Sang Gangster Pun Menangis
Memilih Islam karena dipengaruhi pengalamannya saat Shubuh.
10Berita , JAKARTA -- Kamusnya tak menyimpan pengertian dan konsep agama sehingga ia tak se dikit pun meme dulikan itu. Lingkungan sosialis di sekelilingnya melengkapi kebingungan Sved Mann, pria apatis itu, tentang identitas dirinya. Ia pun tumbuh menjadi seorang gangster, tanpa agama.
Usai Tembok Berlin runtuh pada 9 November 1989, keluarga Sved yang berasal dari Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) pindah ke sebuah lingkungan baru yang sebelumnya berada di wilayah Republik Federal Jerman (Jerman Barat). Sved baru berusia 12 tahun waktu itu.
Sebelumnya, selama 28 tahun, ribuan keluarga, termasuk keluarga Sved, terpisahkan oleh tembok kokoh sepanjang 43 kilometer tersebut. Tembok itu pertama kali dibangun pada 15 Agustus 1961, sebagai pemisah permanen antara Jerman Timur dan Jerman Barat.
Peruntuhannya menandai penyatuan kembali kedua wilayah Jerman tersebut. “Didikan” lingkungan sosialis selama hidup di Jerman Timur membentuk Sved menjadi orang yang acuh tak acuh pada mereka yang beragama. “Biasanya aku tersenyum sinis saat melihat atau bertemu mereka yang memeluk keyakinan tertentu, termasuk Muslim,” katanya.
Sampai di bekas wilayah Jerman Barat, ia bertemu situasi yang sama sekali berbeda. Wilayah itu lebih banyak dihuni kaum imigran yang inferior. “Kami menjadi sampah masya rakat. Kami (Sved dan kaum imigran) adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di pemukim an terisolasi,” ujarnya.
Meski mulanya tidak siap dengan kehidupan itu, Sved perlahan mencontoh perilaku sosial di lingkungan barunya itu. Ia segera memiliki referensi baru tentang bagaimana hidup di dunia barunya dari para imigran yang menjadi kawannya. “Aku banyak melakukan hal buruk, seperti mencuri dan kejahatan lainnya,” kenangnya.
Suatu hari ia bertemu seorang imigran asal Turki, adik seorang imam masjid lokal yang kemudian menjadi kawan dekatnya. Kedekatan itu me mung kinkan sang teman mengenalkan agamanya, Islam, pada Sved si apatis.
Suatu hari, kawan Sved mengata kan kepada kakaknya bahwa ia ingin membawa Sved pada Islam. Sang imam tak menanggapinya dengan serius dan hanya berkata, “Dia (Sved)? Tidak mungkin.” Tetapi, ia tetap pada pendiriannya dan menga takan kepada kakaknya bahwa ia akan segera bertemu kembali dengan Sved yang ber agama Islam.
Imam masjid itu lalu bepergian selama tiga bulan. Dan, saat kembali, ia dikejutkan oleh sapaan Sved terhadapnya. “Ia berkata, ‘Assalamualaikum’. Rasanya sulit mempercayai itu saat itu hing ga aku pun bertanya kepa danya, ‘Apa yang terjadi kepa damu?’” kata sang imam.
Lantunan Alquran saat Subuh
Sved menemukan ke yakinannya setelah ber dis kusi panjang dengan ka wan dekatnya itu suatu malam. Setelah membicarakan banyak hal ten tang Islam, kata Sved, ia segera me miliki keinginan untuk pergi ke mas jid bersama sang teman.
Ia menambah kan, keterpanggil annya untuk me milih Is lam turut di penga ruhi oleh peng alamannya pada suatu Subuh, di mana ia mende ngar seorang anak membaca Alquran. “Tiba-tiba aku menangis, tak tahu me ngapa. Aku tak mengerti bahasa Arab, tidak memahami apa yang dibacanya. Tapi, seolah hatiku secara jelas memahami nya,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Ia menambahkan, peristiwa itu terasa begitu ajaib baginya. “Itu pe ngalaman yang luar biasa. Aku adalah seorang gangster dan tiba-tiba bisa menangis.”
Ketika sebuah proyek independen pembuatan film dokumenter tentang agama dan budaya di Jerman menemuinya dan bertanya tentang perpindahan agamanya, Sved menjawab, “Aku tidak akan mengatakan bahwa aku berpindah agama. Mereka hanya menjelaskan banyak hal tentang Islam padaku dan aku mencoba memahaminya.” Ia melanjutkan, “Tidak ada perpindahan agama dalam Islam. Allah juga berkata dalam Alquran, ‘Tidak ada paksaan dalam agama (QS al-Baqa rah:256)’,” jawabnya ringan.
Ia menuturkan, sebelum mengamal kan ajaran Islam, dia telah melaku kan pencarian, tetapi tak meluangkan cukup waktu untuk itu. “Tapi, aku selalu percaya Tuhan. Dan, aku senang akhirnya menemukan Islam.” Sved tampak tak ingin memusing kan alasan di balik pilihannya pada Islam. “Aku lebih suka mendes kripsikan keislaman ku de ngan ‘seseorang telah menge nal kanku pada Is lam dan aku menuju agama itu’,” katanya.
“Karena, pada akhir nya semuanya adalah Islam,” tandas Sved ber usaha me nekan kan ja wabannya pada makna kata ‘Islam’, yakni berse rah diri. ¦ c15 ed: wachidah handasah
Tak Pernah Tinggalkan Shalat
Sved mengikrarkan syahadat 11 tahun lalu dan mengganti nama depannya menjadi Sayed. Sejak itu, ia banyak membaca untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam. Dari sang imam yang pernah me ragukannya, Sayed belajar membaca Alquran. Ia juga mempelajari bahasa Arab untuk dapat memahami Kitabullah tersebut.
Bagi Sayed, Islam adalah menyerahkan keinginan diri di bawah kehendak Tuhan. “Mengapa aku mau melakukannya? Karena, dengan itu nanti aku akan bertemu dengan Penciptaku dan surga-Nya agar aku berhak atas itu. Itulah Islam menurutku saat ini,” ujarnya saat ditanya tentang esensi Islam.
Karena itu, sejak bersyahadat, Sayed tak mau meninggalkan shalat lima waktu dengan alasan apa pun. Shalat baginya adalah keluar dan mengistirahatkan diri sejenak dari dunia dan seluruh isinya. “Kita membersihkan diri dan menghadap Sang Pencipta.” Ia menambahkan, shalat tak menjadi masalah bagi segala aktivitasnya. “Tak ada alasan untuk meninggalkannya. Setiap orang pasti bisa menemukan tempat untuk berwudhu, membasuh diri, dan mendirikan shalat,” tambahnya.
Kini, selain merasakan ketenangan dan keteraturan hidup, Sayed mengaku, ia menemukan hal berharga lainnya dalam Islam. “Ketika kamu menjadi seorang Muslim, kamu mungkin kehilangan teman, tetapi kamu mendapatkan saudara,” ujarnya. Setelah berislam, Sayed merasa menemukan keluarga baru dan saat itu juga menjadi anggotanya. “Itu sesuatu yang tidak bisa kuperoleh dari gereja-gereja di Jerman.”kata
Sumber :Republika.co.id