Bijak Berselancar Di Dunia Maya
Oleh: Devi Gustia (Komunitas Remaja Move On Karawang)
10Berita, Sosial media kian tak terpisahkan dari kehidupan para kaula muda (red: remaja). Pesonanya mampu menyihir para remaja untuk betah lama-lama berselancar. Seakan terhipnotis untuk hidup di dunia maya. Ketika ditanya punya berapa akun sosial media? Tentu jawabannya bukan hanya 1 atau 2. Mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, BBM, dan masih banyak lagi.
Dilansir dari detik.com, laporan Tetra Pak Index 2017, mencatatkan ada sekitar 132 juta pengguna internet di Indonesia.
Sementara hampir setengahnya adalah penggila media sosial, atau berkisar di angka 40%.
Data lain yang dingkap oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam hasil surveinya ada tiga (3) media sosial yang paling banyak dikunjungi. Menurut survei tersebut, Facebook berada di posisi pertama dengan 71,6 juta pengguna (54 persen). Di tempat kedua, Instagram dengan jumlah pengguna mencapai 19,9 juta (15 persen). Media berikutnya adalah YouTube. Layanan berbagi video tersebut mengantongi 14,5 juta (11 persen) (Liputan6.com).
Pertanyaannya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berselancar di sosial media dalam sehari? 3, 7, atau 12 jam. Bahkan mungkin hampir 24 jam para pengguna sosial media yang notabene remaja tidak bisa lepas dari smartphone. Walhasil tak ada waktu tanpa kehadiran smartphone. Lagi nunggu antrian, asyik chattingan. Ada jam pelajaran kosong heboh YouTube-an.
Dari sana, lahirlah fenomena yang bernama sosial media addicted yaitu kecanduan sosial media. Yang mana tiada hari tanpa membuka sosial media. Yang berimbas pada terjangkitinya virus nomophobia.
Apa itu nomophobia?
Dikutip dari laman drise-online.com edisi #38, nomophobia (no mobile phone phobia) adalah istilah baru, yang berarti ketakutan akan dipisahkannya pengguna dengan gawai kesayangannya. Mereka akan panik gak ketulungan ketika kehilangan gawai atau smartphonenya.
Penyimpangan soaial pun terjadi, banyak para remaja yang lebih sering ngobrol di dunia maya ketimbang dunia nyata. Media sosial menghapus batasan-batasan dalam bersosialisasi. Penggunanya dapat dengan bebas berkomentar dan mengeluarkan pendapatnya tanpa rasa khawatir. Sehingga muncul istilah cyber bulling yang kian menjamur. Karena tidak adanya filter, orang bebas ngomong apapun termasuk pada orang yang dibencinya. Lihat saja banyak kita dengar artis yang melaporkan para netizen karena postingan atau mungkin komentar mereka yang dianggap mencemarkan nama baik. Bahkan banyak kasus penipuan terjadi melalui sosial media. Mulai dari transaksi jual beli, kuis berhadiah, maupun ancaman-ancaman.
Lantas bagaimana cara meminimalisir gejala nomophobia ini? Pertama, jadikan sosial media sebagai ladang pahala bukan malah menjadi biang bertambahnya dosa. Yaitu menjadi wasilah kita untuk berdakwah menyebarkan Islam tentunya. Apalagi di era sekarang yang mana perang itu terjadi bukan dengan perlawanan fisik tetapi perang opini menggunakan sosial media. Dan kita sebagai umat Islam harus mengopinikan Islam sebagai landasan dan solusi atas segala problematika kehidupan.
Kedua, jadikan sebagai ladang ilmu. Setiap waktu yang kita gunakan untuk berselancar di sosial media harus bisa dikonversi menjadi ilmu yang bermanfaat. Zaman now tidak sulit untuk memperoleh ilmu, apapun itu jenisnya. Tinggal searching di aplikasi pencarian. Walaupun tentunya kita juga memerlukan guru pribadi secara langsung. Terakhir, jadikan sosial media sebagai peluang usaha, dengan berjualan online. In syaa Allah dengan itu soaial media akan menjadi jwmbatan untuk lebih mengoptimalkan kehidupan nyata.
Waallahu’alam biAshoab..
Sumber :Dakwah media