OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Minggu, 04 Februari 2018

Anies, Jokowi dan Diskursus Politik Jelang 2019

Anies, Jokowi dan Diskursus Politik Jelang 2019

Syahganda Nainggolan
Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle 

10Berita, ALFITO, presenter televisi Amerika yang berbasis di Jakarta, CNN Indonesia, mewawancarai Anies Baswedan secara hati hati, cerdas dan tajam terkait isu Anies akan mengembalikan becak sebagai moda transportasi penting di Jakarta.

Tiga pertanyaan penting Alfito yang mewakili kritik yang muncul atas isu becak ini: 1) Becak akan mengembalikan masa lalu. Beberapa pengamat mengatakan Anies melakukan "retro policy", yang sudah mati dihidupkan lagi. 2) Becak sebagai simbol penindasan. Sebuah pekerjaan biadab yang identik dengan keringat, otot kuat, miskin, kumuh, dlsb. 3) Becak akan merusak wajah ibu kota yang modern.

Becak mau ditaruh di mana, tanya Alfito? Bukankah sudah ada kenderaan online, seperti ojek dll?

Soal becak ini merupakan isu paling menarik dari dua isu minggu ini, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Isu lainnya adalah Jokowi yang jadi imam shalat di Afganistan.

Foto Jokowi yang jadi imam shalat dengan  sorban "raksasa" di kepalanya, serta memakmumi orang-orang Afganistan, beredar di berbagai media dan medsos. Ada pro kontra yang muncul karena banyak yang menanyakan apakah Jokowi fasih melafazkan ayat-ayat sebagai syarat sah imam?

Demikianlah kedua pemimpin bangsa ini membentuk diskursus politik seminggu ini. Lalu apa yang dapat menjadi hikmah bagi kita, rakyat Indonesia?

Diskursus Politik

Jokowi dan Anies Baswedan, sebagaimana dimaksud Michel Foucault, sosiolog ternama Prancis, sedang menciptakan sistem berpikir dan ilmu pengetahuan serta wacana pada kita melalui kekuasan (power) mereka dengan statemen atau bahasa tindakan yang mereka lakukan.

Pada minggu ini, via isu becak, Anies membangun narasi agar seorang pemimpin mengenali nasib rakyatnya yang paling miskin dan membelanya, yaitu tukang becak.

Pada saat bersamaan, Jokowi memberitahu rakyat nya bahwa kesholehan pemimpin, yang ditunjukkan dipercaya sebagai imam shalat, menjadi kunci kepemimpinan.

Anies mengetengahkan wacana struktural sementara Jokowi mengetengahkan politik identitas.

Dalam menjawab pertanyaan Alfito, Anies cukup tegas dan jelas mengatakan bahwa dia adalah juga pemimpin orang orang miskin di Jakarta, bukan hanya orang kaya. Anies menekankan konsep keadilan sosial adalah tuntutan konstitusi dan bahkan maksud proklamasi kita yang terabaikan. Becak sebagai pekerjaan kasar bukan akan dihidupkan kembali, namun mereka sudah eksis di Jakarta, dengan 1.000 tukang becak.

Anies meyakinkan kita bahwa becak tidak akan memperburuk kota, karena terkosentrasi di pemukiman yang membutuhkan, tidak mengeluarkan emisi bagi Jakarta yang saat ini ranking lima terpolusi di dunia, dan tentu saja kurang berisiko kecelakaan.

Bahkan, Anies akan menjembatani perubahan nasib tukang becak melalui berbagai welfare policy yang ada. Sehingga keluarga tukang becak tidak masuk dalam perangkap alienasi dan reproduksi kemiskinan, sebagaimana yang dikhawatirkan Karl Marx.

Jokowi, sementara itu, tidak menjelaskan makna dari fotonya sebagai imam shalat dengan sorban besar itu. Dia membiarkan  foto viral itu dimaknai sendiri oleh rakyat yang pro kontra. Istana hanya menjelaskan foto di mana Jokowi sebagai imam benar adanya.

Narasi dan 2019

Isu keadilan sosial yang dibawakan Anies versus isu identitas yang dibawakan Jokowi pada minggu ini menjadi penting bagi struktur narasi politik 2019. Mengapa?

Pertama, politik kita sudah sedemikian lama dihantui oleh pemimpin pemimpin yang hanya memaknai hirarki kekuasaan sebagai sebuah karir personal dan bahkan mayoritas mereka menjadikan kekuasaan untuk mobilisasi vertikal: menjadi orang kaya. Karena dalam persepsi politisi, hanya kekuasaanlah yang bisa merubah hidup miskin menjadi kaya, dan bahkan lebih kaya lagi. Dalam situasi ini politik menjadi kehilangan arah dan makna.

Kedua, isu identitas yang dilancarkan Jokowi (terkait kepergiannya ke Afganistan dan imam shalat) dapat dimaknai sebagai strategi memperkecil kesenjangan identitas kultural (cultural gap) antara dirinya dengan kompetitor 2019. Politik 2014 dan pilkada lalu, sarat dengan konflik identitas dan akhirnya melemahkan kohesi nasional.

Sebenarnya isu dan strategi Jokowi ini sudah sering dilakukan, seperti juga zikir di Istana tahun lalu. Terakhir, Professor Hendropriyono, think tank Jokowi, memprediksi cawapres Jokowi 2019 adalah sosok nasionalis-Islamis.

Kesenjangan identitas yang kecil tentunya  akan memunculkan peluang demokrasi rasional, dengan gagasan/narasi besar dan atau success story membangun bangsa, dapat menjadi acuan berpolitik nantinya.

Namun, kecurigaan tetap perlu disampaikan bahwa politik identitas yang dimainkan Jokowi saat ini dapat dimaknai lain. Misalnya, pertama, Jokowi sudah gagal dalam politik rasional, sehingga dia memainkan politik identitas. Sembilan cita-cita Jokowi (Nawacita) mungkin dianggap gagal. Land reform hanya berhasil 2% dari 9 juta Ha yang dijanjikan. Kemiskinan dan ketimpangan sosial tetap tinggi. Setidaknya kedua hal ini sejalan dalam rilis riset Megawati Institut Desember tahun lalu.

(Megawati Institut, merilis hasil risetnya tentang Oligarki Ekonomi dan Kesenjangan Sosial, akhir tahun lalu. Dikatakan bahwa cengkeraman segelintir orang atas ekonomi Indonesia terus membesar tanpa kontrol, Gini di seputaran 0,4 tidak pernah menurun dan kehidupan rakyat semakin sulit. Situasi ini hanya bisa diatasi dengan empat hal, yang paling utama adalah reformasi kapital atau redistribusi asset).

Lebih kasar lagi, John Mc Beth, wartawan senior level Asia, yang sejak awal mendukung Jokowi, sudah mengejek Jokowi penuh kebohongan atau membesarbesarkan klaim keberhasilan. Tulisan McBeth tentang Jokowi dirilis beberapa hari lalu sebagai "Smoke and The Mirror".

Kedua, Jokowi dendam atas kekalahannya di pilkada DKI tahun lalu. Jokowi dan pendukungnya menganggap isu identitas budaya menjadi penyebab utama. Dan mereka merencanakan 'retaliation", perang pembalasan.

Apabila alasan politik identitas di atas bersifat demikian, maka tema besar pertarungan 2019 akan tetap tidak bergeser dari 2014. Indonesia akan memiliki isu vertikal dan sekaligus horizontal yang sama kuatnya.

Waktu masih beberapa bulan lagi menuju pencalonan Capres/Cawapres 2019. Jokowi, Prabowo, Anies, Jenderal Gatot Nurmantyo, AHY, Jenderal Budi Gunawan, Muhaimin, sudah masuk dalam pusaran calon pemimpin. Harapan kita sebagai rakyat adalah merujuk pada cita cita proklamasi, yakni demokrasi untuk kesejahteraan rakyat. Selama ini rakyat teradu domba dalam pesta demokrasi dan dipinggirkan setelah pesta itu.

Hal ini semua terjadi karena bangsa ini tidak punya haluan negara. Kehilangan narasi besar. Semoga masih ada waktu untuk munculnya gagasan gagasan besar. Sebuah politik dengan narasi besar. 

sumber: rmol.co