Disaster Emak-Emak Berdaster
10Berita, Sebenarnya publik kurang begitu tertarik ketika Jokowi melantik Joko Setiadi menjadi Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)—yang sebelumnya bernama Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg). Paling banter juga sedikit menyernyitkan dahi, ada apa kok BSSN kini langsung di bawah kendali Presiden.
Internet dulu berjasa melambungkan citra Jokowi, ibarat jalan bebas hambatan, mengantarkannya hingga ke pusat tampuk kekuasaan dengan lancar. Kini, internet menjadi medan laga yang berdarah-darah.
Pendukung yang dulu bebas memuji Jokowi, kini harus bersaing ketat dengan lawannya sekadar bisa mempertahankan citra baik tidak melorot. Barang yang kurang berarti seperti kaos dan sandal jepit saja, kini naik kelas hampir setaraf dengan isu nuklir—yang bisa memicu perang antar negara adidaya.
Karenanya sebagian besar orang bisa memaklumi—meski belum begitu paham apa wewenang dan ruang lingkup kerja lembaga tersebut—bahwa BSSN merupakan langkah Jokowi merebut wilayah strategis dalam perang dahsyat di dunia maya.
Publik hanya merangkai puzzle-puzzle seperti penindakan atas nama UU-ITE yang masih dirasa tebang pilih. Kubu yang kritis kepada pemerintah satu per satu ditangkap, sementara kelompok pendukungnya, meski berkali-kali mengumbar hoax dan fitnah, relatif tak tersentuh.
Baca juga : Ironi Kasus Hoax dan Hate Speech
Namun sikap skeptis publik tersebut tiba-tiba buyar demi mendengar istilah baru yang dikenalkan oleh Joko Setiadi, hoax yang membangun. Menurutnya, hoax itu ada yang positif dan negatif. Untuk hoax yang membangun (positif), katanya, tidak dipermasalahkan.
Bagai kumpulan angin yang membentuk badai, ucapan itu menimbulkan gelombang dahsyat di dunia maya. Joko, baik Setiadi maupun Widodo, panen kritik pedas. Joko Setiadi dianggap tidak memahami definisi hoax. Imbasnya sampai ke Joko Widodo yang dianggap kurang tepat memilih pejabat di tempat yang strategis—sekaligus sensitif—seperti wilayah siber (internet).
Gelombang makin tinggi saja, ketika Menkominfo, Rudiantara ikut berkomentar. Menurutnya, BSSN difokuskan untuk mendukung keamanan siber, bukan menangani hoax atau kabar atau informasi sesat. Keamanan siber itu misalnya, mengantisipasi hacking atau malware seperti Wannacry.
Akhirnya, Joko Setiadi harus menyerah. Setelah sempat mencoba memberikan tafsir tentang “hoax yang membangun,” akhirnya ia meminta maaf—meski tetap menganggap ucapannya sebagai gimmick untuk memancing reaksi. Namun tetapi saja pria kelahiran Surakarta ini dicatat sebagai pejabat negara yang membuat empat kali perubahan sikap, kurang dari 24 jam sejak resmi dilantik.
Keseleo lidah dalam soal hoax dan gimmicktersebut melahirkan dugaan bahwa ada nuansa panik dan buru-buru dalam perubahan Lemsaneg menjadi BSSN, sekaligus keputusan Presiden untuk memegang kendali badan tersebut langsung di bawahnya.
Sumber : Kiblat.