Menyoal Pengangkatan Jenderal Polisi Aktif Jadi Plt. Kepala Daerah
Oleh: Zainudin Paru, SH., MH.
10Berita – Kita semua dikagetkan dengan berita dari Kadispenum Polri Martinus Sitompul, bahwa dua jenderal Polisi (Aktif) mendapat kepercayaan sebagai Plt Kepala Daerah menjelang Pilkada 2018.
Pernyataan Martinus itu kemudian dibenarkan oleh Mendagri Cahyo Kumolo, yang menegaskan bahwa untuk jadi Plt Kepala Daerah dalam kaitan dengan perhelatan Pilkada tidak harus dari Kemendagri. Tapi boleh juga dari Institusi lain, seperti dari Menkopolhukam, Menhan, Polri, dan lain lain.
Kita tentu tidak bisa mengintervensi kewenangan Kemendagri Cahyo Kumolo menempatkan pejabat dari institusi manapun untuk menjadi Plt Kepala Daerah di beberapa daerah.
Namun, mengikutsertakan Jenderal Polisi (Aktif) jadi Plt Kepala Daerah patut kita pertanyakan maksud dibalik kebijakan ini. Apalagi penempatan Jenderal Polisi (Aktif) itu, sebut saja dua Jenderal Polisi M. Iriawan sebagai Plt Gubernur Jabar dan Jenderal Polisi Martuani sebagai Plt. Gubernur Sumut.
Keduanya adalah Jenderal Polisi (Aktif) di Mabes Polri. Irjen Pol. Iriawan saat ini menjabat sebagai Asisten Operasi Kapolri. Dan mantan Kapolda Jawa Barat (6 Desember 2013 – 5 Juni 2015). Sedangkan Irjen Pol. Martuani Sormin, M.Si saat ini menjabat sebagai Kadivpropam menggantikan pejabat sebelumnya Irjen Pol. Idham Aziz.
Publik tentu patut mempertanyakan kebijakan Menteri Cahyo Kumolo. Apakah kedua Jenderal Polisi ini menjalan tugas bhayangkara sebagai pemgayom masyarakat? atau tidak lebih dari tugas pemenangan Pilkada untuk partai tertentu dan kandidat tertentu? Atau lebih jauh lagi upaya mengamankan pemenangan untuk dua calon Gubernur di dua daerah sebagai penyanggah kemenangan Pileg dan Pilpres 2019.
Publik masih ingat bagaimana peran seorang Jenderal Polisi (Aktif) dalam Pilpres 2014. Ikut sebagai Timses Capres Jokowi yang tertangkap media sedang bersama seorang anggota DPR pendukung Capres Jokowi (ketika itu) dan seorang (oknum) Komisioner KPU. Hingga saat ini masalah tersebut tidak pernah ditindaklanjuti secara hukum (pidana pemilu) dan jenderal itu kini menjadi orang nomor satu di salah satu lembaga penting Republik Indonesia.
Padahal Polri oleh Undang-Undang diperintahkan untuk netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis, sebagaimana dimaksud Pasal 28 Ayat (2) UU No.2 Tahun 2002 Tentang Polri. Kalaupun terjun dalam praktis juga diperkenankan dengan sarat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (3), yaitu harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Mengapa kita persoalkan penempatan dua Jenderal Polisi (Aktif) itu sebagai Plt Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara?
Pertama, Kita menginginkan Institusi Polri tetap sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat yang adil dan tidak memihak (imparsial).
Kedua, jangan sampai institusi Polri tidak lagi dipercaya oleh masyarakat pencari keadilan di negeri ini. Karena dianggap sebagai bagian dari kekuatan politik partai tertentu atau setidak-setidaknya sedang menjalankan tugas mengamankan dua daerah untuk menang pilkada 2018 sebagai modal Pileg dan Pilpres 2019;
Ketiga, ini yang menurut saya jauh lebih penting untuk diperhatikan. Dimana Polisi di daerah adalah Gakumdu yang bersama-sama Panwaslu bertugas sebagai wasit dan pengadil pelanggaran (pidana) pemilu sebelum kasus pelanggaran pemilu direkomendasikan untuk diteruskan ke pengadilan atau tidak.
Apalagi salah satu calon di Jawa Barat adalah juga seorang Jenderal Polisi (Aktif) dan berasal dari partainya Mendagri. Yang menurut Kapolri, Tito Karnavian, Perwira-perwira Polri yang bertarung dalam pilkada dan ternyata gagal mereka bisa kembali pada kesatuannya. Secara tidak langsung Kapolri ingin mengatakan bahwa Jenderal Polisi yang saat ini bertarung dalam Pilkada 2018 adalah tugas institusi yang di titipkan melalui salah satu partai politik.
Demikian juga Cagub/Cawagub di Sumatera Utara, Djarot Syaiful Hidayat. Adalah mantan Cawagub DKI, yang publik masih ingat betapa kerasnya pertarungan di Pilkada DKI. Dan lawan tandingnya adalah purnawirawan TNI AD. Sungguh, jika tidak serius dipertimbangkan akan berimplikasi pada kontraksi politik yang serius bagi Polri dalam Pilkada tahun 2018 ini.
Terlalu besar taruhannya bagi polri untuk menjadi tameng kekuasaan yang terlalu singkat untuk ukuran lima tahun ataupun sepuluh tahun. Karena Polri hadir untuk menjaga republik ini tegak berdiri dan menjaga pendulum keadilan bagi semua warga negara, bukan pada pribadi atau partai politik tertentu saja.
Demi tertibnya hukum dan upaya menjaga marwah institusi Polri sebagai bhayangkara yang bertugas menegakkan hukum dan mengayomi seluruh warga negara. Pun agar tidak tergadaikan oleh kepentingan politik partai tertentu dan penguasa negeri yang tentunya berdampak luas bagi: rasa aman, adil, dan diperlakukan secara sama bagi semua warga negara, kandidat calon kepala daerah dan partai politik. Oleh karena itu, sepatutnya kebijakan atau niat mendagri Cahyao Kumolo di urungkan.
Jika kebijakan dibiarkan tetap berjalan, maka hal ini dapat kita pastikan sebagai alarm bagi penegakan hukum dan maldemokrasi yang serius di Indonesia. Dan patut kita ucapkan selamat datang orde baru jilid dua. Wallahu ‘Alam. (SaBah/dakwatuna)
Redaktur: Saiful Bahri
Sumber : dakwatuna.com