OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Selasa, 16 Januari 2018

Calon Tunggal dan Mahalnya Demokrasi Lokal

Calon Tunggal dan Mahalnya Demokrasi Lokal


Oleh: Ahmad Zakiyuddin

10Berita, Data KPU hingga Kamis (11/01) Ada 13 daerah pilkada dengan calon tunggal yaitu Kota Prabumulih, Sumsel.Kabupaten Lebak, Banten.Kabupaten Tangerang, Banten.Kota Tangerang, Banten. Kabupaten Pasuruan, Jatim. Kabupaten Karanganyar, Jateng. Kabupaten Enrekang, Sulsel. Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulut. Kabupaten Tapin, Kalsel. Kabupaten Puncak, Papua.

Kabuaten Mamasa, Sulbar. Kabupaten Jayawijaya, Papua. Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumut. Berdasarkan UU No.10/2016 tentang Pilkada, maka partai atau gabungan partai dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Banyaknya Calon tunggal yang berkontestasi di Pilkada 2018 menunjukan mundurnya demokrasi lokal. Demokrasi Lokal sejatinya menyuguhkan banyaknya calon alternatif yang mampu bersaing dalam pertarungan pemilihan kepala daerah. Namun pada kenyataannya realitas politik daerah masih banyak Partai Politik yang terjebak mengusung calon tunggal. Apa alasan partai politik mengusung calon tunggal? Faktor faktor apa saja yang melatarbelakangi adanya calon tunggal dalam pilkada serentak tahun 2018 ini?

Ada beberapa faktor munculnya calon tunggal di pilkada 2018 . Setidaknya ada enam faktor yang melatarbelakangi munculnya calon tunggal adalah sebagai berikut: Pertama, Idiologi dan Platform Partai Politik tidak lagi menjadi pijakan utama dalam memilih calon kepala daerah yang akan dipertarungkan. Ideologi dan platform seharusnya menjadi ruh pergerakan partai politik baik secara tertulis maupun praktik dilapangan. Tetapi pada kenyataannya, apa yang tertulis sebagai idiologi dan platform partai politik pada prakteknya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Partai politik dalam pilkada notabene sering mengabaikan ideologi dan platform partai sehingga sikap Partai Politik yang dominan adalah transaksional dan pragmatis dalam memilih calon kepala daerah. Pragmatisme partai politik (Parpol) pada akhirnya menutup peluang munculnya calon alternatif yang memiliki integritas yang baik.Sebab Partai Politik lebih memilih calon yang memiliki kesiapan logistik kampanye meskipun terkadang harus menegasikan faktor faktor kapasitas dan integritas calon, yang penting calon secara pendanaan siap untuk mengucurkan sejumlah dana kampanye yang diminta Partai Politik.

Kedua, Dominasi Tunggal dinasti Partai Politik di daerah membuat Konsolidasi Partai Politik banyak menuai kegagalan. Figur internal partai politik yang terpilih melalui seleksi internal partai atau beberapa partai politik pada Akhirnya tidak mampu bersaing dengan realitas politik daerah yang masih dikuasai dinasti partai Politik tertentu. Dinasti Partai Politiklah yang pada akhirnya mampu meyakinkan Partai Politik lainnya sehingga menegasikan kader internal partai.

Ketiga, Biaya Pilkada yang tergolong mahal. Adanya uang mahar atau uang perahu yang ditetapkan oleh partai politik yang dibebankan kepada calon kepala daerah sebagai syarat dukungan mendorong calon kepala daerah untuk berpikir dua kali untuk maju di pilkada.

Keempat, Calon harus membayar uang saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ditetapkan oleh partai pengususng.Uang saksi biasanya wajib di bayarkan bakal calon kepala daerah kepada partai politik menjelang pilkada. Misalnya di satu daerah pemilihan dengan jumlah TPS 1.762. Setiap TPS paling tidak membutuhkan dua orang saksi, setiap saksi membutuhkan uang saksi minimal per orang Rp.100.000, maka dalam satu dapil dibutuhkan minimal 352.400.000.

Seandainya disetiap daerah terdiri dari beberapa dapil, maka bisa dibayangkan membutuhkan uang puluhan Milyar hanya untuk membayar saksi.Belum termasuk biaya kampanye dan biaya kunjungan ke daerah daerah. Kelima, Tingginya sarat dukungan pencalonan jalur perseorangan. Dalam UU Pilkada, dukungan yang harus ada dalam pemcalonan pemilihan gubernur berkisar antara 6.5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih yang tercantum dalam DPT.

Rinciannya adalah 10 persen untuk jumlah DPT 2 jt, 8.5 Persen untuk jumlah DPT antara 2 jt -6 Jt. 7.5 persen untuk jumlah DPT 6jt-12jt, 6.5 persen untuk jumlah DPT lebih dari 12 jt. Keenam, Adanya syarat mengundurkan diri bagi PNS yang mau maju pilkada.

Tercantum dalam Pada pasal 7 ayat 2 UU Pemilu No.10 tahun 2016 yang menyebutkan yang harus mengurdurkan diri saat maju sebagai calon kepala daerah adalah anggota DPR, DPRD, DPD, TNI, Polri, PNS, kepala desa dan lurah.Sehingga anggota DPR,DPD dan DPRD ataupun TNI dan Polri tidak mau mempertaruhkan jabatannya ketika diminta mundur. Akhirnya mereka enggan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah untuk membangun daerahnya. [syahid/]

Sumber :voa-islam.com