Bully Anies-Sandi, Yuk...!
dok. Istimewa
Ady Amar
Ketidaksukaan itu haruslah ditempatkan secara proporsional.
10Berita , Oleh: Ady Amar *)
Seorang kawan memasukkan saya ke dalam grup WhatsApp yang penghuninya tidak ada yang saya kenal, kecuali seorang tadi ...
Dialog yang muncul membahas isu politik secara naif yang tidak jelas ujung pangkalnya. Sampai, salah seorang anggota grup memposting ajakan yang keterlaluan, Bully Anies-Sandi, Yuk ... dan lalu beberapa komen muncul mengiyakan, ada pula dengan emoji ketawa seolah menyetujui tawaran itu.
Berada di grup ini, sekitar dua pekan, saya memilih “bertahan” untuk sekadar melihat pemahaman kelompok lain dalam melihat persoalan bangsa yang lebih luas. Tidak pernah sekali pun saya mengomentari, urun saran, atau menanggapi pendapat anggota grup yang pemahaman politik, sosial, dan ideologinya tidak karuan. Sampai pada unggahan mem-bully Anies-Sandi itu, terpaksa saya tidak tahan untuk tidak berkomentar ...
Memangnya salah apa Anies-Sandi sehingga mesti di-bully. Saya tambahkan lagi, Anies-Sandi itu gubernur dan wakil gubernur DKI Jaya yang terpilih, lalu kenapa mesti dipermasalahkan keterpilihannya? Tidak satu pun anggota grup yang menanggapi protes itu ...
Terpaksa saya memposting tulisan berikut, bahwa bully itu tindakan pengecut, tindakan seseorang yang melihat perbedaan itu mesti dihabisi, memiliki pikiran cupet, anti-demokrasi, dan tidak pantas hidup di bumi Pancasila ...
Tetap saja postingan saya tidak diindahkan. Tentu tidak masalah. Sebagian dari mereka yang anti dengan perbedaan pastilah membacanya, yang penting pesan itu sampai. Itu sudah cukup. Maka, saya memutuskan left dari grup itu.
Tidak suka pada munculnya calon pemimpin tertentu, tentu tidak masalah. Tidak ada yang boleh memaksa seseorang untuk suka pada pilihan orang lain. Namun demikian, ketidaksukaan itu haruslah ditempatkan secara proporsional.
Setelah perhelatan proses demokrasi dalam kasus Pilkada DKI Jaya selesai, dan memenangkan pihak yang kebetulan bukan orang yang kita pilih, maka hasilnya harus kita terima sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri. Nalar kita mestinya berkata, bahwa ada calon lain yang lebih diterima mayoritas masyarakat ketimbang calon yang kita dukung. Maka, selesailah perhelatan Pilkada itu. Kita semua menerima hasilnya dengan legawa.
***
Pilkada DKI Jaya tahun 2017, yang memenangkan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur untuk lima tahun ke depan. Suka atau tidak, dengan keterpilihannya Anies-Sandi, itulah realita politik yang ada. Pemilih Anies-Sandi tentu menerima kemenangan itu dengan sukacita. Semestinya kelompok yang berseberangan dengan kelompok pemenang pun bisa menerima realita politik yang ada dengan baik. Tidak perlu berlama-lama memelihara “kemarahan” atas kekalahan jagoannya.
Realita yang terjadi saat ini, dan entah sampai kapan, ada barisan atau kelompok yang disebut buzzer, dimana kemarahannya itu dilampiaskan dengan mem-bully di luar batas kewajaran ... Dunia sosial media (sosmed), terutama Twitter, dihebohkan dengan postingan sebuah akun yang menganggap hidung Gubernur Anies Baswedan layaknya touch screen.
“TV canggih kalau mau ganti channel skrg tinggal touch screen...geseeerrr,” tulis akun Yulia Ho sambil mengunggah jempol kaki yang memencet Hidung Anies.
Postingan yang tidak beradab ini kemudian di-capture oleh akun @NetizenTofa, dan mendapatkan reaksi kemarahan dari sebagian besar netizen.
Saya tidak mengungkap reaksi atas postingan yang tidak beradab itu, karena kemarahan netizen sudah sampai pada penyebutan etnis akun yang bersangkutan, dan hal sensitif lainnya yang tidak layak disebar (SARA).
Saat ini, kita melihat bagaimana irrealitas masyarakat tertentu memperolok-olok, mem-bully Anies-Sandi dengan begitu sadisnya, sehingga akal sehat tidak mampu menerima perlakuan itu sebagai hal biasa. Perlakuan bully di luar nalar itu justru menunjukkan intelektualitas yang rendah dalam adab berdemokrasi.
Tangisan kekalahan yang berlebihan mestinya sudah diakhiri, tidak boleh berpanjang-panjang. Harusnya sudah move on. Kehilangan keluarga yang dicintai saja ada batas kesedihannya, kenapa kesedihan kekalahan jagoannya di Pilkada DKI Jaya itu menjadi berlarut-larut. Inilah bisa jadi Pilkada yang paling keras gesekannya di antara anak bangsa sejak bangsa ini merdeka. Maka, analisa pun bisa dibuat dengan mudahnya, dan itu menyangkut kepentingan kelompok tertentu namun menggeret masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Psikologis masyarakat diajak terus merengek-rengek.
***
Setting atas psikologi masyarakat tampaknya terus dimainkan untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu Pileg dan Pilpres 2019. Pilkada DKI jaya, dan, bisa jadi, Pilkada Jabar, Jateng dan Jatim adalah bagian dari pemanasan untuk perhelatan yang lebih besar itu. Itu hal biasa jika berjalan dengan apa adanya, tapi menjadi “beringas anarkistis” jika ada kelompok yang memainkan masyarakat untuk tidak bersikap realistis guna menerima kekalahan sebagai bagian dari kontestasi demokrasi.
Membiarkan bully ini terus berlangsung adalah upaya memelihara ketegangan di masyarakat yang tidak mustahil akan memuntahkan ledakan di luar perkiraan. Dan jika itu terjadi, maka akan memporak-porandakan bangunan negara kesatuan ini, yang telah dibangun dan ditegakkan dengan susah payah. Semua pihak mestinya melihat itu semua dengan perasaan kecemasan yang sama.
Kedewasaan semua pihak sedang dituntut memainkan peran-peran besar dalam proses bernegara dan berbangsa. Masyarakat perlu terus mendapat asupan nilai-nilai kebaikan, bukan sebaliknya, menjadi alat kepentingan kelompok tertentu, untuk kepentingan sempit, namun punya daya rusak yang besar bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Mem-bully Anies-Sandi akan terus berlangsung jika hati dan pikiran terus dikerdilkan, dimenej untuk berbuat hal-hal tidak semestinya dan adanya pembiaran tanpa proses hukum yang semestinya ... Karenanya, memelihara kesuntukan dalam hati adalah bentuk pengingkaran akal sehat, yang berkehendak melawan realita yang ada. Ini tidak boleh terjadi.
*) Pemerhati Sosial dan Keagamaan
Sumber : Republika.co.id