Mereka Rebut Kursi Panas Lewat Jalur Culas
10Berita , Menjelang kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, calon penyelenggara negara memperebutkan suara masyarakat agar memilihnya dan menduduki jabatan sebagai Bupati, Wali Kota, hingga Gubernur.
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengimbau agar calon kepala daerah tak menghalalkan segara cara demi sebuah jabatan. Tindakan money politic dalam pilkada sangat diharamkan.
Jika imbauan tersebut tidak diindahkan, maka harus bersiap menghadapi tim penindakan lembaga antirasuah.
Namun sepertinya, tindakan politik uang masih sangat diwajarkan oleh para calon kepala daerah. Tak tanggung-tanggung, demi menduduki jabatan penting di negara ini, mereka tak segan menggelontorkan uang hingga miliaran rupiah.
Tak jarang uang miliaran rupiah tersebut mereka terima dari para pengusaha yang dijanjikan sebuah proyek saat dirinya menduduki jabatan penting. Alhasil, janji tersebut harus dia tepati saat menduduki sebuah jabatan.
Ada juga seorang kepala daerah yang ingin kembali maju dalam kontestasi politik 2018, menjadikan jabatannya sekarang sebagai alat untuk mendapatkan uang.
Sang kepala daerah menerima fee dari proyek-proyek di daerahnya. Fee tersebut kemudian dia gunakan sebagai modal untuk kampanye Pilkada.
KPK sendiri sudah berhasil membongkar tindak tanduk beberapa kepala daerah yang menggunakan uang rakyat untuk maju maupun untuk menutupi pengeluaran dalam proses Pilkada.
Berikut penyelenggara negara yang berusaha mendapatkan kursi panas melalui jalur culas
Menjelang akhir tahun 2017, KPK berhasil menangkap Wali Kota Tegal Siti Mashita Soeparno melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Siti beserta dengan orang kepercayaannya, yakni Ketua DPD Partai Nasdem Brebes Amir Mirza Hutagalung menerima suap terkait pengelolaan dana jasa kesehatan di RSUD Kardinah dan pengadaan barang jasa di lingkungan Pemerintahan Kota Tegal tahun anggaran 2017.
Uang tersebut mereka terima dari Wakil Direktur RSUD Kardinah Tegal, Cahyo Supardi.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan sempat mengatakan, total uang suap yang diterima Siti Masitha dan Amir Mirza mencapai Rp 5,1 miliar. Uang tersebut akan digunakan untuk maju dalam Pilkada Kota Tegal tahun 2018.
"Sejumlah uang tersebut diduga akan digunakan untuk membiayai pemenangan keduanya di Pilkada 2018 di Kota Tegal," ujar Basaria dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 30 Agustus 2017.
Menurut Basaria, Siti akan kembali maju menjadi Wali Kota Tegal dengan didampingi Amir sebagai Wakil Wali Kota Tegal. Uang Rp 5,1 miliar tersebut didapat dari dua proyek tersebut.
Adapun rinciannya sebagai berikut, terkait uang dugaan suap pengelolaan pelayanan dana kesehatan berjumlah Rp 1,6 miliar dan Rp 3,5 miliar diduga uang suap yang berasal dari fee proyek di Pemkot Tegal. Uang tersebut mereka terima dari Januari hingga Agustus 2017.
Namun, saat operasi tangkap tangan yang dilakukan, penyidik KPK hanya menemukan uang cash sebesar Rp 200 juta, dan Rp 100 juta dalam bentuk rekening.
Di awal tahun 2018, menjelang kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, KPK menangkap tangan Bupati Jombang, Jawa Timur, Nyono Suharli Wihandoko. Nyono ditangkap oleh tim Satgas KPK pada 3 Februari 2018.
Nyono ditangkap tim penindakan karena menerima suap dari Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Jombang, Inna Sulistyowati. Inna menyuap Nyono agar diangkat menjadi Kadis Kesehatan definitif.
Uang yang diterima Nyono dari Inna merupakan uang pungli dari 34 Puskesmas di Jombang. Dari uang hasil pungli tersebut, Nyono mendapat jatah 5 persen, sementara Inna satu persen. Satu persen lagi untuk paguyuban puskesmas Jombang.
Uang suap tersebut juga dijadikan oleh Politisi Partai Golkar ini untuk membiayai kampanye dalam Pilkada Jombang 2018. Nyono berencana kembali maju menjadi calon bupati Jombang periode 2018-2023.
Dalam OTT terhadap Nyono dan Inna, tim penindakan KPK mengamankan uang sebesar Rp 25.550.000 dan USD 9.500.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT) Marianus Sae sebagai tersangka dugaan meneria suap terkait proyek-proyek di lingkungan Ngada.
Bersama dengan Marianus, KPK juga menjerat Direktur PT Sinar 99 Permai, Wilhelmus Iwan Ulumbu selaku pemberi suap. Wilhelmus diduga memberi sekitar Rp 4,1 miliar kepada Marianus dalam kurun November 2017 hingga Februari 2018.
Penerimaan uang tersebut diduga akan digunakan Marianus untuk maju sebagai Gubernur NTT dalam Pilgub NTT 2018 mendatang. Diketahui, Marianus bersama Emilia Nomleni maju dalam Pilgub NTT dengan diusung PDIP dan PKB.
“Apakah ini akan dilakukan untuk biaya kampanye? Prediksinya, iya. Prediksi dari tim kita kemungkinan besar dia butuh uang untuk itu (kampanye Pilgub NTT),” ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (12/2/2018).
Dugaan uang untuk dijadikan modal kampanye lantaran dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim Satgas KPK terhadap Marianus di Surabaya, politisi PDI Perjuangan itu tengah bersama dengan Ketua Tim Psikotes bakal calon Gubernur NTT, Ambrosius Tirta Santi.
Meski begitu, Basaria belum mau membeberkan aliran dana dari Marianhs kepada tim suksesknya. Basaria menyatakan, tim penyidik masih mengumpulkan alat bukti untuk memperkuat dugaan tersebut.
“Tapi apakah itu pasti untuk ke sana (dana kampanye) kita belum bisa mengatakan itu. Karena kita belum menerima, belum menemukan jalur sesuatu yang diberikan kepada pihak yang akan melakukan tim-tim yang berhubungan dengan Pilkada tersebut,” kata dia.
Basaria juga masih enggan mengungkap peran Ambrosius Tirta Santi dalam kasus suap ini. Termasuk adanya dugaan suap yang diberikan Marianus kepada Ambrosini untuk memuluskan diri sebagai bakal calon Gubernur NTT.
“Hubungannya untuk sementara kita belum temukan. Apakah ada aliran dana, apakah ada proyek, hubungannya apa yang bersangkutan menerima sesuatu sampai sekarang ini kita masih belum bisa membuktikan. Tapi yang pasti yang kita tahu yang bersangkutan hadir di sana pada saat tim kita menemukan MSA (Marianus Sae),” kata dia.
Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan istrinya, Lily Martiani Maddari didakwa menerima suap sebesar Rp 1 miliar, yang merupakan bagian janji sebesar Rp 4,7 miliar dari dua proyek di Provinsi Bengkulu.
Suap yang diterima oleh Ridwan dan Lily terkait proyek peningkatan jalan di Bengkulu. Suap tersebut diduga dijadikan Ridwan untuk mengembalikan uang yang dia keluarkan untuk modal kampanye sebelumnya.
Dalam sidang pembacaan dakwaan, Ridwan Mukti saat menuju kursi nomor satu Bengkulu ternyata harus mengeluarkan dana hingga ratusan miliar selama kampanye. Uang tersebut dia terima dari rekan-rekan pengusaha yang nantinya bakal diberikan jatah proyek olehnya.
Jaksa pun sempat menceritakan proses Ridwan Mukti marah di hadapan jajarannya di Bengkulu.
“Saya ini ikut Pilkada berdarah-darah, habis ratusan miliar. Memangnya selama ini kalian di mana? Jangan-jangan kalian lawan, bukan pendukung saya. Kenapa nggak pamit sama saya? Saya ini mantan pengusaha dan sudah dua periode jadi bupati, lalu sekarang saya jadi gubernur. Saya penguasa di Bengkulu,” ucap jaksa KPK menirukan perkataan Ridwan saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Bengkulu, Kamis 12 November 2017.
Sumber :Liputan6.com , BANDARpost