OPINI

ARTIKEL

KHASANAH

MOZAIK

NASIONAL

INTERNATIONAL

.

.

Rabu, 21 Februari 2018

Kaidah Penting Menyikapi Perbedaan Pendapat

Kaidah Penting Menyikapi Perbedaan Pendapat

Kesadaran saling menghormati dan menghargai perbedaan tersebut masih perlu diperkuat.

1OBerit, JAKARTA -- Keberagaman ini tak jarang pula memicu gesekan-gesekan kecil. Satu dari beberapa bahkan menimbulkan konflik horizontal. Selain mungkin ada pihak ketiga yang memancing di air keruh, diakui atau tidak, memang kesadaran saling menghormati dan menghargai perbedaan tersebut masih perlu ditingkatkan, untuk tidak dibilang minim.

Lantas, bagaimana kaidah menyikapi sebuah perbedaan dan mengelolanya agar tak berdampak negatif?

(Baca: Pentingnya, Menghargai Perbedaan)

Prof Hani bin Abdullah al-Jabir dalam artikelnya yang berjudul “Min Adab Al Khilaf wa at-Ta’amul Ma’a al Mukhalif”, menerangkan deretan kaidah yang penting diperhatikan menyikapi perbedaan pendapat. Ini penting, mengingat kecenderungan saat ini yang muncul di dunia Islam adalah fanatisme berlebihan dari kelompok radikal dan fundamental.

Sikap apriori yang ditunjukkan kepada pihak yang berbeda, sebagiannya ber ujung pada aksi anarkisme. Seperti pembakaran tempat ibadah dan perusakan hingga penganiayaan. “Kondisi itu patut disayangkan,” katanya.

Hal pertama yang ia garisbawahi ialah bersikap proporsional. Perbedaan tidak akan berujung konfl ik selama tidak disertai dengan sentimen dan kebencian. “Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.”

Ia mengutip komentar Ibnu Taimiyah atas perintah berbuat adil dan proporsional terhadap lawan yang tertuang di Surah al-Maidah ayat 8. Sekalipun, musuh yang bersangkutan adalah orang kafi r. Menurut tokoh yang hidup di abad ke-8 Hijriah itu, jika terhadap kafi r sikap proporsional sangat ditekankan, tentunya seruan serupa juga lebih utama bagi sesama Muslim yang berbeda pendapat.

Hani mengatakan, etika menghadapi kenyataan berbeda berikutnya ialah mem pertimbangkan dan menjaga maslahat serta menghindari kerusakan. Kaidah yang berlaku di syariat ialah menghilangkan segala bentuk kekisruhan. Baik di tingkat internal ataupun eksternal masyarakat.

Dalam pandangan Ibnu Qayim al- Jauziyah, penyelesaian atas kemungkaran memang dianjurkan dengan kebaikan agar berakhir positif. Namun, jika solusi atas tindakan mungkar itu justru memancing kerusakan yang jauh lebih besar, maka lebih baik menahan diri.

Hani juga mengungkapkan adab menyikapi perbedaan lainnya, yaitu memahami bahasa dan inti pembicaraan yang dimaksud. Pendapat apa pun yang disampaikan oleh lawan, maka tak sepatut nya ditelan mentah-mentah. Penting memahami apa hakikat pandangan yang ia sampaikan.

Hal ini, kata Imam as-Subuki, perlu diperhatikan dengan baik dalam menelaah tiap pendapat seseorang. Ia melihat tak sedikit orang yang menukil pendapat tokoh, sementara ia menafsirkannya berbeda.

Padahal, tafsiran tersebut bukanlah inti dari pembicaraan sang tokoh. Sikap berhati-hati membaca pemikiran kubu lain itu dicontohkan dengan baik oleh Ibnu Taimiyah saat menyikapi pernyataan Imam al-Junaid terkait konsep tauhid.

Dalam makalahnya tersebut, ia menekankan pentingnya mengklarifi kasi dan urgensi dialog serta berkomunikasi. Tidak tergesa-gesa memberi kesimpulan, sementara tahap meminta keterangan atau kejelasan belum ditempuh. Prinsip ini sesuai dengan seruan mengklarifi kasi (tabayyun) dalam Surah al-Hujuraat ayat 6.

Anjuran itu pula hendaknya disokong dengan sikap berprasangka baik. Umar bin Khatab pernah mengingatkan, jangan terburu-buru menjustifi kasi ungkapan jelek yang keluar dari seseorang, sementara terdapat kemungkinan hal positif yang ada dalam dirinya.

Tak lupa, Hani menekankan agar ber sikap fair dan terbuka. Jika ternyata kebenaran ada di kubu lawan, maka ke napa tidak dengan lapang dada menerimanya. Imam Syafi ’i, misalnya. Ia siap menerima kebenaran dari pihak lawan.

Sumber : Republika.co.id