas al-Mamun mendirikan sebuah institut, House of Wisdom untuk menerjemahkan manuskrip. Di antara karya pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah karya hebat Astronomi Agung Ptolemy, Ptolemy yang menggambarkan alam semesta di mana matahari, bulan, planet, dan bintang mengelilingi bumi. Al-Magest, karena karya itu diketahui ilmuwan Arab, menjadi dasar kosmologi selama 500 tahun ke depan.

Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Muslim berpartisipasi dalam pembangkitan sains, seni, kedokteran dan filsafat yang bertahan setidaknya 500 tahun dan menyebar dari Spanyol ke Persia. Puncaknya, berada di abad ke 10 dan 11 ketika tiga pemikir besar melintasi Timur, yakni, Abu Ali al-Hasan ibn al-Haytham, juga dikenal sebagai Alhazen, Abu Rayham Muhammad al-Biruni, dan Abu Ali al-Hussein Ibnu Sina juga dikenal sebagai Avicenna.

Al-Haytham, lahir di Irak pada 965, bereksperimen dengan cahaya dan penglihatan, meletakkan dasar bagi optik modern dan gagasan bahwa sains harus didasarkan pada eksperimen dan juga argumen filosofis. Dia berpangkat dengan Archimedes, Kepler dan Newton sebagai ilmuwan matematika yang hebat, kata Lindberg.

Ahli matematika, astronom, dan ahli geografi Al-Biruni yang lahir di bagian Uzbekistan pada 973. Ia menulis sekitar 146 karya yang berjumlah 13 ribu halaman, termasuk sebuah studi sosiologis dan geografis India yang luas.

Ibnu Sina adalah seorang dokter dan filsuf yang lahir di dekat Bukhara (sekarang di Uzbekistan) pada 981. Dia mengumpulkan ensiklopedia medis satu juta kata, Canons of Medicine yang digunakan sebagai buku teks di bagian barat sampai abad ke-17.

Siapa pun yang mempelajari anatomi akan meningkatkan kepercayaannya pada kemahakuasaan dan keesaan Tuhan Yang Maha Kuasa, sebuah pepatah yang sering dikaitkan dengan Abul-Walid Muhammad Ibn Rushd yang juga dikenal sebagai Averroes, seorang ilmuwan anatomi abad ke-13.

Mengetuk pintu surga

Alasan lain, Islam adalah satu dari sedikit agama dalam sejarah manusia dimana prosedur ilmiah diperlukan untuk ritual keagamaan. Seorang sejarawan sains di Johann Wolfgang Universitas Johann Wolfgang Goethe, David King mengemukakan dalam bukunya Astronomy in the Service of Islam, pada 1993, Orang-orang Arab selalu mengetahui tentang bintang-bintang dan menggunakannya untuk menavigasi padang pasir, tetapi Islam mengangkat taruhannya untuk astronomi.

Syarat yang umat Islam hadapi adalah mengarah ke Makkah untuk sholat. Tentu hal itu butuh pengetahuan tentang ukuran dan bentuk bumi. Pikiran astronomi terbaik dunia Muslim menangani pekerjaan menghasilkan tabel atau diagram dimana kiblat, atau arahan suci, dapat ditemukan dari manapun di dunia Islam. Upaya mereka meningkat dengan presisi yang jauh melampaui kebutuhan para petani yang akan menggunakannya.

Para astronom di observatorium Samarkand, yang didirikan sekitar 1420 oleh penguasa Ulugh Beg, mengukur posisi bintang sampai sepersepuluh derajat.

Astronomi Islam mencapai puncaknya, setidaknya dari perspektif Barat, pada abad ke-13 dan ke-14, ketika Al-Tusi dan penggantinya mendorong batas-batas pandangan dunia Ptolemeus yang telah memerintah selama satu milenium.

Menurut para filsuf, benda langit seharusnya bergerak berputar dengan kecepatan yang seragam. Namun, keindahan usaha Ptolemeus untuk menjelaskan gerakan planet dan Matahari yang sangat tidak biasa seperti yang terlihat dari Bumi dirusak oleh koreksi seperti orbit tanpa orbit, dikenal sebagai epicycles, dan modifikasi geometris.

Al-Tusi menemukan cara mengembalikan sebagian besar simetri ke model Ptolemy dengan menambahkan pasang epicycles yang dirancang dengan cerdik ke orbit masing-masing. Mengikuti jejak Al-Tusi, astronom abad ke 14, Ala al-Din Abul-Hasan ibn al-Shatir telah berhasil melangkah lebih jauh dan membangun model yang benar-benar simetris.

Copernicus yang menjungkirbalikkan alam semesta Ptolemeus pada 1530 dengan mencetuskan planet-planet berputar mengelilingi matahari, mengungkapkan gagasan yang serupa dengan para astronom Muslim di tulisan awalnya. Hal ini menyebabkan beberapa sejarawan menyarankan, ada hubungan yang tidak diketahui sebelumnya antara Copernicus dan astronom Islam. Walaupun karya ibn al-Shatir atau al-Tusi tidak pernah diterjemahkan dalam bahasa Latin, maka tak diketahui dunia Barat.

Astronom dan ahli sejarah astronomi di Harvard Owen Gingerich percaya Copernicus dapat mengembangkan gagasannya secara independen, tetapi menulis di Scientific American keseluruhan gagasan untuk mengkritik Ptolemy dan mereformasi modelnya adalah bagian dari iklim pendapat yang diwarisi oleh Barat Latin dari Islam.

Penurunan timur

Mengapa ilmu Timur tidak maju juga? Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu dengan memuaskan. Sabra dari Harvard menawarkan konstelasi alasan, antara lain, kerajaan Islam mulai meraut pada abad ke-13 oleh Tentara Salib dari Barat dan Mongol dari Timur.

Orang-orang Kristen menaklukkan Spanyol dan perpustakaannya yang megah di Cordoba dan Toledo, penuh dengan pembelajaran Arab. Akibatnya, pusat pembelajaran Islam mulai kehilangan kontak satu sama lain dengan Barat. Itu menyebabkan erosi bertahap di dua pilar utama sains, komunikasi dan dukungan finansial.

Di Barat, sains mampu membayar sendiri teknologi baru seperti mesin uap dan untuk menarik pembiayaan dari industri, tetapi di Timur tetap bergantung pada patronase dan keingintahuan para sultan dan khalifah. Selanjutnya, Ottoman, yang mengambil alih tanah Arab pada abad ke-16, adalah pembangun dan penakluk, bukan pemikir.

"Anda tidak bisa mengharapkan sains menjadi primadona sedangkan masyarakat tidak," kata , kata El-Baz dari Universitas Boston.

Yang lain berpendapat, bagaimanapun, ilmu pengetahuan Islam nampaknya hanya akan menurun bila dilihat melalui mata Barat dan sekuler. Mungkin hidup tanpa revolusi industri jika anda memiliki cukup unta dan makanan, kata King.

"Mengapa sains Muslim turun? Itu pertanyaan sangat Barat. Ini berkembang selama seribu tahun, tidak ada peradaban di bumi yang berkembang sedemikian lama dengan cara itu," tutur dia.

Perang sains Islam

Pertemuan dengan kekuatan kolonial Barat pada abad ke-19 menghasilkan kelaparan sains dan teknologi Barat, atau setidaknya kekuatan ekonomi dan militer yang dapat mereka hasilkan. Para reformator bertekad memodernisasi sistem pendidikan Timur untuk memasukkan sains Barat dapat membantah umat Islam hanya mereklamasi ulang mereka sendiri, karena Barat telah mewarisi sains dari dunia Islam.

Dalam beberapa hal upaya ini telah berhasil. Di negara-negara tertentu silabus sains cukup modern. Bahkan di Arab Saudi, salah satu negara Muslim paling konservatif, kelas sains dilakukan dalam bahasa Inggris.

Seorang fisikawan dan profesor Pakistan di Universitas Quaid-e-Azam di Islamabad, Pervez Hoodbhoy mengatakan sains masih tertinggal di dunia Muslim. Ia menjabarkan Muslim secara serius kurang terwakili dalam sains, terhitung kurang dari satu persen ilmuwan dunia. Sementara mereka hampir seperlima populasi dunia. Israel memiliki hampir dua kali lebih banyak ilmuwan yang disatukan oleh negara-negara Muslim.

Ulama lainnya mengatakan sikap Muslim konservatif terhadap sains tidak begitu bermusuhan seperti penderita skizofrenia, menginginkan manfaatnya tapi bukan pandangan dunia. Mereka mungkin menggunakan teknologi modern, tapi tidak menangani masalah agama dan sains, kata Bakar.

Kebanyakan ilmuwan yang bekerja cenderung mencemooh gagasan sains dapat dibagi menjadi jenis rasa etnis, agama atau jenis lainnya. Hanya ada satu alam semesta. Proses bertanya dan menjawab pertanyaan tentang alam, akhirnya menghapus keadaan tertentu dari mana pertanyaan tersebut muncul.

Dalam bukunya, Hoodbhoy menceritakan bagaimana Dr Salam, Dr Steven Weinberg, yang sekarang berada di Universitas Texas, dan Dr Sheldon Glashow di Harvard, membagikan Hadiah Nobel untuk menunjukkan elektromagnetisme dan yang disebut gaya nuklir lemah adalah manifestasi yang berbeda dari satu kekuatan.

Dr Salam dan Dr Weinberg telah menemukan kontribusi yang sama terhadap teori tersebut secara independen. Terlepas dari fakta, D. Weinberg adalah seorang ateis, sementara Dr Salam adalah seorang Muslim taat.

"Ilmu itu internasional. Tidak ada yang namanya sains Islam. Ilmu itu seperti membangun gedung besar, sebuah piramida. Setiap orang memasang satu blok. Blok ini tidak pernah memiliki agama. Ini tidak relevan, warna orang yang memasang blok," tutur El-Baz.

Sumber : Republika.co.id