Rindu DEMO
10Berita, Joha membuka jendela, menghirup udara pagi, menepi ke emperan rumah, hinggap di kursi malas, menyelonjor kaki sambil menunggu sesuatu. Sesuatu itu akhirnya muncul dari balik pintu, kerupuk Selondok dan kopi kapal api nikmat.
Dari kejauhan, terlihat Nawas berlari terengah, siaran nafasnya terdengar jelas. Tergopoh, Joha langsung menyambut Nawas dan mempersilakan duduk di emperan rumah, risalah satu sudut dimana ia asyik betkhalwat bersama Selondoknya.
Nawas: “Kakanda Joha, maaf selagi ini aku menemuimu. Mohon kiranya tidak merasa terganggu 🙏”,
Joha: “oh, tidak mengapa adik, tetapi apa gerangan yang membuat langkah dikau sampai ke rumahku sepagi ini?”
Nawas: “ada sesuatu yang penting, tetapi sebelum masuk diskusi penting, bolehkah daku ajukan permintaan penting? Bahkan super penting?”
Joha: “tentu saja adik, kabarkanlah apa kiranya itu?”
Nawas: “aku datang kepadamu, mendapatimu bersama Selondok dan kopi kapal api. Bukankah pagi ini begitu indah, jika saja Selondok dan kopi itu juga dihidangkan kepadaku ?”.
Joha: “Amboi, tentu saja adik. Itu soal kecil,”
Tiba2, Joha merapal ajian “KAMAJAYA JALA SUTERA”, sekejap tanpa menunggu lama, dari balik pintu muncullah seseorang wanita nan rupawan, dengan sopan menghidangkan secangkir kopi kapal api nikmat.
Nawas: “Trims Kanda”
Joha: “never mind, tafadhol…”
Dengan riuh Nawas mengunyah Selondok dan tentu saja, tiada lupa ia menyeruput kopi nikmat yang dihidangkan.
“SRUPUT…PYAR..” suara kenikmatan membahana. Suasana pagi yang gelap gulita seketika menjadi terang benderang.
Nawas: “sebenarnya, aku ingin mengabarkan kerinduan..”
Joha: “kerinduan apa ?”
Nawas: “rindu demo ..”
Joha: “oh, apa alasannya? Apakah dikau mau menyampaikan aspirasi ?”
Nawas : “tidak tidak, aku demo bukan karena aspirasi, bukan mau kasih kartu kuning atau merah, tetapi aku demo karena hobi. Hobiku ini telah lama terpendam, ingin kusalurkan”
“Dengan demo, aku bisa memahat kekuasaan, menggusur tirani, menelanjangi kemunafikan, mendobrak tirani, meninju kecongkakan, mengabarkan bisyaroh dan membangun keyakinan..”
Joha : “wah mantab sekali adik, engkau telah mewarisi sifat Nasrudin Joha, selamat, kita ini pejuang bukan cucu TI PATKAI.
Adik, jangan pernah ucapkan “SEJAK DAHULU BEGINILAH CINTA, DERITANYA TIADA AKHIR, OH DIK CHANG E”.
Mereka asyik ngobrol ngalor ngidul, tidak terasa purnama sudah menyapa. Eit, mentari.
Akhirnya, kemeriahan itu meninggalkan duka yang mendalam bagi Joha. Sepulang Nawas, Joha mendapati toples kerupuk Selondoknya kosong. Saat diskusi, Nawas berapi menggenggam dan melahap bongkahan selondok sambil terus berdiskusi. [].
Sumber : Dakwah media